Utang Ahok soal Penghapusan Kartu Kredit Korporat Pertamina Limit 30 Miliar

MOJOK.CO Ahok punya utang penjelasan ke masyarakat soal kartu kredit limit 30 miliar buat petinggi atau komisaris Pertamina yang dia hapus.

Ada dua peristiwa menggemparkan yang menimpa dua perusahaan kelas dunia di pekan ini.

Pertama, kelakuan Cristiano Ronaldo saat menjauhkan botol minuman berkarbonasi dari jangkauan kamera, sesaat sebelum wawancara di media room. Hal yang membuahkan saham Coca-Cola babak belur.

Kedua, lambe Ahok yang membuat jantung para petinggi Pertamina berdetak tidak teratur karena dituduh boros dan tidak transparan saat membelanjakan uang perusahaan dengan kartu kredit korporat Pertamina.

Keduanya jelas ada persoalan etis. Ronaldo sebaiknya memilih tidak tampil di Euro 2020 jika tidak menyukai minuman berkarbonasi. Demikian juga halnya dengan mantan gubernur Jakarta paling fenomenal, Basuki Tjahaja Purnama aka Ahok, yang seharusnya sambat kepada pemerintah, bukan kepada publik.

Tapi biar tidak mengganggu performa Ronaldo yang tengah merumput di Euro 2020, kita membahas Pertamina saja. Selain telinga Ahok lebih tebal, tahan dinyinyiri, kita jauh lebih sering mengonsumsi BBM keluaran Pertamina daripada menenggak Coke.

Satu hal yang pasti, Pertamina jauh lebih berkaitan dengan hajat hidup warga negara.

Bukan Ahok kalau tidak piawai menciptakan pernyataan kontroversial dan memanfaatkan kelenturan media. Tidak saat menjadi kepala daerah saja, tapi juga setelah menjadi komisaris utama Pertamina.

Serius, sepanjang sejarah keberadaan posisi komisaris utama perusahaan plat merah di negeri ini, rasanya memang tidak pernah ada orang yang sevokal dia. Kalau pun berisik, lazimnya saat ramainya waktu rapat dengan dewan direksi di ruang privat.

Ahok memang berbeda dengan komisaris utama yang pernah ada. Frekuensi rapat dewan komisaris yang wajib diselenggarakan hanya 4 kali dalam setahun, di awal menjabat diubahnya menjadi setiap pekan 4 kali.

Jika selama ini komisaris utama diposisikan irit bicara, di tangannya, posisi tersebut seolah menjadi kanal utama bagi publik untuk mendapatkan kebenaran.

Pernyataannya yang membuat perhatian publik fokus (lagi) kepadanya adalah soal penghapusan kartu kredit korporat Pertamina. Bukan kesalahan penggunaan atas pengeluaran yang dia bicarakan, tapi soal tingginya limit yang diberikan pihak bank untuk posisi komisaris.

Suka tidak suka, pernyataannya membentuk persepsi publik bahwa selama ini para pejabat Pertamina telah melakukan pemborosan atau bahkan praktik kotor yang sangat merugikan perusahaan.

Apa sih kartu kredit perusahaan? Lalu apa bedanya dengan kartu kredit pribadi?

Ini yang harus dipahami dulu di awal kalau hendak menyoal kartu kredit korporat Pertamina.

Kartu Kredit korporat bisa diatasnamakan individu, tapi semua penggunaannya diawasi perusahaan. Sementara kartu kredit milik pribadi penggunaan dan pemanfaatannya menjadi tanggung jawab pribadi.

Kartu kredit korporat menjadi penting karena memungkinkan terpangkasnya birokrasi perusahaan, memudahkan kontrol belanja oleh individu untuk kepentingan perusahaan, dan juga menghindarkan karyawan dari menalangi pengeluaran perusahaan.

Bayangkan saja kalau sekadar mau bicara bisnis di resto dengan rekanan harus meminta uang dulu ke bagian keuangan, sementara bagian keuangannya sedang entah-di-mana-sama siapa-sedang ngapaian, tidak segera memberikan keputusan.

Pendek kata, kartu kredit perusahaan memang untuk mengongkosi pengeluaran (expense) karyawan guna mendukung bisnisnya. Dari mulai makan, hotel, tiket dan hal lainnya di luar kepentingan pribadi.

Ingat, semua membutuhkan bukti otentik terlampir dan tidak bisa digunakan untuk membeli aset (cost). Ini yang harus dicatat!

Ketidakpahaman publik justru dimanfaatkan beberapa media berita online, dengan cara mengonversi angka 30 miliar yang diramaikan Ahok dapat digunakan untuk membeli super car.

Ya, cukup sekali gesek bisa digunakan untuk memboyong Ferrari seri 458 Italia Spider. Nilai itu diembuskan, kemudian narasinya seolah duit segitu diselamatkan oleh Ahok.

Pertanyaannya, emang benar begitu?

