Tarbiyah Garis Merah

Bicara tentang gugatan kelucuan yang melulu hanya berputar antara penganut NU dan Muhammadiyah, rasanya kok terasa membosankan ya. Kurang variatif. Seolah-olah Islam Indonesia hanya dikapling oleh keduanya. Beberapa tulisan di mojok akhir-akhir ini membenarkan hal tersebut. Lebih banyak bicara pengalaman interaksi dengan NU atau Muhammadiyah. Padahal banyak juga lho ormas/gerakan Islam yang tidak kalah lucunya dibanding mereka. Maka dari itu, kali ini, izinkah saya sedikit bercerita tentang gerakan Islam lain di nusantara yang tidak kalah lucunya. Gerakan yang kadung dicap puritan, kaku, ortodok, radikal, keras, dan beragam stempel kanan lainnya. Namanya gerakan tarbiyah. Kalau diamati dari dekat, orang-orang tarbiyah ya tidak kalah konyol/lucu/menjengkelkan dibanding NU atau Muhammadiyah.

Sengaja saya berikan judul Tarbiyah Garis Merah. Sama-sama berakhiran “ah” sehingga mudah diucapkan (kalau saya kasih judul Tarbiyah garis lucu, kayaknya kok janggal ya). Biar mengikuti rima. Biar kaya Najwa Shihab pas ngasih kata-kata mutiara.

Istilah “merah” saya maksudkan untuk menunjuk orang-orang tarbiyah yang gaya dan perilakunya melawan pakem yang ada. Merah juga merujuk pada kaum abangan yang kerap dianggap lekat dengan takhayul, bid’ah, syirik, khurafat, mitos, dsb. Pokoknya mereka yang dipandang kedalaman praktek beragamanya dibawah setengah.

Bagi saya, tulisan ini cukup kontekstual, terlebih untuk Mojok. Buktinya? Lihat saja salah satu pentolan Mojok, Agus Mulyadi, yang bolak-balik dipanggil untuk mengisi acara-acara kepenulisan oleh PKS. Beberapa teman-teman tarbiyah yang saya kenal pun agaknya juga rutin mantengin tiap tulisan baru yang nongol di Mojok. Ya kali saja tulisan ini bisa mendatangkan pengunjung, setidaknya sebelum kukut.

Oya, saya kenal gerakan tarbiyah karena sejak awal kuliah masuk ke organisasi mahasiswa yang memiliki kedekatan ideologis dengan tarbiyah. Mengapa memilih organisasi ini? Entahlah, waktu itu asal masuk aja. Pernah juga masuk gerakan ekstra kampus lainnya, tapi tidak terlalu lama. Saya pun awalnya tidak tahu kalau ternyata organisasi mahasiswa ini milik kelompok tarbiyah.

Karena sudah terlanjur masuk, ya sudah menikmati saja proses yang ada didalamnya. Tetapi saya juga paham dengan Muhammadiyah, sebab pernah ngangkrem di Suronatan yang menjadi salah satu basis Muhammadiyah. Pernah juga agak NU, sebab sejak kecil hingga SMA tinggal di kawasan dengan tradisi NU. Saat kecil, malam Jumat menjadi saat yang istimewa sebab saatnya yasinan sambil gojek bersama teman-teman di mushola. Hal yang paling ditunggu tentu saja gorengan yang keluar selepas membaca yasin. Peristiwa lain yang juga ditunggu adalah peringatan maulid atau Isra Mi’raj. Karena saat inilah saya bisa menyicipi nasi kebuli panas -dengan taburan bawang goreng, potongan daging kambing, dan acar- yang disajikan di atas nampan dan siap dimakan bersama-sama. Biasanya satu nampan untuk 5-6 orang.

Kembali ke tema, tentang tarbiyah garis merah, ternyata ada perilaku orang-orang dalam jamaah ini yang rodo-rodo piye gitu. Jauh banget dengan stereotipe tarbiyah yang selama ini kita kenal. Saya akan beberkan beberapa kelakuan kenalan di tarbiyah. Sekali lagi, sebut saja mereka yang saya sebutkan di bawah sebagai orang-orang tarbiyah garis merah.

