MOJOK.CO – Usianya baru 12 tahun, tapi sudah pindah agama sebanyak tiga kali. Bisa berdoa dengan cara Hindu, Buddha, Kristen, dan sekarang Islam.
Ritual apa yang paling lazim orang lakukan ketika mengakhiri sebuah hubungan? Putus cinta, misalnya. Mengemas seluruh barang pemberian kekasih untuk dibuang? Atau kalau eman-eman banget ya cukup dimasukkan ke lemari. Jadi kalau suatu saat sudah move on bisa dipakai kembali tanpa perasaan kesal, jengkel atau jijik.
Hal apa pula yang biasanya didapat dari prosesi meninggalkan sebuah status? Orang yang berstatus lulusan SMA A sangat mungkin dapat ijazah sebagai penanda ia telah berhasil mengkhatamkan jenjang pendidikan di sekolah itu. Kadang-kadang, pegawai yang mengakhiri kontrak kerja di suatu perusahaan juga mendapat surat keterangan pernah bekerja di perusahaan tersebut.
Tapi sangat jarang ya sepasang sejoli yang putus cinta dan beralih status menjadi jomlo dianugerahi sertifikat “mantan” sebagai penanda paling hakiki jika hubungan kasih itu telah kandas.
Sebelumnya maaf saya banyak bertanya. Entah relevan atau tidak, yang pasti saya memang tengah mematut-matut banyak kemungkinan dan analogi untuk sebuah pertanyaan paling rumit yang saya terima satu pekan ini. Dan pertanyaan itu datang dari murid saya.
Ini tentang bagaimana mengakhiri hubungan dengan Tuhan dan berpindah ke Tuhan yang lain. Mengakhiri status sebagai pemeluk agama yang satu untuk beralih menjadi pemeluk agama yang lainnya. Rumit, kan?
Adalah Marcell, bocah laki-laki berusia 12 tahun, yang awal tahun pelajaran ini turut bergabung di komunitas belajar yang saya kelola. Komunitas belajar yang saya kelola sebenarnya komunitas belajar kecil yang awalnya kami dirikan untuk masyarakat yang tidak terlayani di jalur pendidikan formal, tapi masih kepingin belajar. Jadi isinya komunitas belajar ini ada yang dari usia anak sampai dewasa. Dari bapak-bapak sampai anak-anak.
Sejak hari pertama masuk, Marcell yang imut-imut ini sudah saya gadang-gadang bakal punya banyak cerita. Anaknya cerewet banget. Suka bercerita tapi sekaligus hobi bertanya. Hanya saja pertanyaan-pertanyaannya selalu membikin saya mendadak diare.
Saat perkenalan, saya sudah menangkap bahwa Marcell adalah bocah luar biasa. Pada hari pertama saya kerap meminta seluruh murid—tentu saja termasuk Marcell—untuk mengenalkan diri dan menyebutkan hal unik dari dirinya. Kalau peserta didik lain memberikan saya jawaban yang tipikal semacam ini.
“Saya Robbi, marbot musala yang bisa ngepel sambil mundur.” (Ya iyalah, kalau nggak mundur gimana ngepelnya, Tong?).
Atau, “Saya Pak Yadi, petugas PPSU (baca: Penanganan Prasarana dan Sarana Umum) Kecamatan Sawah Besar, yang kalau kata anak saya lebih keren dipanggil pasukan oren.”
Atau, “Saya Nizam, pernah pukul orang. Dititipin di Dinas Sosial, sudah sering. Dititipin di penjara anak, juga pernah. Tapi selain suka pukul orang, saya sesekali juga kena pukul orang. Ya, kadang menang kadang kalah kalau berantem.”
Nah, si Marcell bikin saya terpana dengan memperkenalkan diri seperti ini, “Saya Marcell. Baru 12 tahun tapi sudah pindah agama sebanyak tiga kali. Saya bisa berdoa dengan cara Hindu, Buddha, Kristen, dan sekarang Islam.”
Respons seisi kelas mendengar perkenalan singkat Marcell macam-macam. Mulai dari yang nggak peduli sampai yang tak percaya. Saya pribadi agak mengabaikan omongan bocah itu karena selama hampir satu dekade mengelola komunitas belajar tersebut, lagak peserta didik saya memang macam-macam. Yang jemawa kayak Marcell ini bukan satu-satunya dan pertama kali.
