Suara Rakyat Bukan Suara Tuhan, tapi Suara Dangdut

MOJOK.CO Di Indonesia, lagu dangdut menjadi solusi yang ampuh sebagai pelipur lara berkepanjangan. Sungguh, suara rakyat bukan suara Tuhan, tapi suara dangdut!

Single lagu dangdut Nella Kharisma, “Prei Kanan Kiri”, tiap hari meneror telinga penghuni kontrakan. Seorang kakak tingkat memutar lagu tersebut berulang-ulang sembari menampilkan raut muka nestapa. Simpul senyum merana yang ia lemparkan sungguh menebar duka cita dan pemakluman.

Selama setahun, ia cuti kuliah untuk membiayai gadis yang baru saja dinikahinya. Terkadang saya ikut prihatin tentang perkuliahan dan pekerjaannya yang serba amburadul. Tertekan tanggung jawab dan tuntutan lulus kuliah, ia pun berulangkali memutar lagu “Prei Kanan Kiri” demi melipur lara.

Yah, lirik lagu “Prei Kanan Kiri” yang berulangkali ia putar sesungguhnya mencerminkan suasana hatinya sebagai pejuang nikah muda yang kadang bimbang dan memerlukan dukungan.

Dalam sesi wawancara spontan dengannya, lagu dangdut baginya ternyata bukan sekadar mencerminkan suasana hati saja, melainkan juga merepresentasikan realitas sosial masyarakat. Misalnya, lagu dangdut “Prei Kanan Kiri” tadi—ia menggambarkan kisah perjuangan cinta yang nekat menerjang pelbagai hambatan sosial-ekonomi. Agar lebih menghayati, mari kita simak liriknya bersama-sama.

Bayangkeun, yen wes tresno, paite kopi rasane legi (Jika sudah cinta pahitnya kopi rasanya manis).

Yen wes tresno, rasane koyo ngimpi (Jika sudah cinta rasanya seperti mimpi)

Nadyan kahanan tetep dilakoni (Meski keadaan susah tetap dijalani)

Mepet kowe wes adem ati (Dekat kamu sudah tentram rasanya)

Yen wes tresno, maju lurus prei kanan kiri (Jika sudah cinta maju lurus nggak perlu tengok kanan kiri)

Yen wes tresno, abot enteng kudu dilakoni (Jika sudah cinta berat ringan harus dijalani)

Ra usah menggok lan nyawang mburi (Tak usah belok dan lihat belakang)

Ati mantep bakal sido rabi (Hati mantap bakalan jadi nikah)

Weeuw! Sungguh lirik lagu yang mewakili suara hati lelaki-lelaki berkantong kering! Sungguh hebat pula daya hidup para bucin alias budak-budak cinta: bagi mereka, dangdut adalah koentji!

Begitu ajaib efek cinta yang berkolaborasi dengan dangdut. Bahkan, pernyataan Prabowo yang menyebutkan bahwa Indonesia bakal bubar pada tahun 2030 seakan-akan hanya menjadi mitos belaka. Kalaupun perekonomian Indonesia ambruk seperti Venezuela, negeri korup ini akan tetap berdikari, bahkan rakyat masih dapat bertahan hidup, asalkan pemerintah tidak memboikot produk China lagu dangdut.

Ketika berlibur ke daerah pelosok, saya sempat melakukan survei kecil-kecilan ke masyarakat yang ada di sana. Hasilnya pun sungguh mencengangkan: Pilpres 2019 tidak begitu penting, bahkan acapkali banyak dari mereka yang tidak peduli. Menurut beberapa warga setempat, para politisi tak pernah sejengkal pun blusukan ke situ, apalagi berencana memajukan desa.

Mengutip quotes ketua RT di Desa Dhamar Wulan, “Sakjane wong kene missqueen-missqueen, menengah ke bawah, lah. Tapi kabeh nrimo. Jadi, nggak jadi masalah.” (Sebenarnya warga sini miskin-miskin, menengah ke bawah. Tapi semua menerima apa adanya. Jadi, nggak ada masalah).