Panggil saja Mukidi. Mohon maaf, penggunaan nama Mukidi bukan repetisi tokoh yang pernah booming tahun kemarin. Tetapi karena nama asli teman saya memang mirip dengan Mukidi. Mukidi ini aktivis tarbiyah yang kuliah di teknik UGM. Nah, paham sendiri kan bagaimana perilaku tarbiyah yang kawin-mawin dengan fakultas eksak: kaku, saklek, literal. Pokoknya garis keras deh. Mukidi ini asli Cilacap (daerah yang terkenal dengan industri jamu).

Saat ini Mukidi menjadi pengusaha jamu. Saya perlu banyak bercerita ihwal jamu ini, sebab disinilah letak beberapa “penyimpangannya”. Mukidi memproduksi jamu yang berhubungan dengan “manuk” pria sekaligus “kerapetan” wanita. Maka hadirlah jamu sari rapet, jamu prakoso, purwaceng, dsb, yang menyasar wilayah selangkangan. Tidak hanya itu, bungkus kemasan jamunya pun niscaya membuat “hewan kesayangan” kaum jomblo menggelinjang. Gambar di bungkus jamu yang sampai sekarang selalu terbayang-bayang adalah sosok wanita cina putih dengan gaunnya agak transparan, rambut lurus menjuntai, dan menatap tajam dengan mata sipitnya. Pada bungkus jamu lainnya, tampak wanita yang membelakangi dan menonjolkan pantatnya, kaosnya you can see, dan tangannya terangkat sambil membelai rambutnya. Tidak hanya itu, media promosinya pun menggunakan model wanita dewasa yang menggunakan pakaian tradisional ketat. Tangannya terlihat sedang menuang jamu dari botol ke gelas. Tapi saya yakin, mata para ikhwan hanya fokus pada wanitanya, bukan ke produk jamunya. Duh gusti…

Beberapa kenalan saya yang lain dulu adalah pentolan organisasi mahasiswa gerakan tarbiyah. Sebut saja namanya Romlan. Dia menjadi salah satu otak intelektual jika ada aksi-aksi di jalanan. Jebolan UIN dan masuk pondok mahasiwa yang banyak diisi mahasiswa tarbiyah. Nah, mau tau bagaimana kelakuannya sekarang? Doyan pokeran dan suka mengisap rokok. Alasannya gemar banting kartu sebab bisa mengasah otak, mengatur strategi, melihat peluang, dan seabrek alasan lainnya. Sementara doyan ngerokok dalihnya rokok yang dihisap beda dengan kebanyakan orang. Sebab yang dia hisap adalah rokok kesehatan (beda toh dengan orang-orang NU yang rokoknya standar dan malah seringnya njaluk rokok gratis ke temen). Uniknya, lingkungan pokeran si Romlan ini ya teman-teman tarbiyahnya.

Teman saya yang satu lagi juga tidak kalah “merah”. Seorang “hafidz” tetapi doyan juga ziarah kubur orang-orang yang memiliki karomah. Sebut saja nama teman saya ini Mucle. Kalo sedang berkunjung ke daerah yang terkenal memiliki makam orang saleh, dia kerap menyempatkan diri mendatanginya. Nyatanya, orang sejenis ini pun ternyata mudah ditemukan dalam gerakan tarbiyah.

Beberapa “Anomali” di atas menunjukan kegagalan proses pengkategorian keberagamaan seseorang. Kita kerap dengan mudahnya melabeli suatu gerakan dengan cap yang terlalu general. Seperti Muhammadiyah yang modern dan NU yang tradisional. Padahal pada kesempatan lain, Muhammadiyah bisa sangat tradisional, dan NU bisa sangat modern. Contohnya dalam soal penentuan lebaran, Muhammadiyah sangat tradisional sementara NU sangat modern. Artinya identitas gerakan tersebut bisa lumer kemana-mana. Begitu pun dengan gerakan tarbiyah.

Nah, maka mulai sekarang, tidak usah gumun jika melihat ada orang Muhammadiyah yang merokok, orang tarbiyah wirid di kuburan, atau pun orang NU yang ikut liqo.

Exit mobile version