Stop Dorong Anak Muda Indonesia Jadi Petani, Nanti Mereka Jatuh ke Jurang

YouTube Kucing Petani Membuktikan Petani itu Kece dan Penyayang Binatang

MOJOK.COPenulis adalah petani muda yang mulai angkat cangkul begitu lulus kuliah. Masuk dunia petani Indonesia membuatnya melihat rantai masalah sudah seperti lingkaran setan. Mengubah situasi ini butuh campur tangan pemerintah. Tanpa kebijakan yang baik, terus mendorong anak muda jadi petani sama saja menjerumuskan mereka.

Seperti presiden Indonesia sebelum-sebelumnya, Pak Jokowi prihatin. Sebanyak 79 persen petani Indonesia saat ini berusia di atas 45 tahun. Ketahanan pangan negara ini terancam karena sangat sedikit anak muda mau terjun ke kebun, ladang, dan sawah. 

“Petani harus menjadi profesi yang menjanjikan, profesi yang menyejahterakan, dan kita harus membuat generasi muda lebih berminat menjadi petani,” kata Presiden baru-baru ini. 

Biar anak muda suka mengolah tanah, Pak Jokowi punya tips.

Pertama, petani harus mulai melirik bisnis pengolahan pascapanen. Jadi kalau tadinya jualan cabe kiloan doang, besok jualan sambal botolan sekalian dong. “Karena justru di sisi inilah keuntungan terbesar akan diperoleh,” ujar pebisnis mebel sukses itu.

Kedua, skill petani Indonesia harus jago banget biar bisa bersaing secara internasional. Skill yang dimaksud juga bukan seputaran ladang aja, tapi juga bisa memakai teknologi dan terampil dalam manajemen bisnis. 

Ketiga, petani Indonesia harus memanfaatkan layanan utang berbunga rendah dari program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kredit ini bisa dipakai buat ngembangin bisnis pengolahan pascapanen tadi.

Keempat, Pak Jokowi minta penyuluh pertanian bisa jadi penyambung lidah petani agar suara mereka nyampe ke pemerintah.

Jadi kompleks ya. Berkebalikan dari main game Stardew Valley yang membuat bertani seperti menyenangkan sekali. Beli benih di toko, olah tanah di kebun, tanam benihnya, siram setiap hari, tahu-tahu sudah panen. Terus uang penjualan hasil panen bisa dipakai membangun rumah dan kandang, melawan mafia tambang dan menikahi gadis favorit.

Melihat tips dari Pak Jokowi, tampaknya ia memandang usaha pertanian kini lesu karena usaha petani kurang. Karena itu, solusinya dengan meningkatkan ini dan itu. 

Ini berbeda dari yang kulihat. Menurut kacamataku sebagai petani muda (usiaku sekarang 23), pertanian Indonesia lesu karena petani dihambat banyak hal yang mustahil diatasi, kecuali pemerintah ikut campur tangan dan campur tangan itu dengan maksud yang baik. Atasilah masalah-masalah ini, niscaya anak muda antusias buat jadi petani. 

Masalah petani Indonesia #1 Ketimpangan penguasaan lahan

Too many farmers on too little land adalah masalah pertanian di dunia.

Setengah dari produksi padi Indonesia pada 2020 dihasilkan di Pulau Jawa (56 persen), tapi pulau ini juga paling padat jumlah penduduknya. Lahan pertanian di Jawa terbatas sementara jumlah penduduk yang perlu diberi makan meningkat.

Selain keterbatasan lahan, ada pula ketimpangan penguasaan lahan pertanian. Ini ditandai dengan segelintir kecil orang menguasai lahan begitu luas, sementara sebagian besar petani justru menjadi petani yang tidak hanya kecil, tapi lebih tepat disebut mikro atau gurem.

Petani gurem adalah mereka yang menggarap lahan dengan luas di bawah 0,5 hektare (5.000 meter persegi). Jumlahnya di Indonesia mencapai 16 juta jiwa. Sementara jumlah petani kecil yang menguasai lahan 0,5—1 hektare jumlahnya sekitar 4,4 juta jiwa. Kedua kelompok ini adalah potret 77 persen rumah tangga petani di Indonesia.