See? Kata siapa Indonesia gudang masalah? Dari survei kecil-kecilan tadi, dapat disimpulkan bahwa dangdut jauh lebih ampuh mewujudkan butir-butir Pancasila pasal ketiga: “Persatuan Indonesia”, ketimbang kicauan politikus. Oleh karenanya, sejarawan-sejarawan di masa depan seharusnya mempertegas peran sosial Nella Kharisma, Via Vallen, dan Siti Badriah, yang tentunya jauh lebih berpengaruh ketimbang Andi Arief, Ma’ruf Amin, Fadli Zon, Amien Rais, ataupun Sandiaga Uno.

Barangkali, lagu dangdut “Prei Kanan Kiri” jauh lebih ampuh mengajarkan keikhlasan ketimbang khotbah Jum’at. Dan mungkin juga, ia jauh lebih ampuh merangsang keberanian lelaki-lelaki kantong kering untuk segera melamar pujaan hatinya ketimbang akun-akun hijrah celoteh mertua. Bahkan mungkin juga, ia jauh lebih ampuh melipur lara rakyat missqueen ketimbang kicauan politisi yang makin jayus janji-janji manis kaum cebong dan bani kampret.

Nyatanya, lelaki jomblo kantong kering di Indonesia memang seharusnya sudah memenuhi syarat menjadi golongan yang berhak menerima zakat. Namun, di Indonesia, ras manusia yang memprihatinkan ini dibiarkan hidup dalam kegelisahan, meski acapkali memperoleh pekerjaan menjelang pemilu, yakni sebagai pengamat politik partikelir yang memaparkan hasil analisis spektakulernya dalam laman-laman Facebook. Nah, dari kebimbangan-kebimbangan inilah, lagu dangdut memang menjadi solusi yang ampuh sebagai pelipur lara berkepanjangan. Sungguh, suara rakyat bukan suara Tuhan, tapi suara dangdut!

Agar lebih nyata, izinkan saya bercerita tentang seorang lagi kakak tingkat. Lain kakak tingkat, lain pula cerita dan lagu dangdutnya. Kali ini, kakak tingkat saya tergolong lelaki jomblo berkantong kering—bukan pejuang nikah muda berkantong kering. Kala itu, ia meratapi nasib: kuliahnya molor dan mau di-DO, masih menyandang status pengangguran terselubung, dan diperparah dengan kehidupan romansanya yang terseok-seok jauh di belakang tukang ojek pengkolan.

Tiap hari, lagu dangdut “Kimcil Kepolen” diputar berulang-ulang. Penghuni kontrakan yang kesal bersikeras memaklumi dengan setengah hati. Dan lagu dangdut pun kembali unjuk gigi, melipur lara para lelaki jomblo kantong kering.

Pancene koe pabu nuruti ibumi (Dasar kamu kurang ajar menuruti ibumu)

Jarene ra ninja ra oleh dicinta (Katanya kalau bukan ninja nggak boleh dicinta)

Opo koyo ngene susahe wong kere (Apa seperti ini susahnya orang miskin)

Ameh nyandeng tresno kalah karo bondo (Mau dapat cinta kalah sama harta)

Secara tidak langsung, lagu dangdut inilah yang menghibur hati kakak kelas saya. Bagaimanapun, penggalan lirik lagu “Kimcil Kepolen” tersebut memang sungguh menggugah hati kita tentang nasib lelaki-lelaki jomblo kantong kering yang kian terseok-seok. Tanpa cinta dan uang, hati dan perut mereka kering kerontang. Tapi tanpa lagu dangdut, nestapa itu kian terasa!

Yah, begini inilah realita hidup di Indonesia yang sepintas lalu dapat ditinjau dari lirik lagu dangdut. Sekali lagi, di negara ini, suara rakyat bukan suara Tuhan, tapi suara dangdut!

Kaum jomblo kantong kering se-Indonesia, bersatulah dalam irama orkes dangdut!

Exit mobile version