Ternyata Alasan Rachel Vennya Lepas Hijab Bisa Saya Pahami karena Saya Juga Alami Hal yang Sama

MOJOK.COBaru saja saya dengar alasan Rachel Vennya lepas hijab. Dan rasanya saya sangat terwakili, karena saya pun mengalaminya.

Biasanya, saya tidak menonton vlog artis Indonesia, apalagi yang durasinya di atas 9 menit. Rasanya malas aja.

Tapi, ada yang menarik dari judul video yang saya tonton dari channel YouTube Boy William. Topiknya tentang alasan Rachel Vennya lepas hijab.

Bagi saya, mencari jawaban atas pertanyaan “kenapa” selalu menarik. Apalagi kalau soal lepas hijab yang biasanya jadi bahan baku munculnya nasihat netizen sejagat raya.

Inti cerita di video tersebut adalah alasan Rachel Vennya untuk lepas hijab ternyata sama dengan ketika dia dulu memutuskan untuk memakainya. Keduanya berdasarkan kata hatinya, bukan karena paksaan.

Tapi, yang menarik bagi saya adalah penjelasan kepada para followers-nya bahwa mereka bebas untuk unfollow dia. Rachel Vennya pun tidak menganjurkan orang lain melakukan hal yang sama (baca: lepas hijab).

Rachel Vennya tahu apa yang dilakukannya. Ada salahnya dan pastinya ada konsekuensinya. Dan dia siap bertanggung jawab penuh atas keputusan terhadap diri tersebut.

Oke, saya suka penjelasannya. Nggak bertele-tele. Straight to the point.

Selain itu, Rachel Vennya pun menyatakan sedikit berat hati saat baru pertama kali pakai hijab, orang-orang langsung mengaitkannya dengan hijrah. Padahal baginya, aktivitasnya dalam menjalankan agama, belum segitu dalamnya untuk disebut hijrah.

Gara-gara alasan yang disampaikan Rachel Vennya itu, saya jadi ingat pengalaman saya saat kuliah.

Awalnya, saya tak memakai hijab. Kebetulan sekelas saya agamanya Islam semua dan hanya saya perempuan yang tak memakai hijab. Karena itu pula, setiap dosen yang masuk selalu bertanya agama saya apa.

Ketika saya jawab, “Islam”, mereka justru bertanya lagi, “Kenapa tak pakai hijab?”

Saya lelah ditanya begitu terus oleh banyak dosen yang sebenarnya bukan dosen pendidikan agama, apalagi kampus saya juga bukan kampus Islam. Atau, setidaknya, kenapa harus membahas diri saya sejak awal jam kuliah dan bukannya membahas materi perkuliahan?

Apa sih pentingnya saya? Sampai tiap kuliah selalu ditanya-tanya agama saya apa?

Karena capek selalu ditanya-tanya sendiri tiap awal kuliah, saya akhirnya memutuskan untuk pakai hijab. Hanya demi menghindari pertanyaan di kelas, “Agamamu apa?”

Hal kayak gini juga sebenarnya berasal dari nasihat teman-teman saya. Barangkali mereka sama risihnya dengan pertanyaan-pertanyaan dosen di kampus saya. Akhirnya mereka pun menyarankan juga.

“Udah pakai aja. Di kampus doang ini. Gua juga di luar nggak make.”

Dan saat saya pakai hijab, saya tak menyangka beberapa dosen dan staf kampus berlebihan merayakan keputusan saya itu. Hal yang menurut saya, sangat-sangat berlebihan.

Itulah kenapa saya jadi paham apa yang dirasa Rachel Vennya saat dianggap sudah berhijrah. Sambutan orang-orang di sekelilingnya tersebut, diiringi ekpektasi tinggi malah jadi tekanan yang tak positif.

Dan dalam tekanan itu, saya paham kenapa Rachel Vennya kemudian memilih lepas hijab. Alasan yang mungkin bisa dipahami, karena saya juga mengalami beberapa waktu lalu.

Jadi, ketika saya kuliah, saya pun tetap mempertahankan memakai hijab sampai lulus. Setahun sejak ijazah sudah bisa diambil, saya baru datang ke kampus lagi untuk mengurusnya. Tentu saja saya ke kampus tidak pakai hijab.

Dan hasilnya?

Saya dipelototin staf dan dosen-dosen di kampus. Gestur mereka mendadak jadi sangat defensif, tak simpatik, dan terkesan marah. Saya tak ditegur sapa sama sekali dan lebih sering dipelototin. Saya jadi kayak barang menjijikkan di sana. Kayak seseorang yang dijauhi karena penyakit kusta.

Reaksi tidak simpatik ini, kalau boleh saya nilai, sebenarnya tidak alami juga. Kenapa? Karena para staf dan dosen tahu betul kalau saya itu nggak pakai hijab di luar kampus. Ngapain mereka marah kalau saya ke kampus dengan keadaan yang tak melanggar peraturan kampus sama sekali begini?

Atau mungkin, reaksi mereka begitu karena menganggap harusnya saya menjaga aturan “mereka” bahkan setelah saya jadi alumni? Padahal kampus saya sendiri adalah kampus umum, bukan kampus agama. Jadi apa yang salah dengan busana saya sampai mereka bersikap kayak gitu?

Dibanding amarah, saya justru merasa kecewa dengan sikap itu. Padahal, selama kuliah saya termasuk anak yang sopan, bahkan di luar kampus selalu memakai baju yang tertutup meski tak pakai hijab, dan selalu berusaha untuk tak pernah sekalipun merepotkan dosen-dosen saya.

Bisa dong mereka bersikap baik secara profesional? Bahwa urusan saya ke kampus adalah urusan akademik, bukan mau ke kantor urusan agama untuk bertanya soal dalil lepas hijab?

Dan sikap seperti itu, justru semakin menjauhkan saya dengan hijab. Apalagi kadang, masih ada saja yang follow di akun IG, cuma buat komen, “Sayang banget, kenapa lepas hijab?”

Mungkin saya dan Rachel Vennya sama, kami sedari awal memang belum benar-benar memakai hijab. Sehingga apa yang kami lakukan sebenarnya bukanlah “lepas hijab”, tapi memang menunjukkan kejujuran pada lingkungan bahwa dari dulu kami memang “belum berhijab”.

Ini semua agar orang-orang tahu, hijab yang kami pakai ini pada dasarnya hanya untuk menghentikan orang-orang yang terus saja bertanya, “Agamamu apa sih? Kenapa tak berhijab?”

Sampai akhirnya saya sadar, orang-orang seperti itu, ternyata memang selalu berlipat ganda dan tak pernah sadar kalau caranya yang seperti itu justru semakin menjauhkan seseorang dari hijab.

BACA JUGA Kerudung di Negeri Ini dan Tafsir yang Dilekatkan Pada Kami dan tulisan rubrik ESAI lainnya.

Exit mobile version