Ketika hari ini masjid-masjid kampus dan kegiatan kerohanian marak dikerubuti anak-anak muda; ketika berangkat ke masjid sama kerennya dengan ke kafe/diskotek; ketika berjilbab sama bergayanya dengan memakai pakaian yang serbamini, mula-mula berterimakasihlah kepada Masjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB).
Anda benar, Masjid Salman yang saya maksud adalah masjid yang dituduh sebagai sarang radikalisme dakwah Islam sepekan jelang Ramadan. Tuduhan mutakhir ini bisa jadi benar kalau melihat rantai sejarahnya setengah abad terakhir. Namun, kita mesti adil meletakkan apa pun pada proporsinya.
Pahamilah, Salman ITB itu bukan hanya soal tempat; soal masjid yang tak punya kubah; soal sepetak tanah di mana anak-anak muda calon insinyur dengan segala jurusan keilmuan dan keterampilan menghadap kiblat dan membicarakan keyakinan mereka di hadapan tafsir-tafsir dunia.
Salman ITB itu ikon; terutama merangkul kembali anak-anak muda terpelajar di perkotaan besar untuk kembali ke agamanya lewat pintu-pintu masjid dan dari balik mimbar serta bilik mihrab.
Masjid yang dibangun kakak-adik Ahmad Sadali (pembuat logo HMI) dan Ahmad Noe’man pada 1963 ini, oleh Imaduddin Abdul Rahiem berubah menjadi gerbong dakwah Islam. Bang Imad yang berapi dan Sadali yang teduh membawa Salman ITB mendobrak praktik keberagamaan dalam kampus.
Lewat Bang Imad, mula-mula puluhan anak muda dipanggil dan digembleng di madrasah bernama Latihan Mujahid Dakwah (LMD). Kronik 1974 mencatat tahun itu menjadi tonggak lahirnya dakwah dalam kampus yang sifatnya “sekuler” (di luar IAIN) di masa orde militer Harto. LMD, dengan metode cuci otak dan “membersihkan” akidah mahasiswa, menjadi jalan awal perjuangan dakwah dalam kampus.
Resep Bang Imad itu terbukti manjur menarik minat. Bukan hanya dari kampus ITB, tetapi juga mahasiswa dari kampus lain. Alumni-alumni kader LMD didikan Salman ITB kemudian jadi anak panah hadirnya badan kerohanian di kampus-kampus. Masjid Arief Rahman Hakim di UI Jakarta menjadi basis dakwah dengan kegairahan baru. IPB Bogor melahirkan Badan Kerohanian Islam (BKI). Gairah yang ditabur Salman ITB itu menggeliat pula di Jamaah Salahuddin UGM dan ITS Surabaya.
Tidak berhenti di sana, kader mujahid dakwah Salman ITB itu juga terlibat dalam “pemakmuran” masjid secara umum dengan membentuk Badan Koordinasi Pemuda Masjid (BKPM). Dari lembaga ini lahir generasi takmir masjid dengan napas baru dan wajah segar yang umumnya dipundaki anak-anak muda.
Salman ITB mengubah secara radikal dan memberi perspektif baru bahwa berkegiatan di masjid itu keren, enggak kuper, atau masjid hanya tempat pelarian saat kesepian dan patah hati. Di masjid itu ada otak, sekaligus hati. Masjid tak sekadar tempat sujud yang sunyah bagi manusia-manusia uzur menuju Sang Khalik, tapi arena berorganisasi dan membangun jejaring perjuangan dakwah.
Dari Salman ITB itulah kita bisa mendaftar kemunculan basis-basis dakwah baru dengan metode dan weltanschauung ala Salman dengan menggunakan masjid sebagai mondialnya. Sebut saja Masjid Syuhada dan Sudirman di Yogyakarta; Masjid Sunda Kelapa, Al-Azhar, Cut Meutia di Jakarta; Masjid Al-Falah dan Kemayoran di Surabaya; dan tentu saja Masjid Mujahiddin dan Istiqomah di Bandung.
Kegiatan semacam Ramadan di Kampus (RDK), Pesantren Kilat untuk pelajar di musim libur, kultum, pemakaian jilbab dengan semangat baru untuk mahasiswa dan pelajar SMA, hingga penerbitan buku dengan tema yang segar selalu terhubung dengan Salman ITB. Jika lini penerbitan sebelumnya hanya dikuasai Bulan Bintang dan Bina Ilmu, di masa ghiroh yang dibawa Salman ini memunculkan Mizan dan Pustaka Salman. Dengan pustaka dakwah yang kontekstual itulah mahasiswa dengan gairah keislaman yang meluap-luap itu memamah buku-buku karya Ali Syariati, Murtadha Muthahari hingga Yusuf Qardhawi, Maududi, dan Sayyid Quthub.
