SJW Termasuk Fasisme Kiri Ekstrim, Terdengar Tak Masuk Akal, tapi Bisa Dijelaskan

sjw social justice warrior megi margiyono arti definisi makna ciri-ciri kelakuan kiri ekstrim kanan ekstrim fasisme far left far right fascism teori sepatu kuda horse shoe theory

sjw social justice warrior megi margiyono arti definisi makna ciri-ciri kelakuan kiri ekstrim kanan ekstrim fasisme far left far right fascism teori sepatu kuda horse shoe theory

MOJOK.COSaat ini orang sedang demam memakai istilah SJW, social justice warrior, pejuang keadilan sosial. Istilah ini terdengar positif, tapi makna yang ditimbulkan negatif, bahkan sinis. Ada yang menggolongkannya sebagai bentuk fasisme.

Sebenarnya tidak ada definisi baku SJW ini apa karena istilahnya lebih menyerupai sebutan nyinyir saja, ejekan. Label ini biasanya ditempelkan kepada para aktivis Kiri atau LSM, dan sering dipakai sembarangan sehingga salah kaprah.

Ya, mungkin karena nggak ada definisi baku itu ya, sehingga orang memakainya serampangan.

Sampai sekarang, jangan harap menemukan literatur atau penelitian mengenai SJW karena istilahnya memang tidak atau belum baku. Nah, daripada membahas definisinya, mending memahami esensi SJW yang merupakan fenomena politik digital dengan aktivitas (utamanya) bertempat di dunia maya. Ya, SJW memang fenomena politik digital.

Menurut beberapa tulisan (yang bukan tulisan ilmiah), SJW berada di spektrum politik “left-wing fascism” atau fasisme Kiri. Terdengar contradictio in terminis ya? Fasis itu kan Kanan banget, Kanan ekstrim malah, kok ada fasis Kiri? Aku sendiri belum yakin banget sama istilah ini, maka lebih aman pakai tanda kutip: “left-wing fascism”, fasisme Kiri ekstrim.

Istilah fasisme Kiri ekstrim ini tampaknya terinspirasi horse-shoe theory (teeori sepatu kuda) yang mengatakan bahwa diagram spektrum politik itu tidak berupa garis lurus, dengan di ujung kiri berupa “far-left” (Kiri ekstrim) dan ujung kanan berupa “far-right” (Kanan ekstrim), melainkan diagramnya lebih mirip gambar sepatu kuda yang berbentuk seperti huruf C yang mana, kedua ujungnya berdekatan (tapi tidak nyambung), yaitu “far-left” dan “far-right”.

Dus, Kiri ekstrim dan Kanan ekstrim memiliki banyak kesamaan. Dari situlah ada istilah “left-wing fascism”. Far-left dan far-right sering kali punya musuh bersama, yaitu kelompok tengah (centris), dan kerap melakukan “aliansi diam-diam”. Jadi kalau centris sedang kelahi dengan far-right, far-left ini diam saja, atau malah ikut gebuki centris dengan cara dan jargonnya sendiri.

Tapi, dalam konteks apa SJW dikategorikan fasisme Kiri ekstrim? Apa mereka ini marxis sekaligus pengagum Hitler? Ya tentu tidak, sebab definisi Kiri dan fasis di sini tak ada kaitan dengan bacaan-bacaan, bahkan dengan ideologi formal. Kategori itu lebih mengacu kepada perilaku politik (political behavior), bukan ideologi yang bersifat klasik.

Beberapa orang menulis berbagai ciri atau karakteristik SJW, antara lain:

  1. Latar belakang sosiologis

Orang-orang yang dilabeli SJW umumnya berlatar belakang aktivis LSM, komunitas minorits seksual (misal LGBT), pembela etnis minoritas, pembela lingkungan, pekerja media, dan sebagainya. Tapi tentu tidak serta-merta para aktivis tersebut boleh di-gebyah uyah sebagai social justice warrior karena itu bukan ciri pokoknya.

Yang lebih menentukan label itu sebenarnya perilaku politiknya. Dan banyak juga SJW yang tidak berlatar belakang aktivis, tapi para profesional, pekerja lepas, pekerja kreatif, dan sebagainya.

2. Terobsesi “new political correctness

Nah, yang ini aku juga bingung kenapa pakai “new”, tapi abaikan aja kata itu. Mendefinisikan “political correctness” dengan kata-kata juga susah. Mudahnya, hal itu bisa dijelaskan dengan ungkapan nyinyir “mahabenar SJW dengan segala firmannya”, “SJW can do no wrong”, “SJW tak pernah salah”, “hanya SJW yang tahu”, “kebenaran milik SJW semata”, dan sebagainya.

Tentu, kenyinyiran itu sebenarnya nggak tepat juga untuk menjelaskan obsesi mereka terhadap political correctness. Mudahnya begini, mereka umumnya orang-orang yang mempunyai pandangan dan stand point politik yang amat tegas, dan itu menjadi prinsip dalam segala hal, sampai-sampai dalam segala hal harus politically correct, baik dalam memilih istilah/diksi, berpakaian, bahkan sampai hobi, bercanda, dan cara makan.

