Takbiran di Inggris dan Kenapa Nastar Baiknya Tak Jadi Kue Lebaran Lagi

MOJOK.CO Lebaran di Inggris memang berbeda. Selain malam takbiran tanpa suara anak-anak di masjid, menemukan nastar sebagai kue lebaran sulitnya juga bukan main.

Di Reading, Inggris, mencari pengganti nastar dan kawan-kawannya untuk kue lebaran bisa sama sulitnya dengan mengembalikan Reading FC ke Premier League. Padahal tanpa nastar et al, malam lebaran kami terancam kehilangan marwahnya. Betapa aroma, rasa, bentuk, dan tekstur makanan mampu menciptakan suasana dan memanggil nostalgia, sudah sejak dulu diteliti. Kurang yaqueen? Tonton lagi saja adegan Anton Ego yang tiba-tiba terkenang masa kecilnya saat mencicipi masakan Rémy dalam Ratatouille.

Namun, soal nastar wa sahbihi ajma’in itu bisa kita diskusikan belakangan. Pasalnya, ada hal lain yang juga tak akan hadir dalam malam takbiran di Reading. Betul: suara berisik eksotik takbir anak-anak dari masjid.

Hasil kolaborasi toa dengan teriakan pating jlerit itu dahsyat. Ia kuat melesat dari masjid—yang jaraknya mungkin lebih dari setengah kilometer—dan menembus dinding relung hati. Inovasi takbiran ini genial. Kita tak perlu unduh aplikasi apa pun untuk menghadirkan audio takbir live ke rumah.

Bukan berarti di Reading, tempat kami tinggal, takbiran sama-sekali absen. Kota ini punya setidaknya sepuluh pusat komunitas Muslim. Pada malam lebaran sebagian dari mereka menggelar acara yang intinya sama: salat jamaah, ceramah, makan-makan, dan takbiran. Menu makannya? Macam-macam. Chapati, kari, biryani, pokoknya rombongan kuliner khas Asia Selatan. Lantaran, hampir semua masjid itu sekaligus community centre bagi imigran Pakistan atau Bangladesh. Jangan lupa, kedua negara ini anggota persemakmuran Britania Raya.

Akan tetapi, ya, itu tadi: takbirnya hanya mengalun di seputaran interior masjid. Memang lebih baik hati-hati jika terkait permitted level of noise terutama di sekitar permukiman.

Kembali lagi soal nastar.

Lantaran tidak menemukan kandidat pengganti yang mirip, kami pun akhirnya membuat nastar sendiri. Di era video tutorial seperti sekarang, apa sih yang tak bisa dipelajari sendiri? YouTube memang telah terbukti menghasilkan para pembelajar mandiri yang kelewat percaya diri. Bahkan masyarakat kita, kini dipenuhi dengan juru dakwah otodidak gagah berani, bukan? Ya, minimal gagah dalam kopas tausiah tanpa harus mendalami konten. Lantas, berani membagikannya terus-terusan tanpa mempertimbangkan kondisi audien. Apalagi hanya soal nastar.

Hasilnya? Menurut anak kami yang macak Gordon Ramsay, nastar kami tidak mampu menandingi “nastar eyang” atau “nastar bude” yang dia cicipi beberapa tahun lalu. Ebajigur! Lha ini nastar nyata di depan mata kok dibandingkan dengan nastar nostalgia? Hajelas tidak fair. Ibaratnya, kekasihmu membandingkanmu dengan mantan kekasihnya di masa lalu, yang dia kenang dari perspektif hari ini. Piyé, jal?

Tak mau kalah, kami pun melawan dengan anticipatory nostalgia. Ini sejenis nostalgia dari masa depan. Missing the present before it’s gone. Jadi, kita bayangkan di masa depan kelak kita akan bernostalgia, mengenang secara bittersweet hilangnya hal indah yang kita nikmati hari ini. Eaaa.

Lho ini serius. Kita akan cenderung menghargai yang ada di depan mata jika kita khawatir kelak tak akan lagi dapat menikmatinya. Namun, jangan-jangan memang sebaiknya mulai tahun depan nastar tidak lagi jadi kue lebaran. Mengapa? Mari kita cermati alasannya satu demi satu. Supaya argumen itu kelihatan sahih, saya akan melengkapinya dengan sejarah lokal abal-abal.

Begini. Hanya karena sudah menjadi bagian dari tradisi lebaran, setidaknya dari zaman orde baru hingga era reformasi ini, bukan berarti nastar dan kawan-kawan itu tak tergantikan. Justru tradisi, agar awet, harus melakukan berbagai pembaruan pada dirinya sendiri. Kadang tradisi bahkan harus dimurnikan, dibersihkan dari debu-debu pengaruh lokal yang menempel seturut waktu. Halah.

Kembali lagi, apa salah nastar hingga dia harus diganti? Ya, karena dia bukan pribumi. Namanya saja nastar; konon aslinya ananas taart atawa pai berisi nanas. Kastengel lebih nyata asalnya dari bahasa Kumpeni. Kaas itu keju, stengel berarti batang. Putri Salju? Itu pasti terpengaruh Disney dan Brothers Grimm. Jika namanya Putri Jasmine atau Dalia, walaupun bukan putra daerah dan tetap berbau Disney, mungkin lain ceritanya.

