Surat buat Tuhan

esai-surat-buat-tuhan-mojok

Sebelum sampai ke isi suratnya, ada baiknya kujelaskan dulu, Han, kenapa harus surat, kenapa harus terbuka, kenapa harus buatMu, dan kenapa harus di mojok.co.

Dijawab satu-satu tentu bikin lama, tapi pelan-pelan saja, yang pertama dan yang utama: kenapa harus surat terbuka. Kukira sudah lama orang tidak menulis surat, Pak Pos sudah lama mati dibabat layanan pesan singkat dari telepon genggam atau pesan blackberry—digenggam juga—yang mekar hanya sebentar, seperti dua puluh pokok strawberry di depan rumahku, yang dibeli waktu ada bakal buahnya, dipanen, lalu sampai sekarang gak pernah berbuah lagi.

Tapi jangan khawatir, blackberry mati, line, kakaotalk, whatsapp, dan yang lainnya bersemi. Bahkan layanan line berhasil mempersatukan kembali Rangga dan Cinta yang terpisah satu purnama yang di New York belasan tahun lamanya.

Pak Pos? Tetap, tetap mati. Ada rindu di sana, di dalam surat-surat yang kami tulis kembali. Rindu pada kertas surat merah jambu wangi jeruk atau strawberry. Tapi lebih dari itu, surat terbuka menjadi tren sejak anaknya Pak Amien Rais, Mbak Tasniem Fauziah, menulis surat terbuka untuk Pak Jokowi, presiden baru kami. O ya, kami punya presiden baru sekarang. Keren. Dibela setengah penduduk Indonesia dan dibenci setengah lagi sisanya, termasuk sama anak Pak Amien, Mbak Tasniem tadi. Sejak itu, surat terbuka bersliweran, merebak, seperti panu yang tidak diolesi salep kulit, mulai dari suratnya Mbak Tasniem, surat balasannya dari beberapa orang, surat terbuka untuk Pak Prabowo—saingan Pak Jokowi waktu nyapres kemarin—suratnya Agus Mulyadi alias Gus Mul buat Anang Hermansyah, cuma karena Gus Mul kesal gak boleh nyolek-nyolek Ashanty dan bilang ke Anang “mbok sampeyan nyari istri yang baru aja,” sampai yang baru-baru ini, surat dari pilot untuk Pak Ignasius Jonan, Menteri Perhubungan, pembokatnya Pak Jokowi.

Yang kedua tapi tidak kalah penting: kenapa buatmu dan kenapa di mojok.co. Ini juga sempat jadi tren: berdoa di internet, khususnya di media sosial. O ya, mengingat sudah 2015, tahun Kamu belum pernah datang ke bumi, mungkin malah puluhan ribu tahun gak pernah ke Indonesia, aku kasih tahu: kami sekarang punya media sosial, buatan Yahudi. Media sosial ini semacam perangkat yang bisa mendekatkan kami yang jauh sekaligus menjauhkan kami yang dekat, kalau Kamu tanya apa itu media sosial.

Balik lagi ke soal doa. Aku tidak akan nyinyir seperti orang-orang yang mengeluhkan teman fesbuknya yang pamer doa melulu, kenal juga nggak. Mereka yang nyinyir—maafkanlah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat—pasti berpikir bahwa Kamu sama dengan mereka, harus bikin e-mail dulu, harus 17 tahun dulu, harus ndaftar fesbuk dulu, punya akun, baru bisa baca postingan orang, ya doa di fesbuk tadi. Memangnya Kamu itu mereka, harus bikin akun dulu baru bisa mengintip tindak-tanduk manusia seperti mereka bikin akun buat memata-matai mantannya? Jangankan fesbuk, yang bikin fesbuk, yang bikin windows (kalau fesbukannya pakai komputer kantor) sampai yang bikin iphone (kalau fesbukannya pakai telepon genggam dan kuat beli iphone) pun kamu yang ciptakan: Yahudi-yahudi itu.

Lagipula, pepatah Cina bilang, sukses dan gak pulang kampung itu sama kayak pakai baju baru malam-malam; gak ada yang lihat! Tentu ini pepatah lama, waktu di Cina belum ada lampu Philips KW. Ini kan setara dengan berdoa tapi gak dijadikan status atau ditwit. Buat apa? Ini zaman media sosial, zaman narsis, zamannya orang memamerkan apa saja, mulai dari foto bareng artis, jalan-jalan ke mana, baca buku apa, cerpen dimuat di koran mana, makan siang, makan malam, sampai soal doa tadi. Dan kalau Kamu kira narsisisme beragama itu adalah hak prerogatifnya anak-anak alay, Kamu salah, Han. Beragama tapi gak demo di jalan, gak dipromosiin di Car Free Day, atau gak bikin rusuh sambil nyebut-nyebut namamu itu sama dengan pepatah Cina tadi: percuma, kurang afdol.

