Surat Terbuka untuk Pak Juliari dari Kami Korban Penerima Bansos yang Dikorupsi

Surat Terbuka untuk Pak Juliari dari Kami Korban Penerima Bansos yang Dikorupsi

Surat Terbuka untuk Pak Juliari dari Kami Korban Penerima Bansos yang Dikorupsi

MOJOK.COKalau seluruh rakyat Indonesia yang jadi korban bansos dikorupsi itu pada kencing di rumah Bapak Juliari, bisa banjir tuh se-Jakarta.

Halo, Pak Juliari Batubara yang tampan sekali. Gimana kabarnya? Sudah bikin kata-kata mutiara apa hari ini? Hehe.

Gini, Pak. Perkenalken, saya Faizol Yuhri dari Karawang. Saya bukan orang penting kok, Pak, jadi pasti Bapak tidak perlu tahu saya dan teman-teman saya. Kelompok orang yang cocok sebagai penerima bansos yang Bapak korupsi kemarinan itu.

Kayak satu teman saya, Pak Juliari, yang bilang gini ke saya waktu denger pledoi Bapak di persidangan.

“Btw, saya bisa bantu dia menulis pleidoi yang lebih menyayat hati. Urusan mengumbar kesedihan mah sudah jadi makanan sehari-hari,” kata kawan saya.

Oh iya, sehari-hari kawan saya dagang bakso, omzetnya hancur lebur selama PPKM Darurat. Ia tukang bakso, punya warung makan, tapi ia kelaparan. Ironinya ironi bukan, Pak?

Meski begitu, bagian ia kelaparan itu belum menjadikannya sebagai pakar penderitaan layaknya Pak Juliari yang ngerasa dijebak dan dijerumuskan anak buah (meski menurut pengakuan anak buah Bapak di persidangan, si anak buah itu awalnya emang disuruh Bapak untuk pasang badan biar Bapak nggak kena kan ya?).

Kawan saya yang lain penderitaannya juga cuma masalah sepele kok, Pak. Nggak semenderita Bapak.

Hampir tengah malam, anak kawan saya ini menangis sama nyaringnya dengan meteran listrik. Kantor hampir bangkrut, gajian otomatis nunggak. Uang tersisa seadanya, bingung memilih antara beli susu atau pulsa listrik. Begitu kata kawan saya.

Ada juga kawan saya yang terpaksa mematikan ponsel sepanjang hari demi menghindar dari teror leasing. Usahanya mundur, sementara tanggal tempo bayar kredit makin maju. Semua barang ludes dijual. Satu-satunya yang kini ia miliki cuma keberanian. Kalau keberanian punya nilai—katanya, ia bakal gadaikan sekarang juga!

Ada juga kawan saya yang lain, Pak. Seorang pegawai rumah sakit yang pakai hazmat berlapis-lapis. Ia pegawai bagian gizi, setiap jam makan mengantar makanan ke pasien termasuk pasien Covid-19. Setiap jam bertaruh nyawa demi honor Rp600 ribu sebulan. Itu pun kadang dirapel tiap tiga bulan sekali.

Duit Rp600 ribu lho, Pak. Keren yak? Sebagai perbandingan, upah minimum Kabupaten Karawang sebesar Rp4,7 juta.

Kabarnya Pak Juliari sama temen-temen Bapak dapat untung Rp10 ribu per paket Bansos ya? Itu artinya bapak cuma perlu fee 60 paket Bansos buat bayarin honor kawan saya. Murah kan, Pak?

Jaksa Penuntut Umum kemarin juga mendakwa Pak Juliari (beserta tim Bapak tentu saja) telah menerima suap Rp32,4 miliar alias 54 ribu kali honor kawan saya itu. Waw.

Kawan saya harus kerja seumur hidup sampai mati, hidup lagi, kerja lagi, mati lagi, terus begitu sampai ratusan kali untuk dapat setara duit suap yang diterima Bapak lho. Itu pun kalau tidak dihitung biaya makan, rokok Gudang Garam Filter, sama cicilan rumah di Karawang yang harganya selangit.

Rp32,4 miliar lho, Pak. Itu duit semua tuh? Wah. Wah. Kalau seluruh rakyat Indonesia yang jadi korban bansos dikorupsi itu pada kencing di rumah bapak, banjir tuh se-Jakarta.