Kegairahan ini tentu saja menimbulkan ekses dan gesekan. Jika Anda melihat siswi di sekolah negeri berjilbab saat ini, yakinlah, bahwa itu tak datang begitu saja. Jilbab adalah benda aneh di kepala karena sebelumnya perempuan muslim hanya memakai kerudung. Lewat Salman, jilbab disemarakkan, bahkan percobaan pertama secara terbuka dilakukan di SMA 3 Bandung pada 1982. Sekolah tentu saja keberatan. Hukum skors dan sebagainya diberlakukan. Bahkan, kasus pelarangan siswa berjilbab di Jakarta berujung di meja pengadilan.
Perjuangan menegakkan kain jilbab di sekolah menjadi pemanasan menuju babak baru, hubungan yang tegang dengan pemerintah ketika desas-desus Asas Tunggal Pancasila mulai dihembuskan. Kegairahan ini rupa-rupanya ingin dipadamkan dengan resep cespleng mengendarai garuda sebagai mobil pemadam kebakaran.
Sejumlah peristiwa yang menjadi dalih penghancuran; antara lain 65 jam pembajakan pesawat Garuda DC9 pada 28 Maret 1981 oleh Pemuda Masjid Istiqamah Bandung pimpinan Imran, yang sebelumnya dimulai dengan penyerangan kantor polisi di Cicendo, Bandung. Masih ingat bom panci Cicendo pada Februari 2017? Nah, itu pita kaset lama yang diputar kembali.
Kenal Masjid Sudirman di Jl Kolombo Yogya? Masjid yang saat ini rutin menggelar pengajian filsafat, kejawen, hingga metode marxisme dalam mengaji Alquran itu pernah menjadi “sarang radikalisme” yang membuat alat negara datang menggebuknya. Perkaranya adalah buletin Ar-Risalah yang dikelola takmir bernama Irfan Suryahardy, dan dicetak lebih kurang 10 ribu eksemplar. Buletin itu dituding mengompori pembangkangan dengan mengafirkan pemerintah dan mengimpor konsepsi revolusi dari Khomeini di Iran.
Imran dan Irfan, dan tentu saja pemuda kerempeng Tony Ardie, adalah mubalig-mubalig muda kondang keluaran LMD ala Salman ITB yang menggelar dakwah Islam dengan suara lantang dan lewat jalan perlawanan terbuka terhadap pemerintah. Mereka adalah sisi lain dari kegairahan keislaman anak-anak muda semasa. Sejarawan cum sastrawan Kuntowijoyo di majalah Tempo edisi lawas punya istilah yang bagus menunjuk karakter mereka: “Dakwah yang disetel keras”.
Tampaknya, kaset suasana dakwah akhir 70-an dan sepanjang 80-an itu kembali diputar lagi. Tampaknya pula, kaset lama yang sudah dikonversi dalam format mp3 itu disetel keras-keras oleh mubalig-mubalig berlidah belati. Tampaknya juga, cara pemerintah mengecilkan volume suara keras itu memakai cara tahun 80-an; memperhadapkan langsung para mubalig itu dengan Pancasila, menggelar insinuasi, diikuti dengan penangkapan dan pemenjaraan.
Jadi, bila ada yang tebar tuduhan Salman ITB kamar gelap gerakan radikal, ada benarnya. Toh, Bang Imad sebagai tokoh sentral Masjid Salman ITB juga ditangkap untuk kerja teknik dakwahnya yang dianggap oleh pemerintah militer Harto setelannya terlalu keras.
Namun, di atas semua itu, Salman ITB punya jasa yang tak boleh Anda sepelekan begitu saja, yakni ikhtiar memakmurkan masjid dan mendekatkan anak muda di kampus sekuler dengan terma-terma pokok Islam; menghidupkan penerbitan buku; serta menjadikan jilbab sebagai fesyen umat sehari-hari. Itulah jalan dakwah Salman ITB, terang-gelap, tanpa meminggirkan sama sekali peran kampus agama macam IAIN dan majelis-majelis taklim.