Kalau kita tilik lebih ke belakang, kehadiran nastar dan kawan-kawannya memang mengubah peta kue kering lebaran. Di tempat kelahiran saya, sejak zaman old, kue kering selalu terdiri atas dua kubu: kue kalengan dan kue rumahan. Legenda hidup kue kalengan ini tentulah si kaleng merah Khong Guan, yang keragaman biskuit di dalamnya memungkinkan tiap anggota keluarga punya favorit masing-masing. Anggota senior suka cracker, anak-anak berebut wafer.

Dulu, jika meja tamu ibarat lanskap kota, kaleng biskuit Khong Guan menjulang bagaikan gedung tinggi bercat merah dengan nama mencolok di dindingnya, yang menyembul di antara bebangunan toples kaca. Mungkin ini strategi tata ruang demi menarik perhatian. Walaupun, dalam kasus kaleng Khong Guan, ia lebih cocok menjadi gudang yang baik ketimbang gedung yang cantik. Lantaran, bentuk kotak tinggi itu sebenarnya lebih sesuai untuk menumpuk dan menyimpan ketimbang menggelar dan mendisplai si assorted biscuits tadi.

Namun, justru efisiensi dalam penumpukan dan penyimpanan inilah yang membuat kaleng Khong Guan berkesempatan memperluas jelajah promosinya. Setelah biskuit di dalamnya tandas selama lebaran, kaleng beserta brand name mencoloknya tadi ikut arus balik. Kita tahu, ia akan pergi ke berbagai penjuru dan menjadi wadah rengginang, rempeyek, atau keripik pisang.

Legenda retro berikutnya, Monde Butter Cookies, menempuh strategi keruangan berlawanan. Alih-alih menjadi pencakar langit, si kaleng biru bundar rendah lebar ini ndlosor ibarat taman. Di dalamnya tergelar butter cookies beraneka raut—yang dari sisi rasa masing-masing cuma beda tipis saja.

Dibanding biskuit Khong Guan, butter cookies lebih lembut dan mak-pyur di mulut berkat kandungan butter-nya yang lebih signifikan. Itu sebabnya butter cookies tidak biasa dicelup dalam secangkir kopi, kecuali kita ingin kopi kita sedikit berminyak dan berhias remah-remah.

Selain dua legenda itu, aneka biskuit yang tergabung dalam kaleng Khong Guan tadi juga bersolo karir di bawah berbagai major label. Biskuit tangkup berkrim coklat di bawah bendera Bourbon. Wafer dengan label Nissin, yang membuat anak-anak tak perlu ngubek-ngubek kaleng Khong Guan hanya untuk rebutan wafer.

Sementara itu, di kubu kue rumahan terdapat lini produk yang lebih panjang. Mereka adalah kue kering “tradisional” yang kini lazim kita jumpai di banyak toko oleh-oleh. Dari lidah kucing sampai kuping gajah. Juga dari alèn-alèn, enting-enting, hingga untir-untir. Semuanya, dulu, kalau mau, dapat dibuat di rumah jauh-jauh hari sebelum lebaran. Mereka juga kuat bertahan hingga syawalan usai.

Nah, kedatangan nastar dan teman-temannya mula-mula menambah keanekaragaman kue kering lebaran. Tapi sedikit demi sedikit kue kering rumahan “tradisional” pun tergusur lalu tergantikan. Dia beserta komplotannya segera mewakili citra lebaran yang modern. Layaknya kumpeni, mereka mengandalkan keju. Memuliakan oven dan meminggirkan penggorengan. Bedebah sekali, bukan? Sudah non-pribumi, suka menggusur, eh, lama-lama jadi ikon pula. Itulah sebabnya, setelah bercokol lebih dari empat dasawarsa, tidak bisa tidak, nastar harus dimakzulkan.

Yang jadi masalah, siapa penggantinya?

Ketupat dan opor ayam bisa diganti nasi kebuli agar terlihat syar’i. Namun, mengganti lini kue lebaran, wa bil khusus nastar, malah tak mudah.  Berpaling kembali ke kue kering tradisional? Tidak mungkin. Lha wong penginnya lebaran yang lebih kaffah kok malah mengundang penganan langgam nusantara. Mengadaptasi kukis Amerika, no way. Menengok tradisi kuliner klasik India atau Cina, lebih no way. Semua itu asing dan aseng.

Kalau dari khasanah Andalusia? Namanya saja sudah cantik. Apalagi tempat dan warisan kulinernya. Sayangnya, dia membawa sejarah pedih. Apa jadinya jika kita lagi mengunyah pestiños dan tiba-tiba terasa pahit karena teringat cerita getir peradaban Islam di sana?

Alternatif lainnya, tentu meniru negeri idola: Turki. Mereka punya baklava yang manisnya jauh mengalahkan bakpao dan filo pastry-nya kriuk berlapis melebihi bakpia. Kalau toh pistachio-nya diganti kacang tanah, ya, paling-paling rasanya jadi mirip martabak manis atau terang bulan.

Tapi, hey, apakah jika hendak melengserkan sesuatu, kita harus memikirkan pula kandidat penggantinya?

Pengalaman tahun lalu mengajarkan: tidak begitu. Yang penting tagar antinastar menyebar bersama pemudik. Setelah itu? Tunggu saja. Semoga kita mendapat berkah keputusan mulia dari episode lanjutan ijtima’ ulama.

Exit mobile version