Banyak dari petani gurem ini juga menggarap lahan orang lain dengan sistem bagi hasil. Rumusnya maro, setengah hasil panen diberikan kepada pemilik lahan, atau mertilu, sepertiga hasil untuk pemilik lahan. 

Akibat ketimpangan penguasaan lahan ini adalah skala usaha tani yang segitu-segitu aja. Dengan lahan terbatas, juga sistem sewa yang biayanya cukup tinggi, keuntungan petani yang mengolah lahan langsung jadi terbatas. Misal kamu punya lahan 2.000 meter persegi, ketika panen kamu dapat 1,2 ton gabah yang dihargai Rp4.000/kg oleh tengkulak (asumsi panen 6 ton/ha). Artinya kamu mendapat Rp4,8 juta untuk kerja satu musim padi (sekitar 3-4 bulan).

Namun, pendapatan itu masih kotor, belum dipotong biaya sewa lahan sekitar Rp1,2 juta dengan hitungan mertilu. Juga jangan lupa biaya pupuk (Rp250.000), pestisida anggap (Rp150.000), dan benih padi 10 kg (Rp220.000). setelah itu masih ditambah ongkos traktor, jasa buruh tani, pajak irigasi, dan beberapa pungutan dari desa.

Kalau dihitung lagi, jelas rerata pendapatan petani per bulan berada di bawah upah minimum. Makanya banyak petani padi kita menanam dengan tujuan subsisten “yang penting punya beras buat dimakan” karena secara hitung-hitungan uang dari hasil panen jarang berlebih (tak ada dana untuk mencoba-coba bisnis lain).

Kondisi petani Indonesia ini berbeda jika dibandingkan Jepang dan Korea Selatan yang rata-rata penguasaan lahan per petani sebesar 1—2 hektare. karena itu jangan pula dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Australia yang rata-rata seorang petani memiliki lahan sampai 170 hektare dan 4.300 hektare. Jauh.

Masalah petani Indonesia #2 Tingginya biaya produksi

Sementara harga pertanian naik-turun bagai kereta luncur, harga sarana produksi pertanian berupa pupuk, benih, pestisida, dan alat pertanian cenderung naik terus. Ditambah pengeluaran lain seperti upah buruh tani, situasi keuangan petani adalah: 

✨ Biaya produktif tinggi, pendapatan tak menentu. ✨

Pendapatan tak menentu itu bisa berarti tidak balik modal ketika terjadi gagal panen. Adalah kenyataan di Indonesia, banyak petani harus berutang ketika mau memulai masa tanam. Ya begitulah, bukan cuma ladang petani yang digali-tutup lubangnya, keuangan mereka juga. 

Masalah petani Indonesia #3 Tata niaga yang tidak efisien

Menurut data Struktur Ongkos Usaha Tani Padi 2017, sebanyak 74 persen petani kita masih mengandalkan jalur distribusi pengepul atau tengkulak. Ini bukan tata niaga yang bagus karena cenderung tidak efisien dan bikin petani menjadi pihak yang posisi tawarnya paling rendah. Dalam mekanisme penyesuaian harga, misalnya, petani kebagian peran untuk patuh aja.

Nah, sayangnya penyaluran via koperasi tani atau langsung ke grosir di pasar hanya menjadi angka minoritas dalam corak distribusi petani kita. Akhirnya, karena pihak lain juga mengambil margin yang tinggi dalam proses distribusi hasil panen, petani mengambil margin yang terbatas. Jika Pak Jokowi memang serius ingin taraf hidup petani naik, memotong jalur tengkulak ini akan langsung terasa manfaatnya lho.

Mendorong tanpa mengubah keadaan, apakah sopan begitu?

Ketiga masalah di atas menciptakan siklus setan dalam pertanian Indonesia.

(*) Margin keuntungan yang tipis bahkan naik-turun membuat investasi teknologi lanjut jadi terbatas.
(*) Karena keterbatasan pengetahuan dan teknologi, efisiensi kerja sulit dilakukan.
(*) Karena kerja tak efisien, margin profit sering tipis atau naik-turun secara drastis.

Tiga poin barusan membentuk lingkaran yang tak ada buntutnya; tak jelas mana yang nomor 1, 2, dan 3.   

