Terpujilah Wiranto, Bapak Hemat Kuota Internet

Terpujilah Wiranto, Bapak Hemat Kuota Internet

MOJOK.COPak Wiranto ini memang luar biasa betul. Kebijakannya dalam menjalankan misi keamanan berkolaborasi dengan Rudiantara, sungguh tak ada duanya.

Sepertinya seseorang telah memakai Infinity Gauntlet dan berhasil melengkapinya dengan enam Infinity Stone. Lalu ia menjentikkan jari. Snap! Pada tanggal 22 Mei 2019, tiba-tiba WhatsApp, Facebook, dan Instagram tidak bisa diakses. Orang-orang pun kebingungan.

Bucin yang sedang menunggu Instastory terbaru dari pujaan hatinya jadi kelabakan ketika Instagram down. Bapak-bapak dan ibu-ibu tidak bisa eksis di grup Whatsapp yang rerata isinya pesan-pesan hoax berantai. Om-om dan tante-tante terpaksa harus puasa Facebook dan berhenti mengonsumsi meme dan jokes dari akun shitposting.

Mungkin Mark Zuckerberg di Amerika Serikat sana turut kebingungan ketika melihat statistik FB, IG, dan WA. Pasalnya, ia kehilangan banyak pengunjung dan pengguna dari Indonesia di tiga keranjang bisnisnya itu dalam sehari. Kenapa juga yang diblokir cuma usahanya Mark Zuckerberg saja, ya? Ada sentimen apa orang Indonesia dengan pria Yahudi satu ini?

Sementara itu, bakulannya Larry Page di Google aman-aman aja. YouTube juga masih lancar jaya. Apalagi Twitter, beh gesit. (Eh, emang masih ada yang pakai Twitter?)

Untungnya, ada AVPNgers (Avengers berbentuk VPN) yang menolong warga sipil ketika kehilangan hak mengakses media sosial dan aplikasi chatting. VPN (Virtual Private Network) memberikan harapan baru. Masyarakat kembali ceria dan langsung temu kangen dengan segala media sosial yang sempat terpisahkan.

Namun, beredar desas-desus kalau VPN tidak aman. Terutama bagi pengguna internet banking dan kartu kredit. Pencurian data dan informasi pribadi pengguna bisa saja terjadi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh Rudiantara sebagai Menkominfo yang punya wewenang ilmiah memberikan ceramah teknologi di bidang cyber.

Warga sipil pun kembali galau. Akhirnya, satu persatu warganet meninggalkan VPN yang penuh risiko. Lalu, mereka menerima nasib sebagai rakyat sebuah negara berkembang yang terisolir dari dunia digital.

Menghadapi pembatasan media sosial tanpa VPN, admin online shop di Instagram tidak bisa berdagang di kolom komen selebgram. Di Facebook, forum jual-beli sepi, tidak ada yang nanya harga dan nego di inbox. WhatsApp yang sulit untuk digunakan chatting pun mengakibatkan ribuan transaksi bisnis terancam batal. Kerjaan pun terhambat.

Sudahlah rugi miliaran rupiah di pasar tradisional nan konvensional akibat kerusuhan di Tanah Abang. Eh, ditambah pakai acara tekor juga di ranah e-commerce. Tidak jadi Dilan (Digital Melayani), tapi justru Milea (Milenial Menderita).

Coba dihitung, kira-kira dalam sehari berapa ratus selebgram nggak bisa upload konten endorsement dan paid promote? Berapa ribu influencer, baik yang macro, micro, maupun nano, yang nggak bisa posting amanah brand sesuai brief? Satu-satunya yang berjaya cuma buzzer-buzzer istana dan cyber army di Twitter.

Ternyata, dalang di balik semua ini adalah Wiranto yang menjabat sebagai Menko Polhukam (Politik, Hukum, dan Keamanan). Beliau menjalankan misi keamanan berkolaborasi dengan Rudiantara sang Menteri Komunikasi dan Informasi. Tentu, kita masih ingat dengan sepak terjang Menkominfo satu ini. Dengan tangan dinginnya, beliau sudah pernah blokir Telegram dan Tumblr karena alasan terorisme dan pornografi. Bahkan beliau pernah mengancam akan blokir Facebook dan Google.