Namun, hari-hari berikutnya barangkali saya sudah tidak bisa tidak peduli lagi. Marcell serius dengan ucapannya. Saat menggantikan beberapa tutor yang berhalangan hadir dan harus masuk kelasnya, saya kerap terpesona dengan kepercayaan diri Marcell. Apalagi saat sesi berdoa. Dia selalu menawarkan diri untuk memimpin doa. Baik saat memulai pelajaran atau mengakhirinya. Tapi selalu dibarengi dengan pertanyaan begini, “Kak, saya pimpin doanya pake doa agama apa?”
“Terserah kamulah. Sebisanya,” kata saya mempersilakan.
Maka, saya harus mulai terbiasa kalau hari Senin di kelasnya, Marcell berdoa dengan melantunkan, “Yesusku yang baik, temani kami belajar.” Atau di hari Selasa ia akan khusyuk bilang, “Dewi Saraswati, Hyang Maha Agung, anugerahi kami kecerdasan. Suksma.” Atau di hari Rabu yang lain lagi, “Rabbi zidni tambahkan ilmu kami.”
Awalnya saya pikir memberikan kebebasan dalam ritual memimpin doa sebelum dan sesudah belajar kepada Marcell merupakan bagian dari seni mengapresiasi keberanian dan inisiatif bocah usia 12 tahun tersebut. Tapi saya lupa bahwa murid saya di kelas itu bukan hanya Marcell.
Ada Pak Yadi yang selain sangat bangga dengan ke-pasukan-oren-an-nya, juga bangga sebagai anggota organisasi masyarakat Islam yang menolak berdoa dengan ritus selain agama Islam. Atau Robbi si primus (pria musala) yang selalu mendadak berisitighfar kalau mendengar nama Tuhan selain Allah disebut. Meski Nizam dan beberapa kawan Marcell lainnya berpendapat seru juga bisa berdoa dengan cara-cara lain selain baca Bismillah seperti biasanya.
Akhirnya, pada satu ketika saya (setelah berdiskusi dengan teman-teman sesama tutor), melakukan pendekatan personal pada Marcell. Saya ngobrol panjang mengenai pengakuannya di hari pertama ia masuk komunitas belajar saya.
Marcell mengaku dia lahir dari keluarga Kristen. Tapi setelah usia lima tahun, ketika ayah ibunya bercerai, Marcell kerap pindah agama sesuai dengan agama pasangan yang dinikahi ibunya. Sang Ibunda sampai saat ini sudah menikah sebanyak lima kali. Saat menikah dengan orang Hindu, Marcell pindah agama Hindu. Meski tak lama menjadi pemeluk agama Hindu, Marcell suka berdoa dengan ritus agama Hindu.
“Waktu jadi orang Hindu, saya tinggal di Bali sama papa saya yang orang Bali. Di Hindu itu banyak perayaan dan saya suka. Orang Bali dan Hindu juga baik-baik semua. Kalau ke Pura saya merasa tenang.”
Saat usia delapan tahun, Marcell dititipkan ke neneknya. Oleh sebab sang Nenek adalah seorang Buddhis, maka untuk beberapa tahun Marcell berpindah dari pemeluk agama Hindu ke Buddha.
“Jadi Buddhis juga tenang. Setiap masuk Vihara dan mencium harum asap dupa, saya jadi ingat dengan lima ajaran pokok Buddha dan akan saya pegang sampai mati.”
Terakhir, selepas lulus SD, sang Ibu kembali menikah setelah lama menjanda dari papanya yang beragama Hindu. Kebetulan, agama yang dipeluk papa barunya kali ini adalah Islam. Marcell pun resmi menjadi muslim sejak enam bulan lalu.
“Kalau begitu, nanti Marcell pimpin doa dengan cara-cara Islam saja ya?” saya akhirnya memutuskan setelah mendengar ceritanya yang panjang itu.
“Loh, kenapa begitu, Kak?” Marcell tak puas dengan keputusan saya.
Sebenarnya bukan saja karena mayoritas temannya di kelas adalah muslim. Tapi karena saat ini dia seorang Muslim ya sudah selayaknya cara-cara beribadah yang dilakukannya juga mengikuti cara-cara yang disyariatkan ajaran agama Islam. Alasan itu, saya sampaikan kepada Marcell dengan cukup lugas agar dia dapat memahami maksud saya.
Sayangnya, anak zaman sekarang memang sulit dipahami. Ada ratusan fakta dan realitas serta pengalaman yang bisa dikaitkan dalam otak mereka menjadi suatu renungan tersendiri bagi orang dewasa macam saya. Terlampau kreatif buat saya, seorang guu yang membosankan. Marcell tidak mendebat keputusan saya. Tapi dia langsung bertanya, “Bagaimana cara keluar agama yang paling benar, Kak?”
Hah? Batin saya melongo demi mendengar pertanyaan dari mata berbinar Marcell.