Tapi kita bisa belajar dari tempat lain.

Situasi yang sama persis pernah terjadi di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan tujuh dekade lalu. Penguasaan lahan yang timpang membuat tingkat ketunakismaan (istilah untuk menyebut petani gurem dan petani tanpa lahan) tinggi sehingga jumlah mereka jadi sangat besar. Di negara-negara tersebut, ongkos sewa lahan yang tinggi serta biaya hidup meningkat juga membuat banyak petani berutang, sebagian kepada tuan tanah, tengkulak, dan lintah darat. Akhirnya, banyak petani melarat.

Namun, sejak 1950-an kondisi itu berubah berkat tiga kebijakan berikut ini.

Solusi masalah petani #1 Land reform

Setelah Perang Dunia II selesai, negara Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Indonesia melakukan land reform (di Indonesia, kadang disebut reforma agraria). Land reform secara sederhana adalah upaya menata ulang penguasaan lahan yang semula timpang, agar menciptakan struktur agraria yang lebih adil. Artinya, ada penetapan kebijakan negara untuk membentuk suatu masyarakat tani yang berdaulat dan mandiri di atas lahan sendiri.

Land reform di Jepang, Korsel, dan Taiwan adalah imbas land reform di Tiongkok. Usai Perang Dunia II, Amerika Serikat khawatir kekecewaan kaum petani akan membuat kelompok komunis bisa menguasai Asia. Melihat land reform yang dilakukan Mao Tse Tung di Tiongkok, pemerintah pendudukan AS di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan ikut memerintahkan pelaksanaan land reform segera untuk membangun kondisi ekonomi pedesaan yang lebih baik. Hanya dalam struktur agraria yang pro-petani sajalah kesejahteraan negara meningkat, dan itu salah satu alasan munculnya para macan Asia di Asia Timur. 

Di Jepang, sebenarnya sejak 1920-an telah ada upaya pemerintah untuk mengatur problem relasi tenurial ini. Namun, baru pada 1946 tampak hasil yang positif. Jika sebelumnya mayoritas petani Jepang hanya menguasai lahan di bawah satu hektare, kebijakan land reform menetapkan penguasaan petani atas lahan minimal satu hektare. Hasilnya, dari yang semula 64 persen petani di Jepang adalah petani penggarap, setelah land reform petani penggarap tersisa 8 persen.

Dalam kasus Indonesia, kebijakan land reform yang pertama terjadi pada 1948 ketika delapan bidang lahan perkebunan eks Belanda dibagikan kepada para petani yang berhak di Yogyakarta. Dua belas tahun kemudian, pada 1960, UU Pokok Agraria disahkan untuk mewajibkan negara menyelenggarakan land reform. Namun, setelah mengalami proses politik yang pahit, cita-cita itu gagal dan bahkan berjalan mundur.

Apa yang membuat agenda land reform bisa berhasil? Menurut Wolf Ladejinsky, konsultan pertanian AS terkait land reform di Asia, kuncinya adalah keberpihakan pemerintah. Land reform akan menyebabkan konflik sosial, dan pemerintah harus jadi penengah yang memediasi jalannya agenda tersebut. Hanya dengan otoritas yang tegas land reform dapat dijalankan sampai selesai. Jepang adalah contoh sukses, berhasil menyelesaikannya hanya dalam kurun dua tahun.

Solusi masalah petani #2 Adopsi pertanian rendah biaya

Di India pertengahan ‘90-an, seorang guru bernama Subhash Palekar mengenalkan konser zero budget natural farming (ZNBF) atau pertanian alami nol biaya. Konsepnya sederhana, yakni menggunakan pupuk dari bahan sekitar, melakukan praktik pertanian konservasi dengan menutupi lahan (mulching), serta menggunakan benih hasil silangan sendiri dan konservasi petani (tidak membeli benih). Intinya adalah bagaimana sebisa mungkin petani mandiri dan tidak dibuat tergantung pada perusahaan-perusahaan agribisnis.

Subhash Palekar memopulerkan ZNBF karena biaya pertanian yang meningkat membuat banyak petani di India terjerat utang. Saking parahnya, hingga 2016, diperkirakan tiap tahun ada 16 ribu petani India yang bunuh diri karena terlilit pinjaman.

