Terawan Tidak Salah, Kita Lebih Suka Testimoni Ketimbang Metode dan Bukti Ilmiah

Jangan pojokkan Pak Terawan. Beliau justru panutan, memberi contoh cara memahami kebiasaan sebagian rakyat (dan pejabat) Indonesia.

Terawan Tidak Salah, Kita Lebih Suka Testimoni Ketimbang Metode dan Bukti Ilmiah

Ilustrasi Terawan. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSeharusnya, IDI ini malah memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Pak Terawan karena kemampuan cerdiknya membaca situasi dan kondisi masyarakat.

Di negara yang tidak butuh bukti ilmiah seperti Indonesia, Pak Terawan adalah sosok yang cocok menjadi panutan. Kita tidak perlu penjelasan dari masyarakat ilmiah yang mengatakan bahwa metode DSA atau Vaksin Nusantara itu tidak sesuai dengan kaidah ilmiah. Ya, yang kita butuhkan itu cukup testimoni. Apalagi kalau yang bicara para tokoh yang punya pengaruh.

Coba kita sama-sama menelaah keputusan muktamar IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Salah satu keputusannya adalah memberhentikan Pak Terawan secara permanen dari keanggotaan IDI. Alasan pemberhentiannya adalah pelanggaran etik dari metode brainwash dan proses “pembuatan” Vaksin Nusantara.

Buat kamu yang belum paham konteksnya, pada 2018, beliau mengenalkan metode cuci otak atau brainwash untuk mengobati stroke. Terapinya memberi hasil bagus… katanya.

Padahal, waktu itu, pengurus IDI menyebut metode Digital Subtraction Angiogram (DSA) atau brainwash yang digunakan Pak Terawan untuk pengobatan stroke itu belum teruji secara klinis. Belum teruji secara klinis, tapi sudah dipakai.

Lengkap tentang DSA, bisa Anda baca sendiri di sini. Singkatnya, DSA ini adalah metode diagnostik untuk melihat pembuluh darah. Pak Terawan kemudian melakukan tindakan lanjutan yang katanya bisa memperbaiki kondisi pasien dengan penyakit stroke.

Perihal kebenaran kesembuhan, saya tidak mau komentar. Status saya sebagai warga negara Indonesia membuat saya berkata begini: “Sembuh tidak sembuh hanya milik Tuhan. Yang penting saya berusaha.” Toh sudah ada testimoni metode tersebut dari Pak Prabowo dan Pak Aburizal Bakrie.

Untuk Vaksin Nusantara, beliau pernah berkata bahwa efek vaksin ini, berdasar literatur yang dibacanya, bisa memberikan kekebalan selama puluhan tahun.

Prosedurnya, para penerima vaksin akan diambil darahnya. Sel darah putih khusus bernama sel dendritik akan dikenalkan dengan virus. Kemudian, sel dendritik yang sudah bisa mengenal sekaligus menghajar virus ini kelak akan dikembalikan lagi ke tubuh pasien.

Terlihat masuk akal, walaupun rumit. Lantas, apakah berhasil memberikan kekebalan? Belum ada rekomendasi ilmiah dari penggunaan vaksin jenis ini, sih.

Namun, sekali lagi, sebagai warga Indonesia, saya akan bilang: “Kesembuhan hanya milik Tuhan. Jangan Anda halangi ikhtiar manusia mencari kesembuhan!”

Tercatat, deretan tokoh nasional telah menjadi relawan. Misalnya Pak Aburizal Bakrie dan Pak Gatot Nurmantyo.

Dari dua ilustrasi tersebut satu kunci bisa kita ekstrak. Ya benar, testimoni. Tidak perlu metode ilmiah yang njelimet itu. Selama ada pihak yang “merasa” ada manfaatnya, ya lakukan saja. Perkara metode dan bukti ilmiah ya belakangan. Diberhentikan secara permanen karena melanggar etik? Ya pikir belakangan.

Toh, masyarakat umum juga tidak kaget dan heboh untuk mempertanyakan metode dan bukti ilmiah dari Pak Terawan terkait teknik brainwash dan Vaksin Nusantara. Mereka memang tidak butuh. Justru menjadi aneh banget ketika IDI mempertanyakannya.

Mungkin, menurut IDI, cara yang mereka lakukan adalah cara paling tepat untuk mengatasi ketimpangan atas ketiadaan bukti dan metode ilmiah yang dilanggar Pak Terawan. Apalagi yang beliau lakukan ini sudah melanggar etik.

Saya sebenarnya juga heran. Ini IDI kok kurang paham tentang keadaan masyarakat kita, sih?

Bukannya budaya testimoni tanpa bukti dan metode ilmiah ini sudah mengakar kuat di masyarakat? Apalagi testimoni-testimoni ini telah diamini oleh tokoh-tokoh penting dari negara kita tercinta ini.

Mungkin masyarakat ilmiah yang digawangi IDI ini juga memiliki maksud tersirat. Misalnya, seperti pengharapan supaya masyarakat kita seharusnya sudah bisa segera beralih menjadi masyarakat yang memiliki dasar bukti ilmiah dalam menentukan keputusan.

Tapi IDI juga lupa, yang mereka hadapi bukan hanya masyarakat kelas menengah ke bawah, namun para tokoh penting negara yang masih berpikir demikian. Hal ini nyatanya juga mencederai iklan-iklan yang isinya melulu tentang testimoni. Testimoni jamu tradisional dan kosmetik misalnya.

Maksud IDI tentu baik. Mereka berharap, ke depannya, masyarakat bisa paham bahwa testimoni dan klaim sepihak belum cukup untuk menjadi sebuah landasan akan sebuah khasiat dari metode atau obat. Perlu metode ilmiah yang terstandar untuk membuktikannya.

Ya gimana ya, memang begitu tradisi kita. Di masyarakat pedesaan lebih terlihat lagi. berapa coba orang yang lebih percaya pengobatan tradisional Sangkal Putung daripada dokter spesialis ortopedi untuk menyembuhkan patah tulang?

Ya, lagi-lagi, gara-gara testimoni dari keluarga atau tetangganya, belum lagi tentang obat tradisional penghilang batu ginjal, penyembuh diabetes, pembesar penis, dan lainnya, yang nyatanya belum melewati uji terstandar secara ketat.

Seharusnya, IDI ini malah memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Pak Terawan karena kemampuan cerdiknya membaca situasi dan kondisi masyarakat. Ini teknik spesial untuk bertahan diri di tengah iklim politik, lho.

Nggak heran kalau ada anggota partai tertentu yang ngotot kalau pemecatan yang dilakukan IDI itu nggak sah. Padahal, dia nggak punya dasar untuk bilang keputusan ini nggak sah. Pokoknya ngegas dulu. Urusan bukti ilmiah ya belakangan. Lho, kok sama, ya?

Kini saya paham. Keputusan Pak Jokowi mengangkat beliau menjadi Menteri Kesehatan di masanya memang memiliki dasar kuat. Bukankah satu ciri manusia unggul adalah manusia yang ahli menempatkan diri sesuai tempatnya atau disebut empan papan?

Pak Terawan adalah contoh konkretnya.

BACA JUGA Jadi Percaya Diri seperti Pak Terawan dan analisis ilmiah lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Prima Ardiansyah

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version