“Waktu saya masuk agama Hindu saya disuruh baca kayak mantra dan ikut upacara Sudi Wadani gitu loh, Kak. Saya masih kecil waktu itu, enggak hapal banget mantranya. Tapi masih ingat upacaranya. Dikasih sertifikat resmi sebagai pemeluk Hindu. Tapi kenapa pas saya pindah agama, ya enggak dikasih sertifikat sudah meninggalkan agama itu? Waktu masuk Buddha juga. Biksu kasih saya sertifikat menjadi Buddha, tapi pas meninggalkan Buddha saya enggak dikasih apa-apa. Masuk Islam juga begitu. Saya baca dua kalimat syahadat terus dapat sertifikat ‘halal’ juga.”
“Maaf Marcell, itu bukan sertifikat halal. Emang kamu mau jualan bakmi yang dinyatakan nggak ada minyak babinya?”
Saya menginterupsi sedikit. Sebenarnya saya paham Marcell salah sebut saja. Interupsi saya itu untuk mengulur waktu mencari jawaban paling masuk akal atas pertanyaannya tentang cara keluar agama yang paling benar. Saat saya masih mikirin jawaban atas pertanyaannya, si Marcell bertanya lagi yang buat kepala saya cenat-cenut.
“Saya pikir-pikir Kak, saya kok suka semua agama. Apalagi pas berdoa. Semua agama itu bikin saya merasa damai. Jadi, saya kok malah bersyukur sih enggak ada upacara lagi pas kita berpindah agama kayak upacara penurunan bendera. Soalnya kalau begitu, kapan-kapan saya kangen manggil-manggil Dewi Saraswati yang Agung, atau Yesus yang baik, saya enggak diizinin. Nggak bisa.”
Nah, kan.
Barangkali, analogi saya pada hubungan-hubungan antarmakhluk; dua sejoli, pegawai-perusahaan, orangtua-anak, murid-guru, murid-sekolah, tidak akan pernah cukup menggambarkan apalagi dipatut-patut dengan hubungan makhluk dengan Tuhannya. Pun, laku-laku hamba dalam beragama. Jadi seharusnya memang tidak perlu dicari-cari, dipasang-pasangkan, apalagi dicocok-cocokkan.
Sebenarnya saya jadi ingin mengutip istilah Cak Nur soal konsep al-nafy wal itsbat: Laa ilaha illallah; tidak ada Tuhan ya kecuali Tuhan itu sendiri, untuk menjawab keresahan si Marcell soal cara yang paling apik keluar dari agama tertentu. Tuhannya ya nggak ke mana-mana. Di situ-situ saja. Karena Tuhan yang ditemui Marcell dalam ritus agama manapun adalah Tuhan yang membuatnya tenang, damai.
Tapi gimana ya menjelaskan hal tersebut ke bocah 12 tahun itu dengan cara yang lebih asyik?
Toh, kalau terminologi murtad—meninggalkan agama—yang saya pahami tidak salah, di mana seseorang dikatakan meninggalkan kepercayaannya karena telah melakukan pengingkaran pada pencipta, peniadaan rasul-rasul Allah dan menghalalkan perbuatan yang haram atau sebaliknya, mungkin yang terjadi pada Marcell selama 12 tahun hidupnya tidak benar-benar demikian.
Marcell sangat menikmati prosesi berdoa. Baginya, ritus doa dalam mode agama apapun menyadarkannya pada Dzat yang memberinya rasa tenang. Marcell tak mengingkari adanya pencipta. Marcell mungkin hanya berpindah ritus satu ke ritus yang lainnya.
Pengalaman-pengalaman Marcell melakukan ritus-ritus tersebut barangkali belum mendalam betul mengingat pergulatannya dari satu agama ke agama lainnya yang dia peluk selalu seumur jagung. Tapi saya tetap berharap, justru pengalamannya bersinggungan dengan ritus-ritus tersebut membuatnya akan terus membuka diri menemukan kebenaran yang lebih subtil tentang Tuhannya.
“Jadi Kak, bagaimana cara yang paling benar keluar dari agama tertentu? Saya kok ngerasa belum benar-benar keluar dari agama-agama saya sebelumnya ya?”
Saya mematung cukup lama di hadapan bocah itu. Karena saya tahu, pindah atau keluar agama tidak sama seperti orang lulus sekolah yang akan dapat sertifikat sebagai penanda. Tidak sama juga seperti putus hubungan asmaranya dua sepasang sejoli karena tak lagi cinta.
Menyadari hal tersebut, rasanya saya benar-benar ingin lari ke toilet karena diare jadinya. Atau ini hanya efek karena saya tak bisa menemukan jawabannya?