Lha kok untuk beli mobil atau rumah yang jelas termasuk cost, semisal pegawai Pertamina, menraktir gebetannya yang kebetulan pegawai Telkom di Starbuck, lalu tagihannya diatasnamakan rekanan pun tidak dibenarkan kok. Tagihan tersebut jelas bermasalah.

Bukan ngopinya yang bermasalah, tapi perusahaan tidak akan mengongkosi hubungan pribadi antara pegawai Pertamina dan Telkom. Lagian, membuktikan hal semacam ini sangat mudah. Ada bukti transaksi, lah orang pakai kartu kredit kok.

Awam mungkin berpikir bahwa limit 30 miliar diberikan perusahaan secara cuma-cuma untuk seorang Ahok sebagai komisaris utama. Itu mungkin benar, mungkin juga keliru.

Bank penerbit kartu kredit Pertamina bisa jadi memberikan limit 30 miliar sudah dalam bentuk paket (korporat), termasuk untuk dewan direksi, komisaris, dan jabatan tertentu yang diberikan kewenangan untuk menggunakannya. Bukan orang per orang.

Ini yang tidak jelas dan sulit dibuktikan kebenarannya kalau kita hanya sekadar mengandalkan informasi dari satu sisi berita saja!

Hal yang harus diperhatikan selanjutnya, Pertamina merupakan badan usaha yang di dalamnya ada organ yang mengawasi, secara internal, pengeluaran yang dibukukan oleh para punggawanya.

Di luar itu, mereka diaudit secara berkala oleh BPK, lembaga yang (seharusnya) sensitif terhadap penyelewengan belanja perusahaan. Bagaimana hasil kerja mereka selama ini, banyakkah penyelewengannya?

Itu jauh lebih dibutuhkan pemegang saham (pemerintah), daripada sekadar laporan limit kartu kreditnya kebanyakan!

Lho lha iya. Kita justru gembira, walau campur misuh, seandainya Ahok berhasil membuktikan ada penyelewengan di perusahaan, bukan malah menciptakan situasi yang mengesankan dia bersih lainnya kotor penuh noda membandel.

Simak saja saat secara provokatif Ahok mengatakan limitnya sendiri 30 miliar, tapi dengan entengnya mengatakan dewan direksi enggan membukanya, walau sudah diminta sejak tahun lalu.

Sebagai gambaran, gaji komisaris utama dan tantiem (sebagian keuntungan perusahaan yang dibagikan tiap tahun) sekitar 45% dari yang diterima direktur utama. Apakah artinya direktur (jelas lebih sibuk dan lebih banyak bekerja) diberikan limit lebih dari 60 miliar?

Mengapa Ahok tidak tuntas mengungkapnya? Bank apa penerbitnya? Atas dasar apa mereka memberikan limit “berlebihan”? Belanjanya untuk apa saja sih? Berapa nilai belanja tiap direktorat setelah ditarik datanya?

Dih, info yang diumbar kok nanggung banget sih, Hok!

Pengungkapan secara komprehensif menjadi penting untuk menelusuri borosnya di pos pengeluaran apa saja. Wajar atau tidak, produktif atau manipulatif.

Pada dasarnya memang tidak salah saat orang menyoal pemborosan, karena terkadang pemborosan lekat dengan hal-hal manipulatif. Ahok tentu saja utang banyak penjelasan untuk hal-hal seperti ini. Jangan kok belum apa-apa udah ditepukin.

Media pun sudah seharusnya menerjunkan jurnalis untuk melakukan investigasi, jauh masuk ke jantung perusahaan. Pepet sampe keceplosan, biar ketahuan sekalian Ahok ngaco atau benar seorang pahlawan.

Menariknya, eh, mungkin sialnya Ahok, juru bicara dari Erick Tohir justru menyatakan hal yang sebaliknya.

Limit kartu yang dimiliki pejabat Pertamina hanya ada di kisaran 50 juta hingga 100 juta. Bagaimana bisa, kementerian yang menjadikan Ahok sebagai komisaris utama, tanda hadirnya pemerintah di perusahaan tersebut, justru menjegal pernyataan orang yang dipercayanya?

Publik sebenarnya jauh lebih membutuhkan pengungkapan adanya mafia migas, korupsi di banyak proyek migas, dan hal-hal besar lain untuk menjadikan Pertamina sebagai regional champion.

Apa Ahok dan Erick sudah tidak ngobrol sama sekali? Mengapa tidak diganti saja kalau sudah tidak ada trust? Tentu saja susah menjawabnya, karena negeri ini penuh drama.

Dari rentetan berita yang ada, Ahok justru semakin meneguhkan kalau dia tak jauh beda dengan kita, netijen yang maha iyig.

Jika ada masalah, jauh lebih suka curhat di medsos dari pada di depan psikolog. Jika merasa sendirian, lemes dan tak punya kuasa, lebih memilih berdoa di timeline daripada di rumah ibadah.

BACA JUGA Menghitung Kekayaan Basuki Tjahaja Purnama atau tulisan Haryo Setyo Wibowo lainnya.

Exit mobile version