Tafsir Anjay dalam Bahasa Sanskerta dan Komnas PA yang Emang ‘Anjay’

Tafsir Anjay dalam Bahasa Sanskerta dan Komnas PA yang Emang ‘Anjay’

Tafsir Anjay dalam Bahasa Sanskerta dan Komnas PA yang Emang ‘Anjay’

MOJOK.COTak banyak netizen sadar bahwa kata anjay yang dianggap makian oleh Komnas PA itu ternyata merupakan doa dalam bahasa Sanskerta. Naaah lho.

Pertama-tama, saya hendak membuka tulisan ini dengan bentangan demarkasi yang memisah KPAI (Komnas Perlindungan Anak Indonesia) dan Komnas PA, agar apresiasi dan puja-puji kita tepat sasaran.

FYI, kendati namanya agak mirip dan sama-sama punya niat adiluhung untuk melindungi anak, mereka adalah dua entitas yang berbeda.

KPAI tak lain lembaga negara yang bertanggung jawab langsung pada Presiden RI, sementara Komnas PA adalah lembaga independen yang terpisah dengan pemerintah. Bukan saja berbeda, beberapa tahun lalu keduanya bahkan sempat berselisih kecil karena dianggap “rebutan panggung”. Jejak digitalnya abadi, My Love~

Saya tak bisa menilai siapa di antara keduanya yang lebih anjay. Bagaimanapun, penilaian akhir mutlak ada di tangan Netizen, dan itu tak bisa diganggu gugat.

Rilis yang bertebaran dan tengah ramai diperbincangkan hari-hari ini adalah milik Komnas PA. Di sana tercatat bahwa—saya kutip secara verbatim—karena memiliki potensi untuk digunakan sebagai ajang perundungan dan mempunyai konotasi kasar, maka anjay lebih baik dilarang sama sekali.

Padahal, di paragraf pembuka, mereka juga menekankan bahwa anjay sejatinya perlu ditelaah secara kontekstual. Ia bisa juga digunakan sebagai ekspresi rasa kagum.

Entah, rujukan mana yang digunakan oleh Komnas PA. Apakah mereka meminta pendapat ahli linguistik untuk mengurai hal ini, entah nongkrong di pinggir jalan guna mengetahui fungsi “anjay” dalam ragam cakap sehari-hari para penuturnya, atau boleh jadi referensi yang mereka gunakan adalah lagu milik Kemal Palevi feat Young Lex.

A… en.. je.. a.. ye~

Tapi, jika—dan hanya jika—Komnas PA punya sedikit waktu luang, mereka bisa menemukan fakta bahwa anjay memiliki makna saklek dalam bahasa Sanskerta, yakni tak terkalahkan. Atau dalam bahasa India dengan penulisan “Aanjay” berarti tak tertundukkan.

Atas bantuan Mbah Google, saya juga mengetahui bahwa “Anjay” menjadi nama yang sempat populer bagi anak laki-laki (mungkin zaman dahulu kala sih). Oleh karena itu, apabila setiap nama merupakan doa, maka Anjay adalah jenis doa yang mutlak diijabah.

Tak terkalahkan = Anjay.

Hm, terdengar sangat heroik. Di satu sisi ia bisa membawa kesan tangguh, di sisi lain menjadi beban tragis karena dituntut untuk selalu tampil prima, kece, dan menjadi pemenang atas segala peristiwa.

Dengan segala maknanya yang hebat itu, rasa-rasanya, gelar Anjay hanya cocok diserahkan pada Komnas PA atas kinerjanya yang memang tak terkalahkan dalam perkara mencuri perhatian.

Alih-alih fokus membereskan problem mutakhir yang tengah mengancam anak-anak, bagaimana melindungi mereka dari pedofilia atau pernikahan di bawah umur yang belakangan marak misalnya, Komnas PA justru mempermasalahkan anjay. Seolah-olah, itu adalah hal paling mendesak yang mesti segera dibenahi.

Anjay sekali, bukan?

Laku demikian, di mana suatu lembaga atau individu lebih tertarik pada fenomena sepele daripada satu perkara besar nan rumit, adalah bukti bahwa ia sudah berhasil menapaki garis hidup yang bijak bestari, bahkan cenderung makrifat.

Saya sering mendengar petuah sufistik tentang perlunya menjadi pribadi yang bersahaja.

Untuk mengubah dunia, kadang-kadang kita memang harus berangkat dari perkara yang sederhana, dianggap tak berguna, bahkan tak penting sama sekali.

Albert Einstein, salah satu saintis paling agung dan harum namanya, konon pernah memberi secarik kertas pada seorang kurir di Tokyo, sekitar tahun 1922. Di kertas itu terdapat sebuah kutipan yang ia tulis sendiri, dan kelak akan laku di ajang lelang dengan harga miliaran.

Anda tahu apa yang dicatat Einstein? Begini kira-kira.

Hidup yang tenang dan sederhana membawa lebih banyak kegembiraan daripada mengejar kesuksesan yang terikat dengan kegelisahan terus menerus.” 

Einstein begitu Anjay, karena ia lebih mengutamakan kesederhanaan. Hasilnya kita tahu, namanya tertulis abadi dalam khazanah ilmu pengetahuan dunia.

Agaknya, Komnas PA punya rumus serupa Einstein. Ia ingin tampil Anjay, tak terkalahkan, dengan membentangkan strategi hidup yang tak neko-neko.

Untuk apa, sekali lagi, membawa isu angka kematian anak yang disebabkan Covid-19 begitu tinggi, sementara menggugat kata anjay sudah membawa kebahagiaan bagi pihak mereka. Lagian, bukankah menjadi terkenal dan viral membutuhkan kerja ekstra? Sementara Komnas PA hanya butuh membuat selembar edaran, ajaib sekali.

Atau, boleh jadi Komnas PA sejatinya ingin memonopoli kata ‘Anjay’. Tak boleh ada pihak lain yang menuturkan lema itu, tidak boleh juga ada pihak yang mendaku diri paling anjay sendiri (baca: tidak terkalahkan sendiri).

Tidak KPAI, tidak netizen, tidak budak tongkrongan, tidak yang lain lagi. Pokoknya hanya Komnas PA yang paling anjay.

A… en.. je.. a.. ye~

BACA JUGA Komnas Perlindungan Anak Seharusnya Mengapresiasi Kata “Anjay”, Bukan Malah Mempermasalahkannya atau tulisan Muhammad Nanda Fauzan lainnya.

Exit mobile version