ZNBF banyak diadaptasi petani dan keberhasilan ini membuat pemerintah Negara Bagian Andhra Pradesh menyusun kebijakan cukup ambisius. Mereka menargetkan konversi 8 juta petani menggunakan ZNBF per 2024, yang akan menjadikan Adhra Pradesh sebagai negara bagian dengan 100 persen pertanian alami.

Di belahan bumi lain, Kuba menjalani kisah hampir sama.

Kuba telah lama tergantung pada impor pupuk dan alat pertanian dari Uni Soviet. Ketika pada 1991 Uni Soviet runtuh, Kuba kelabakan memenuhi kebutuhan pangannya. Dalam masa-masa sulit ini pemerintah Kuba mengadopsi praktik agroekologi sebagai sistem pertanian. Sederhananya, agroekologi adalah sistem pertanian yang meniru cara kerja alam dalam pemenuhan nutrisi tanaman. Dengan menggunakan kompos, kotoran hewan, pergiliran tanaman, dan desain ekosistem kebun, kebutuhan modal pertanian menjadi minim ongkos.

Kini, sebagai negara dengan tingkat urbanisasi tinggi (hampir 65 persen), kebutuhan pangan masyarakat Kuba justru diproduksi dari wilayah urban itu sendiri. Bahkan di ibu kota negara Havana, hampir 90 persen sayurnya diproduksi di dalam kota. Apakah kebayang 90 persen pangan Jakarta dihasilkan di Jakarta?

Solusi masalah petani #3 Merombak kelompok tani menjadi koperasi

Kata guruku, salah satu masalah pertanian Indonesia adalah kelompok taninya cuma jadi pra-koperasi, tanpa pernah diseriusi untuk membuatnya jadi koperasi. Padahal, kelompok tani adalah lembaga yang penting sekali dalam struktur pertanian Indonesia. Hampir semua kebijakan penyuluhan, alokasi subsidi pupuk, hingga bantuan mesin mengalir lewat kelompok tani.

Namun, budaya patron alias asal bapak senang masih mendominasi organisasi desa. Akhirnya, tidak semua kepentingan dapat terwakilkan. Banyak petani memilih adem ayem karena kelompok tani tidak dianggap menyelesaikan masalah mereka.

Oleh karena itu, kelompok tani sangat perlu diubah menjadi badan usaha kooperatif yang demokratis. Badan usaha ini pula yang akan memfasilitasi perkataan Pak Jokowi tadi, agar petani melirik bisnis pascapanen. Jadi nanti di dalamnya akan ada peran selain petani, seperti akuntan, pemasar, sampai CS. Di situlah pemuda yang malas mencangkul seperti aku bisa berperan. Kalau ditanya apakah semua ini akan mudah, ya tentu nggak.

Akhirul kalam, paparan sepanjang ini adalah saranku sebagai petani kampung yang kebetulan tertarik mempelajari kebijakan pertanian di luar negeri. Aku mempelajari referensi-referensi tersebut karena percaya, perubahan mendasar terjadi ketika kita memperbarui pengetahuan yang kini kita kuasai.

Seperti kata Pak Jokowi, petani mesti bisa menguasai on-farm dan off-farm sekaligus. Petani mesti bisa berdaulat dari hulu ke hilir dan untuk melakukannya, dibutuhkan semangat, kerja keras, dan kenekatan merombak. Relasi tenurial kita yang bermasalah dibenahi, iklim usaha pertanian diperbaiki, dan model pertanian yang tidak memperparah krisis iklim dipopulerkan.

Perubahan ini tidak bisa dilakukan petani sendirian. Perlu kerja sama banyak pihak, termasuk dari teman-teman selaku konsumen produk pertanian. Video petani membuang hasil panennya sendiri harusnya tak membuat teman-teman bersedih. Kenyataan pahit seperti itu harusnya membuat kita marah dan ingin bertindak.

BACA JUGA Kamu Marah Petani Sayur dan Peternak Telur Buang Hasil Panen? Apalagi Mereka dan esai Dipa lainnya.

Exit mobile version