Saat itu Facebook berpeluang membocorkan data pribadi WNI yang bisa saja mempengaruhi hasil pemilu dan stabilitas negeri. Nah, jika Mark Zuckerberg sampai melakukannya, Rudiantara akan menjentikkan jarinya dan menutup akses platform Facebook. Sementara Google pernah diduga tidak membayar pajak di Indonesia. Oleh karena itu, Rudiantara betul-betul memberikan peringatan keras. Sebagai ksatria, beliau berusaha melindungi bangsa dan rakyatnya. Memang Pak Rudiantara ini bukan kaleng-kaleng.

Dua menteri dinamis ini sengaja membatasi akses media sosial sejak aksi 22 Mei 2019 berlangsung. Alasannya, untuk mencegah berita bohong beredar luas di kalangan masyarakat pada kondisi tidak kondusif. Takut ada ujaran provokatif yang dapat memicu aksi lebih ekstrim. Apakah kita harus mendukung langkah politis yang diambil oleh Wiranto? Niatnya kan demi kebaikan~

Mungkin selama ini kita hanya mengenal Wiranto sebagai salah satu Faceless Men. Layaknya Jaqen H’gar dan Arya Stark si pengabdi The Many-Faced God di serial Game of Thrones.

Jauh sebelum Atta Halilintar dan Baim Wong menyamar jadi gembel untuk memperkaya diri konten YouTube, Wiranto sudah melakukan penyamaran demi elektabilitas menjelang pilpres 2014. Beliau bisa menyamar menjadi pedagang asongan dan tidak ketahuan. Menjadi tukang becak, masih tidak ketahuan juga. Menjadi kernet bus, lagi-lagi tidak ketahuan. Bahkan menjadi bakal capres pun tidak ketahuan, sampai akhirnya tidak jadi nyapres.

Jauh sebelum drama penyamaran itu, Wiranto adalah salah satu tokoh kunci di kerusuhan Mei 1998. Beliau sudah berpengalaman menghadapi konflik semacam ini sebelumnya. Apabila kali ini beliau juga berhasil melewatinya dengan gemilang, maka Wiranto adalah veteran di dua kerusuhan. Kepadanya, kita bisa percayakan keamanan negara.

Memang menyebalkan kebijakan yang dibikin Wiranto ini. Ada masanya WhatsApp nggak bisa dipakai kirim video dan gambar. Alhasil, yang biasa minta pap (post a picture) ke pacarnya, harus bersabar. Namun, lihat juga sisi baiknya dong, memori ponsel kita tidak perlu menerima gambar dan video lucu di grup Whatsapp keluarga (yang sebelumnya sudah kita lihat di media sosial lima tahun lalu).

Bersama Wiranto featuring Rudiantara, kita hemat kuota internet. Bayangkan, berapa banyak uang yang bisa dihemat dari keharusan beli pulsa? Terus, kalikan dengan jumlah penduduk Indonesia yang menjadi pengguna aktif internet. Berapa banyak? Buanyak~

Apalagi hal ini pas dengan momen Ramadan, sehingga bisa kita gunakan untuk berkumpul dengan keluarga dan sejenak menyingkirkan smartphone dari jangkauan. Oleh karenanya, terima kasih Pak Wiranto, yang telah mendekatkan yang dekat dan menjauhkan yang jauh. Kami berasa seperti nostalgia tahun 90’an.

Namun, namanya nostalgia itu sementara. Untunglah, akses media sosial dan aplikasi chatting yang sempat dibatasi itu kembali normal. Akhirnya, pemerintah tersadar. Dengan menutup keran informasi, mungkin bisa menghalau berita bohong. Namun, di sisi lain, justru bisa mencegah kabar benar dan aktual sampai ke tangan rakyat.

Dari dulu, solusi masalah semacam ini bukan membatasi media penyebaran informasinya. Melainkan meningkatkan nalar kritis sumber daya manusianya. Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, itu juga tugas negara.

Jadi, setelah sukses duet dengan Menkominfo, mungkin ke depannya Pak Wiranto akan bekerja sama dengan Mendikbud?

Exit mobile version