Nah, di sini ada sisi Kiri ekstrim dan fasismenya. Karena itu, mereka tidak bisa menolerir kesalahan sekecil apa pun itu ketika itu tidak politically correct. Akibatnya, SJW menjadi kritikus yang tajam, bahkan sadis, dalam segala hal, mulai dari politik negara sampai perilaku orang lain yang dianggap tidak politically correct.

Hal ini yang membuat mereka tampak seperti monster digital bagi kebanyakan orang, terutama yang pernah dirundung SJW ramai-ramai. Sampai muncul istilah “SJW mengatur hidup kita”.

Ada semacam gambaran kehidupan di media sosial yang bikin stres, begini: “Aku baru posting sepatu kulit baru di Instagram, langsung diserang SJW pencinta binatang, karena nggak tahan, maka aku hapus dan posting sepatu Nike baru, gantian SJW anti international corporation dan sweatshop yang menyerang. Terus aku suruh pakai sepatu apa?”

Ada juga yang ngomong, “Ngopi di Starbucks di-bully SJW kopi, minum pakai sedotan dinyinyirin SJW sedotan, pindah ke McD diserang SJW fast food, giliran minum air mineral botolan diserang SJW tumbler, habis itu belanja pakai kantong plastik dikritik SJW plastik.”

Sampai ada selorohan: Kalau hidup mengikuti kemauan SJW, kita makannya harus vegetarian, setiap belanja bawa tas belanja, jalan pakai sandal jepit, berangkat ke kantor naik sepeda atau taksi online biar gak di-bully SJW emisi, ke mana-mana bawa tumbler dan sedotan stainless biar nggak di-bully SJW botol dan SJW sedotan, nggak boleh bercanda dengan teman perempuan takut dibilang melecehkan perempuan oleh SJW feminis, nggak boleh merokok nanti dimusuhi SJW kesehatan, dan sebagainya.

Intinya, hidup jadi rempong. Nggak woles. Dan di sinilah unsur Kiri ekstrim sekaligus fasisme dari SJW, katanya. Aspek kirinya ada pada isu atau agenda yang diusung, aspek fasismenya dari cara merundung dan melakukan tekanan sosial. Sebenarnya, mereka bermaksud mengubah kebiasaan masyarakat, tapi terjerembab pada tekanan sosial yang fasistis.

Dan yang lebih sadis lagi, dan ini yang menguatkan label fasistis, para SJW ini acap kali tidak hanya sebatas merundung musuhnya, tapi juga melakukan berbagai kekerasan siber, semisal meretas akun media sosial, propaganda persekusi, aksi boikot digital, menghabisi reputasi seseorang, sampai bahkan menghabisi karier atau bisnis orang tersebut. Dan perilaku ini yang menjadi asal kata “warrior” (pejuang, prajurit) di belakang kata “social justice”. Tentu kekerasan siber semacam ini bukan monopoli para SJW. Banyak kelompok lain yang melakukan, termasuk lawan-lawan SJW.

Mengapa bisa muncul para SJW si kritikus yang “maha benar dengan segala firmannya”?

Nah, dialah produk asli politik siber. Begini ceritanya. Aktivitas para SJW itu sebagian besar hanya di dunia maya, jarang sekali beraktivitas di dunia nyata. Mereka adalah cyber politicians (politisi dunia maya). Ada juga yang mengistilahkan: pseudo-politicians (politisi semu). Juga, mereka tidak bertarung dalam politik konkret yang berkontestasi dalam pemilu, politik kelembagaan kampus, ormas, atau organisasi-organisasi strategis lain.

Karena tidak bertarung dalam politik yang riil, mereka tidak tahu, atau tidak mau tahu, tentang taktik dan kompromi dengan realitas. Segalanya harus politically correct. Berpolitik di ranah siber memang tidak ada ukuran yang jelas soal kalah-menang. Dan juga nggak ada konsekuensinya. Dunianya sangat berbeda dengan dunia politik riil. Oleh karena itu, ada ujaran “SJW besar dalam dunianya yang kecil”.

Karakteristik terakhir, dan sebenarnya paling penting, adalah agenda SJW untuk membangun reputasi pribadi. Reputasi siber, tentunya. SJW beda dengan politisi yang tentu agendanya merebut kekuasaan negara atau kekuasaan-kekuasaan strategis. Politisi membangun organisasi. Beda dengan aktivis, yang agendanya adalah isu atau program atau pemberdayaan masyarakat. SJW beda dengan mereka, fokus SJW adalah pengakuan bahwa dia seorang warrior. Mereka adalah lone wolf (bergerak sendiri) atau semisal memiliki kelompok pun, ukurannya kecil-kecil. Naluri warrior mereka membuat mereka tidak bisa disubordinasi, baik secara politik maupun organisasi, sehingga mereka tidak tertarik berorganisasi yang serius.

Singkatnya, SJW tidak tertarik pada diskusi yang mencoba memenangkan hati dan pikiran orang lain, tapi terobsesi pada kemenangan reputasi diri. Tidak merangkul, tapi mengajak bertarung. Karena mereka adalah warrior.

Jadi, SJW beda dengan aktivis. Dan sayang, penggunaan istilah SJW sering serampangan dan banyak orang salah dilabeli sebagai SJW.

BACA JUGA Asal-usul Social Justice Warrior Alias SJW yang Kena ‘Efek’ Peyoratif atau artikel Margiyono lainnya.

Exit mobile version