Tidak di Jakarta, Tidak di Jogja: UMR Ditekan Serendah-rendahnya, Harga Rumah Dikatrol Setinggi-tingginya

Problem yang terjadi tidak hanya di Jogja, tapi juga di Jakarta: tanah dibeli bukan untuk kebutuhan, tapi untuk memperbanyak margin keuntungan.

Derita Rumah Pinggir Jalan dan Usaha Bersyukur Udah Nggak di Kontrakan MOJOK.CO

Derita Rumah Pinggir Jalan dan Usaha Bersyukur Udah Nggak di Kontrakan MOJOK.CO

MOJOK.COKenapa sih kita harus punya rumah? Emang salah ya ngekos seumur hidup kalau harga rumah memang sudah tak realistis?

Baru beberapa hari kemarin, saya menemukan laporan harian Kompas yang menurunkan liputan tentang bagaimana harga properti di Jakarta nyaris tak bisa dipenuhi oleh para pekerja milenial.

Para pekerja di Jakarta dengan upah minium yang ada saat ini, cuma bisa membeli rumah tipe kecil. Itu pun bukan di pusat kota melainkan 50-60 kilometer dari tempat mereka bekerja. Rumah di tepi Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi jadi pilihan masuk akal untuk upah yang ada.

Pertanyaannya, apakah hal kayak gitu sepadan?

Sejak 2013 hingga 2020 saya tinggal di Jakarta. Berkantor di Menteng dan kos di Cawang, kemudian berkantor di Kemang dan tinggal di Cilandak. Perjuangan untuk bekerja dan tinggal di kota itu nyaris seperti laku prihatin. Dipaksa mengatur keuangan sebaik mungkin karena nyaris segala kebutuhan sangat mahal.

Dengan gaji 3,5 juta saat itu saya tinggal di kosan yang biaya sewanya 800 ribu perbulan. Itu pun jauh. Ada kosan yang lebih dekat, tapi dengan harga sekitar 1,5 juta. Ya masa saya menghabiskan nyaris separuh gaji hanya untuk kos?

Oh, iya sebelum melantur lebih jauh, saya mesti memberi tahu Anda sekalian, saya bukan pakar perumahan, apalagi financial planner. Saya cuma pekerja 9-5 yang sempat berkarier di Jakarta dan tidak juga bisa membeli rumah.

Kosan seharga 800 ribu per bulan itu cukup nyaman, tapi sekali lagi Itu kos, bukan rumah. Kamu harus berhemat luar biasa untuk bisa punya rumah di sekitar Jakarta. Sebagai pekerja milenial dengan bayaran UMR, punya rumah di Jakarta itu mustahil. Tentu ada apartemen, tapi apartemen juga bisa di atas 300 juta.

Untuk bisa punya rumah di bawah 200 juta, kamu harus mencari rumah jauh di tepi Bogor, Bekasi, Tangerang, atau Depok. Risikonya? Ya mesti bersiap menempuh jarak yang jauh.

Apakah fenomena ini cuma di Jakarta? Tentu tidak. Sejak awal 2021 saya pindah ke Jogja. Melihat beberapa poster harga rumah dan tanah di Jogja saya jadi berpikir, kayaknya mustahil punya rumah di sini hanya bermodal pendapatan UMR.

Persyaratan mengambil KPR, harus memiliki gaji 5 juta per bulan, lha UMR rata-rata nggak sampai 2 juta. Melihat perbandingan itu, saya tentu bertanya-tanya, lalu orang-orang muda kayak gimana dong yang bisa beli rumah di Jogja?

Sebagai contoh, di Jalan Magelang Km. 14, rumah tipe 65/140 dijual dengan harga Rp385 juta. Sementara rumah di kawasan Jalan Wonosari Km. 9 dijual dengan harga Rp345 juta untuk tipe 45/80.

Di Prambanan, rumah dengan tipe 45/100 meter per segi dijual dengan harga Rp220 juta. Sementara itu, kawasan pinggiran selatan Yogyakarta, Bantul, harganya relatif jauh lebih murah dibanding dengan di Sleman atau Kota Yogyakarta.

Itu laporan Tirto tahun 2016 lho, yang artinya, jika dikonversi hari ini, harga itu tentu jauh lebih mahal lagi.

Masalahnya kenapa sih kita harus punya rumah? Emang salah kalau kos atau mengontrak rumah?

Sayangnya cita-cita kepemilikan rumah adalah untuk menjamin hidup di masa depan. Kita diajarkan punya rumah adalah kebanggaan, status, simbol bahwa hidup sudah penuh dan sudah selesai. Akibatnya, kita didorong untuk membeli rumah, meski kadang tidak sanggup untuk membayar uang muka, mencicil, dan lainnya.

Terus solusinya apa dong? Yang paling gampang tentu jadi menantunya Chaerul Tanjung atau punya marga nama Tanoesoedibjo atau Bakrie.

Sayangnya, kita bukan anak konglomerat atau minimal lahir dari Keluarga Cendana. Kita cuma bisa bekerja keras 8 jam sehari, itu pun masih diledek, harus punya kerjaan sampingan, harus punya tambahan penghasilan.

Atau, kita bisa meniru apa yang dilakukan warga Berlin yang melakukan referendum kepemilikan rumah. Nyaris 200.000 ribu properti akan diambil alih oleh Pemerintah Berlin untuk kemudian didistribusikan kepada mereka yang butuh.

Terdengar sangat indah? Tunggu dulu, menurut laporan dari DW, regulasi dan aturan kepemilikan properti ini kan melahirkan masalah baru. Siapa yang akan mengurus? Siapa yang akan menempati? Dan bagaimana pengelolaannya?

Di sisi lain, pemerintah di negara bagian seperti di New South Wales, Australia, bermitra dengan sektor swasta dan kelompok perumahan non-pemerintah dan masyarakat untuk mengembangkan atau merenovasi 23.000 unit rumah.

Tujuannya rumah-rumah itu akan menjadi tempat tinggal bagi warga yang membutuhkan. Cita-citanya sih mengakhiri gelandangan. Pembiayaannya ada yang murah dan ada yang dijual kepada individu yang mapan.

Mimpi punya rumah sebenarnya lahir bahwa kita kelak akan hidup sendiri, maka perlu rumah untuk membangun keluarga, dan jika beruntung anak-anak kita akan merawat di usia tua.

Di negara yang menjamin kebutuhan dasar dan jaminan sosial, kita tak perlu takut akan mati tua di jalan. Pemerintah akan menyediakan panti jompo bermutu, sehingga tak perlu ada tekanan bagi pekerja untuk harus punya rumah.

Penyebab lainnya tentu adalah kapitalisma.

Hingga hari ini seminar atau workshop beli rumah tanpa modal, atau bagaimana membeli 10 rumah sebagai aset, dan sebagainya. Kita dibikin percaya bahwa rumah bukan saja bisa untuk ditinggali, tapi bisa untuk disewakan dan setelahnya kita tak perlu bekerja. Passive income.

Mengambil jatah tanah untuk populasi keluarga orang lain karena kita lebih kaya dan ingin jadi tambah kaya. Tindakan yang didasarkan bukan atas asas kebutuhan, tapi asas keuntungan. Lantas merasa tak masalah jadi “benalu” atas hasil keringat kerja orang lain.

Orang lain yang kehabisan opsi tempat tinggal karena sekarang kamu lah tuan tanahnya.

BACA JUGA Pengorbanan yang Perlu Kamu Lakukan untuk Dapat Rumah Murah di Jogja dan tulisan Arman Dhani lainnya.

Exit mobile version