Sitok

Betapa haibat Sunarto alias Sitok Srengenge. Ia jauh lebih hebat dari kebanyakan pesakitan di jagat nusantara ini.

Jika seorang maling bisa habis dibakar massa karena mencuri ayam, seorang koruptor diciduk KPK, belio Sunarto (yang belagak jadi matahari) ini bisa melenggang bebas menjadi apapun yang ia mau meski terbelit kasus perkosaan. Ya perkosaan.

Baru-baru ini belio datang sebagai tamu di Ulang Tahun Gus Mus. Haibat betul, bukan? Tentu tak boleh kita menyalahkan Gus Mus karena kehadiran Sitok. Tugas Kyai memang membuka diri bahkan terhadap bajingan paling hina sekalipun. Barangkali Sitok diundang oleh Gus Mus, atau dengan tak tahu diri nongol sendiri tanpa undangan untuk makan gratis (saya juga suka begitu).

Toh meski ia benar-benar diundang (saya tak tahu Sitok diundang atau tidak), kemunculan Sitok ini adalah kabar baik. Ia adalah penanda bahwa meskipun kamu berstatus terlapor dalam kasus perkosaan (yang termasuk kejahatan berat) asal kamu berteman dengan orang yang tepat, kamu akan tetap diterima dalam komunitas manapun.

Dalam sebuah foto yang beredar di Internet, terlihat Sitok duduk intim bersama salah satu intelektual pembela akal sehat kebebasan pemikiran Islam nomor wahid Nusantara. Siapa dia? Ya benar, Bapak Ulil Abshar Abdala. Berdua mereka duduk mesra. Saya kira ini adalah preseden positif. Mengapa? Bapak Ulil yang kerap tampil menjadi pembela perempuan (yang konon banyak didiskreditkan dalam hukum Islam) bisa duduk mesra dengan tertuduh pemerkosa. Haibat betul bukan? Penjaga moral dan tertuduh pelaku amoral bisa duduk berseberangan sambil makan bersama.

Tak sampai di situ, Sitok pun bisa dengan haibat dan luarbiasa berkelit dari perangkat hukum. Jika Florence Sihombing langsung ditahan berdasarkan laporan LSM tak jelas, dengan pasal tak jelas, dan alasan tak jelas (ingat UU ITE mengatur pencemaran terhadap manusia bukan kota atau ras), Bapak Sitok Sunarto ini, meski korbannya telah berkali-kali diperiksa, bisa lolos dari penahanan. Bahkan setahun setelah kasusnya bergulir, naik status dari terlapor ke tersangka saja tidak. Apa tidak haibat? Apa tidak wunderbar? Marvelous, marvelous bukan?

Jangan lupakan bungkamnya para pendekarwati-pendekarwati feminis dalam kasus ini. Kita tentu ingat kolega dan rekan Sitok, Madame Ayu Utami dengan gawat dan trengginas bersikap melalui blognya terkait kasus Sitok. Madame Ayu bersuara setelah melakukan investigasi terukur, penelitian yang dalam dan perenungan yang hebat.

Sebagai feminis (saya gak tau feminis itu apa) ia lantas bersikap keras melalui tulisan. Mungkin itu lebih gawat dan urgen dari kacamatanya sebagai penulis budaya, ketimbang membela korban perkosaan atau ambil bagian menyeret Sitok ke pengadilan. Apalah si korban itu? Ia hanya (kemungkinan) diperkosa, berkali kali, hingga hamil, dihancurkan kedaulatan tubuh dan pikirnya. Kita hamba sahaya tak usahlah menuntut macam-macam. Sudah bagus Madame Ayu mau nulis di blog pribadinya. Perempuan-peremuan (feminis beneran) lain kan cuma mendampingi dari awal pengakuan perkosaan, bergulirnya kasus hingga ke pengadilan. Ingat tugas utama penulis ya menulis, bukan membela korban perkosaan.

Bagaimana semestinya kita bersikap pada sebuah kasus permerkosaan? Ya gak gimana-gimana. Kasus pemerkosaan, seperti juga kasus korupsi atau kasus pencemaran nama baik adalah kasus biasa. Bedanya Pemerkosaan hanya merebut kedaulatan tubuh perempuan korbannya, merebut masa depan si perempuan dan juga merebut hak atas pilihan si perempuan. Tidak ada yang istimewa kok dari kasus Sitok ini. Biasa saja.

Pak Sitok ini tentunya adalah seorang superman. Seorang wali. Hambok yakin, saat yang lain dengan mudah ditangkap dan dipenjara hanya berdasar tuduhan. Pak Sitok malah bisa jalan jalan wisata kuliner sama Mas Ulil. Saat tertuduh lain dalam penyusunan bukti sudah ditahan, Pak Sitok masih bisa plesir ke sana ke mari.

Apa kalian tidak pengen jadi belio? Wong kadang-kadang saya aja pengen.

Jadi saya sih, kalau bisa, meminta kalian para warga Indonesia jangan gumunan. Kalau gumun nanti stres. Slow bae, aja kagetan. Yang begini sudah biasa. Hambok otak itu jangan kebanyakan dipake mikir nanti cepat rusak. Hati nurani itu jangan sering diturutin nanti ngelunjak.

Pak Sitok ini kurang apa lho? Udah dibela kolega, dibela anaknya, dibela negara. Kok masih mau dituntut yang macem-macem.

Udah, biarin aja. Wong bisa kita mung ngomong toh?

Exit mobile version