Kukira pengantar dariku sudah cukup, Han. Sudah cukup bertele-tele, maksudnya. Kira-kira gitu alasanku pamer surat terbuka ini di sini.

Isi suratku, sebagian orang beriman akan menyebutnya doa, tidak sebertele-tele pengantarnya, sederhana saja: kembalikan orang-orang lucu ke dunia, Tuhan. Atau kalau itu terlalu berat, buatlah orang-orang lucu baru. Atau kalau itu juga masih terlalu berat, minimal berikanlah selera humor yang baik pada orang-orang yang masih tersisa di dunia ini.

Bukan, bukan aku meminta Lik Kabul alias Tessy dibebaskan dari penjara, karena itu sama saja artinya dengan aku menggunting kepompong, niatnya menolong, akibatnya malah membunuh. Lik Kabul—sama dengan Om Fariz RM kemarin—terjerat kasus narkoba, ditangkap polisi atau BNN kurasa adalah sebaik-baiknya pertolongan dariMu, daripada mereka mokat di pinggir jalan karena overdosis. Tapi ini bisa jadi penting juga, cobalah untuk memberi umur yang lebih panjang kepada para pelawak.

Kalau mau mencabut nyawa, kami masih punya stok ribuan koruptor, mulai dari yang menyalahgunakan jabatan, ngentit duit negara, sampai yang korupsi waktu, jalan-jalan di mal waktu jam kerja. Atau kalau satu hari Kamu kepingin menurunkan hujan dengan angin ribut dan petir yang menyambar-nyambar, cobalah masukkan satu batang saja petir itu ke rumah bandar narkoba, supaya mereka tahu rasanya overdosis sengatan listrik.

Lik Kabul, Om Fariz, atau Om Robin Williams—untuk menyebut penghibur dari negeri yang jauh—mungkin terkena ‘dilema kuli bangunan’. Kuli bangunan itu, setahuku, sering membuatkan orang rumah yang bagus-bagus, tapi rumah mereka sendiri tidak sedikit yang buruk rupa. Para penghibur itu, sering menghibur orang, tapi kebingungan ketika butuh untuk dihibur. Dari sisi ini, mengembalikan atau menciptakan orang-orang lucu yang baru jadi penting, supaya mereka bisa saling menghibur satu sama lain.

Kedua, ada sedikit kusebut tadi, soal Pak Jokowi presiden kami yang baru. Pasca pemilihan presiden yang akhirnya dimenangi Pak Joko, kami sekarang mengalami krisis orang lucu nasional. Secara singkat Indonesia sekarang bisa disebut terbelah dua, satu pihak mencintai Pak Joko setengah mati dan membelanya mati-matian, satu lagi membencinya setengah hidup dan mencelanya hidup-hidupan. Dan keduanya, yang mencintai dan membenci, membela dan mencela dengan nada yang sama: serius.

Buatku, tidak soal kalau orang terbagi dua menjadi pencinta dan pembenci, bahkan Superman dengan celana dalam di luar dan rambut keriting mie di dahinya pun dicintai setengah mati oleh Louis Lane dan dibenci, setengah mati juga, oleh Lex Luthor. Mungkin Louis mencintai celana dalam di luarnya sementara Lex membenci rambut keriting mie-nya, atau sebaliknya, tidak soal. Yang jadi persoalan sekarang adalah semua orang menjadi serius.

Pasca pemilihan presiden tadi, praktis tinggal Mbah Nyutz—temanku di fesbuk, seorang pertapa dari lereng Merapi—yang masih melucu dengan tulus ikhlas dan membuli jomblo dengan cara yang kocak. Dengan semangat 45, 2500-an temanku yang lain sudah menjadi pengamat politik semua!

Krisis itu semakin terasa karena pejabat-pejabat kami yang dulu lucu-lucu, yang bisa kami tertawai sesuka hati, sekarang juga sudah langka. Cobalah menertawai Koh Ahok di Jekardah atau Budhe Risma di Serebejeh kalau mau disemprot di depan umum atau di siaran tivi nasional. Atau cobalah bercandai Aa Ridwan Kamil kalau mau ruang bawah tanahmu dibongkar pakai backhoe. Atau Tante Susi, kalau mau mencoba, kalau mau kapalmu berakhir di anglo tukang sate Madura.

Sesekali Pak Jokowi memang coba melucu, dengan menaikkan harga BBM lalu menurunkannya lagi. Tapi sumpah, Han, itu sama sekali tidak lucu. Pak Joko jelas tidak punya selera humor yang baik.

