Ingat ya, produksi konser di Jogja itu bukan berarti fee band, biaya produksi (sewa alat, venue, dan lain-lain) jadi lebih murah. Kamu pikir Pamungkas mau main di Jogja dengan bayaran disesuaikan UMR Jogja?
Tiket mahal, idealnya, fee pekerja event lebih tinggi dong. Bukannya kamu pengin upah yang lebih layak untuk para pekerja di Jogja? Belum lagi band yang main juga butuh dibayar layak.
Kamu pikir pekerja konser musik dan musisi itu nggak layak dapat fee yang sesuai juga? Apa jangan-jangan kamu pikir ngurusin konser dan ngeband gitu nggak termasuk pekerjaan juga, nganggep kalo semuanya cuma hobi mungkin?
Ada lagi yang komen tiket konser mahal, orang Jogja cuma jadi tukang parkir dan jualan asongan. Lah, itu kan berarti membuka kesempatan untuk orang-orang di sekitar venue supaya dapat pemasukan melebihi UMR Jogja. Gimana sih?
Ada juga yang nuduh kalau semua yang bikin konser itu cuma golek bathi, ya walaupun emang ada yang latah bikin konser mumpung lagi ramai. Tapi, emangnya, konser musik itu bukan kegiatan komersial? Tentu saja nyari untung yang idealnya nanti buat nutup produksi, bayar pekerja event dengan layak, vendor alat, atau influencer yang nge-buzz event-nya, buat modal bikin konser selanjutnya atau ngebiayain liburan. Ini di luar konteks organiser yang nggak bayar layak para pekerjanya ya. Nah, ini baru tepat kalau mau diprotes.
Gigs dan konser itu beda
Belum lagi komenan nyerempet ke tiket gigs mandiri di Jogja yang makin lama makin mahal. Terus, berarti nggak papa gitu kalau gigs mandiri itu rugi terus dan organisernya nombok mulu? Ini nih yang bikin saya ke-trigger sampai bikin utas menanggapi itu.
Oh ya, sebelumnya, udah tahu kan perbedaan konser dan gigs mandiri? Gigs ini esensinya emang berbeda dengan konser, terutama dalam hal skala. Gigs itu merujuk ke pertunjukan kecil dengan jumlah penonton sekitar 100 orang. Sementara itu, konser bisa ribuan.
Gigs sendiri cenderung diselenggarakan secara mandiri tanpa ketergantungan sponsor mainstream (misalnya rokok) sementara konser yang membutuhkan dana produksi yang lebih tinggi selalunya bergantung pada sponsor/investor besar. Gampangnya sih begitu.
Fenomena baru
Nah, selama pandemi, ternyata memunculkan fenomena baru dalam pengorganisiran gigs mandiri di Jogja. Tahu sendiri kan banyak muncul coffee shop yang buka selama pandemi. Ini jadi salah satu titik penting munculnya generasi baru yang membawa perubahan tersebut.
Menjamurnya coffee shop ini kemudian menjadi tempat berkumpulnya anak muda yang suka musik, yang kemudian bikin band tapi bingung mau main di mana. Kebutuhan venue untuk gigs mandiri bertemu dengan coffee shop yang butuh pelanggan ini memunculkan konsep nge-gigs di coffee shop. Fenomena gigs mandiri di coffee shop ini membuat sebuah budaya baru di skena musik Jogja terutama dalam hal ticketing.
Sebelumnya, sekitar pertengahan era 2000, muncul mindset kalau gigs mandiri itu harus gratisan atau tiketnya murah. Budaya gratisan ini masih melekat walaupun sudah berupaya untuk dihapus. Gerakan seperti No Ticket No Show di gigs mandiri juga mulai digaungkan. Tapi seperti biasanya, selalu ada kesulitan untuk memulai sebuah kebiasaan baru. Banyak yang masih bertahan dengan mindset gig mandiri itu gratisan sehingga enggan datang ke acara bertiket plus juga banyaknya opsi acara lain yang nggak berbayar dan lebih bersahabat sama UMR Jogja.
Sistem baru
Di era pandemi, beberapa coffee shop di Jogja menyediakan venue dengan menerapkan sistem yang mirip first drink charge. Intinya, harga tiket sudah termasuk pemakaian tempat dan free produk minuman mereka bagi para pembeli tiket.
Misalnya, harga tiket sekarang di Jogja sekitar Rp25.000, maka Rp10.000 untuk organiser gig, Rp15.000 bagiannya coffee shop yang ngasih gratis satu cup of coffee/non coffee untuk pembeli tiket. Harga tiket ini juga fleksibel semisal organizer gig pengin dapet keuntungan lebih buat nutup produksi dan bayarin band maka tinggal naikin share tiket untuk mereka.
Kondisi yang belum ideal
Terus apakah hal ini sudah ideal? Sepertinya masih belum tapi setidaknya sedang menuju kesana. FYI, organiser gig masih harus sewa alat studio, sementara kapasitas coffee shop yang minim sekitar 30-100 orang dengan rerata penonton sekitar 50 orang per gig masih belum ideal untuk menutup biaya produksi, bayar band yang main, plus keuntungan untuk dibagi ke panitia.
Apa kamu pikir tenaga, waktu, dan ide yang dihabiskan orang-orang di balik organiser gig ini tidak layak untuk mendapat bagiannya?
Jadi, lain kali, ketika kamu ingin protes kok tiket gigs mandiri di Jogja makin mahal, pikirin hal-hal di atas. Kamu nggak wajib datang ke gig kok kalau merasa tiketnya kemahalan untuk uang saku, eh sori, UMR Jogja. Tentunya rebahan di kasur sambil dengerin lagu band yang main di gig (yang kamu nggak mampu beli tiketnya) itu lebih adil daripada nyinyirin orang lain bukan?
BACA JUGA Harga Tiket Konser di Jogja Terlalu Mahal dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Martinus Indra Hermawan
Editor: Yamadipati Seno