Bapak Juliari yang terhormat dan semoga selalu diberi keberkahan, tahu nggak kenapa saya selalu bilang “kawan saya” tanpa sebut nama, Pak?

Karena kami sebagai rakyat kecil itu malu, Pak. Malu kalau menceritakan penderitaan kami. Malu sama rakyat lain yang sama menderitanya kayak kami, atau mungkin lebih parah dari kami. Lagian, penderitaan kok diumbar-umbar. Mending duit korupsi diumbar-umbar ya Pak ya?

Kalau Bapak tanya, apakah kami marah? Ya kami marah banget, Pak. Tapi kan bangsa ini kan bangsa pemaaf. Rakyat disuruh maafin pejabatnya kalau korupsi, tapi giliran rakyat bikin masalah langsung kena hantam pejabat lewat aturan dan aparatnya.

Itulah kenapa kami sebenarnya berencana memaafkan Bapak Juliari, terutama bagi kami orang-orang Karawang sini. Malah kami ingin menjamu Bapak, kalau Bapak mau main ke sini. Nanti kami suguhi serabi hijau dan kue gonjing, cuma satu syaratnya, Pak: minumnya pakai air Kali Citarum.

Itu lho, air di sungai kami yang mendapat predikat sebagai salah satu sungai yang paling tercemar di dunia lho.

Kali aja Pak Juliari habis minum itu jadi mutan. Bisa ngilang, nggak jadi kena hukuman. Kayak Pak Harun Masuki itu noh, yang jadi mutan sampai sekarang nggak nongol-nongol lagi. Abis minum air Kali Citarum 2 liter itu kayaknya.

Dan terakhir, sebagai penutup surat ini, Pak Juliari. Saya ada cerita yang terjadi beberapa tahun lalu. Waktu saya masih aktif di GMNI Karawang. Ketika itu kami mengadvokasi seorang petani bernama Endi di Medalsari, perbatasan Karawang dan Bogor. Dia petani penggarap hutan.

Endi tertangkap basah menebang satu pohon di area milik sebuah perusahaan pengelola hutan. Anaknya dua, tinggal satu rumah bersama nenek mereka. Istri Endi sedang bekerja di luar negeri. Karena Endi, ibunya, dan dua anaknya lapar, Endi terpaksa menebang pohon untuk dijual.

Perusahaan itu memang berhak atas pengelolaan kawasan hutan termasuk ribuan batang pohon di dalamnya, oleh karena itu Endi dianggap bersalah. Meski yang diambil Endi cuma sebatang pohon, sebatang saja, yang paling kecil.

Endi diancam hukuman 10 tahun penjara, hampir sama kayak Bapak Juliari yang dituntut 11 tahun. Jadi korupsi dana bantuan di masa pandemi begini dengan ambil batang pohon untuk menyelamatkan satu keluarga dari kelaparan itu beban kesalahannya hampir sama ya, Pak? Waw, keren.

Lalu, karena kami tak terima dengan tuntutan atas Endi, saat persidangan kami berdemonstrasi di Pengadilan Negeri Karawang, menuntut keadilan. Salah seorang orator, saya lupa namanya, berteriak lantang di hadapan massa aksi:

“Janganlah kita menyebut mereka dengan kata anjing, kata monyet, babi! Tidak, itu tidak patut. Mereka tidak selayaknya dijuluki seperti itu. Mereka sepantasnya disebut tai anjing, tai monyet, tai babi!”

Itu mereka lho, Pak. Bukan Bapak Juliari. Bukan. Tenang, tenang aja. Nama baik Pak Juliari akan tetap baik kok, wabilkhusus di mata rakyat PDIP.

Amin, amin ya robbal alamin.

Salam-salam, ya Pak Juliari kalau nanti jadi masuk penjara. Sekalian titip salam buat Pak Setnov. Tanyain, kalau nanti jadi masuk penjara, jangan lupa tanya mandor yang biasa renovasi kamar selnya siapa? Hihi.

BACA JUGA Yang Lucu dari Kasus Korupsi Bansos dan tulisan ESAI lainnya.

Exit mobile version