Lebih celaka lagi, sekarang humor pun harus disertai dengan pesan moral, orang-orang menyebutnya satir. Orang-orang di mojok.co paling jago soal ini, salah satunya ya Gus Mul tadi—yang mau nyolek Ashanty tadi, kalau-kalau Kamu lupa Gus Mul itu yang mana. Satir tentu saja bukan dosa, karena kalau begitu, maka nerakamu akan dipenuhi oleh orang-orang cerdas dan Kamu sendiri yang akan rugi karena orang-orang cerdas itu akan berkumpul dengan para pengacara, yang konon dalam sebuah lelucon disebut-sebut sudah memegang tiket terusan ke neraka. Ini jelas kombinasi yang merepotkan.

Satir menjadi celaka karena berarti hanya orang-orang cerdas yang bisa membuat materi lawakannya, dan yang lebih celaka lagi, butuh orang yang juga cerdas untuk memahami bahwa itu lelucon dan… lucu. Mengingat Kamu begitu baik hati sehingga tetap membiarkan orang-orang yang tidak terlalu cerdas hidup di dunia ini, satir bisa menjadi kecelakaan yang fatal. Inilah kukira saatnya untuk mengatakan l’humour pour l’humour, humor untuk humor saja.

Di titik inilah aku sekarang bisa memahami ‘pertanyaan tahun ini’ dari mantan Menkominfo Pak Tifatul Sembiring: “kalau internetnya cepat mau dibuat apa?” Kamu begitu baik membiarkan Bill Gates memasukkan Internet Explorer dalam bundel Windows-nya, padahal di luar sana orang-orang cuma tahu Google Chrome, atau Mozilla atau Opera Mini for mobile devices. Kalau humor itu harus cerdas, lalu mau buat apa? Kalau internet cepat cuma dipakai untuk mem-follow toketqueen, apa gunanya? Kalau humor cerdas cuma membuat orang plonga-plongo, buat apa?

Karena itulah, kupikir, dunia ini membutuhkan orang yang bercanda hanya untuk bercanda saja, humor untuk humor saja, orang-orang yang melucu dengan riang gembira, tulus ikhlas, dan tidak kenal lelah. Ya seperti temanku Mbah Nyutz tadi. Satu kali kulihat beliau menulis juga di mojok.co, aku tidak akan menyebutnya berkhianat atau hal-hal semacamnya. Kupikir pasti kau yang sengaja mengutusnya ke sini untuk menjadi dian di tengah gulita, sentolop di tengah rimba, untuk mencerdaskan orang-orang cerdas di mojok.co ini.

Kalau Kamu pikir permintaanku ini naif atau terlalu sepele untuk dikabulkan, maka biar kubuatkan daftar supaya Kamu tahu bagaimana selera humor yang buruk bertemu dengan orang yang tidak punya selera humor sama sekali bisa menghasilkan bencana. Adalah selera humor yang buruk ketika Adolf Hitler mendaku bahwa rasnya adalah ras terbaik di dunia, tapi jelas Franklin D. Roosevelt tidak punya selera humor ketika setuju untuk menjatuhkan sepasang bom atom di Hirosyima dan Nagasaki, Jepang. Adalah selera humor yang buruk ketika D.N. Aidit menyebut soal dewan jenderal, tapi jelas Sarwo Edhie Wibowo—bapaknya Ibu Ani Yudhoyono—tidak punya selera humor ketika memulangkan tiga juta jiwa orang komunis kepadaMu; tapi soal tragedi ’65 itu, humor orang-orang di zaman itu memang hitam, sehitam sejarahnya.

Atau yang baru-baru ini, soal Charlie Hebdo, jelas orang-orang di Charlie itu punya selera humor yang buruk, dan sialnya mereka berhadapan dengan sepasang kakak-beradik yang tidak punya selera humor sama sekali. Celaka sekali bukan? Maka dari itu, kukatakan kepadaMu, Han, suratku ini penting, jauh lebih penting daripada doa orang-orang untuk keselamatan dan kesehatan Pak Prabowo supaya pemilu yang akan datang bisa nyalon lagi.

Terakhir, kupikir tidak perlulah Kamu balas suratku ini, langsung atau lewat staf khusus. Bukan karena aku tidak percaya tulisanmu bisa lolos di mojok.co, tapi kalau Kasmu memang benar ada di atas sana, bekerja sajalah, secara misterius seperti biasanya, kabulkan permintaanku: kembalikan, atau ciptakan, orang-orang lucu yang baru, atau limpahkanlah selera humor yang baik kepada orang banyak.

Aku percaya padaMu, lebih percaya padaMu daripada percaya teman-temanku yang membuat apologi di dinding fesbuknya—yang mengaku tidak meng-klik apa-apa, tidak menandai siapa-siapa—ketika secara misterius video gadis mabuk muncul di dinding fesbuk kami.

Exit mobile version