Sesi Konsultasi Psikologi di Tes Kesehatan Sebelum Menikah yang Kayak Tempelan Aja

Sesi Konsultasi Psikologi di Tes Kesehatan Sebelum Menikah yang Kayak Tempelan Aja

MOJOK.COSalah satu sesi dalam tes kesehatan sebelum menikah adalah konsultasi psikologi. Tapi melihat bagaimana ia diperlakukan, kok kayak tempelan aja, ya?

Saya berencana menikah. Salah satu syarat supaya saya dan pasangan dapat mendaftarkan diri ke KUA, saya harus suntik TT—singkatan dari tetanus toksoid, suntik yang memberikan vaksin supaya tubuh kebal dari penyakit tetanus. KUA sih merujuknya ke puskesmas saja. Mungkin untuk pembiayaan, memang lebih bersahabat, sih.

Lantaran saya berdomisili di Jogja, akhirnya saya pergi ke salah satu puskesmas di kota ini. Saya yang mengira kedatangan saya ke puskesmas hanya sekadar mendaftar, antre, suntik TT, dan pulang dengan membawa surat keterangan bahwa saya sudah suntik TT, ternyata salah. Masih ada beberapa tes lain yang harus saya ikuti supaya si surat itu bisa dikeluarkan. Karena saya tidak mempersiapkan mental untuk proses yang akan sepanjang itu, awalnya agak kesal juga.

Proses panjang yang harus saya lalui di antaranya, datang ke poli KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) untuk cek berat badan, tinggi badan, lingkar lengan, konsultasi soal haid, dan suntik TT. Setelah itu saya datang ke poli gigi dan mulut untuk diperiksa kesehatan gigi dan mulut saya. Kira-kira bagaimana kondisinya. Untuk berjaga-jaga kalau-kalau ada yang bermasalah dengannya, hal itu bisa diambil tindakan dengan segera. Jangan sampai tindakan itu dilakukan saat saya sedang hamil. Bisa berbahaya katanya.

Selepas itu, saya diminta ke laboratorium untuk dicek darah dan urin. Cek urin untuk mengecek apakah saya sedang hamil atau tidak. Sementara cek darah untuk memeriksa hemoglobin saya. Ya, kita tahu kan, Hb ini ada kaitannya dengan darah dan oksigen yang ada di tubuh kita. Mungkin untuk memastikan juga, kalau tubuh saya nggak kekurangan asupan oksigen, khususnya kalau nanti ada calon anak saya di kandungan.

Setelah menerima hasil laboratorium, saya lalu mengantri untuk konsultasi gizi. Ya, karena saya belum punya pengalaman untuk konsultasi gizi sebelumnya, saya rasa pelayanan ini oke juga. Maksudnya, ahli gizinya cukup dapat menjelaskan dengan lebih jelas mengenai asupan gizi yang saya butuhkan. Apalagi kalau memang pengin menjadikan organ reproduksi saya ini tetap subur dan siap hamil.

Ya, ya, ya. Keempat tes kesehatan di atas semuanya memang fokus untuk memastikan bahwa tubuh saya ini siap untuk kehamilan. Padahal, saya sama sekali nggak ditanyain: Apakah saya berencana untuk hamil dalam waktu dekat setelah menikah atau tidak? Atau mungkin pengenalan alat kontrasepsi dan mana yang terbaik untuk saya? Ataupun membantu saya untuk memahami masa subur, mungkin?

Tapi nggak apa-apa. Mungkin karena begitu banyaknya calon pasien yang harus diurus, jadi hal-hal tersebut mungkin agak keselip aja. Lagian saya juga sih, ngapain harus malu atau pekewuh untuk bertanya langsung soal suatu hal yang memang belum saya pahami? Hmmm, dasar aku.

Sebetulnya, setelah keempat tes itu, ada satu sesi lagi yang harusnya saya ikuti supaya si surat keterangan kesehatan calon pengantin itu ada di genggaman saya. Yakni sesi konsultasi dengan psikolog. Namun, sayang sungguh sayang, karena hanya ada satu psikolog di setiap puskesmas Jogja, dan di puskesmas yang saya datangi psikolognya sedang cuti hamil, jadi ya sesi konsultasi tersebut di-skip.

Awalnya saya kira untuk sesi ini akan dirujuk ke puskesmas lain yang terdekat. Ternyata tidak, Saudara-saudara. Aturannya tidak sekaku yang saya kira: Bahwa saya bisa melewati sesi konsultasi dengan psikolog karena psikolognya sedang cuti. Salah satu dari tenaga kesehatan di sana bilang, karena itu bukan salah saya, jadi tidak masalah.

Sebetulnya, saya sudah berharap banyak dengan konsultasi psikolog ini. Saya merasa ini adalah salah satu upaya yang begitu keren dari para tenaga kesehatan untuk tidak menganaktirikan lagi soal kesehatan mental. Ya, seperti diketahui, keempat tes yang saya lakukan sebelumnya kan hanya fokus soal kesehatan fisik saja. Bukankah kalau dilengkapi dengan konsultasi psikologi, ini betul-betul menjadi 4 sehat 5 sempurna? Seperti yang ahli gizi katakan?

Saya cukup menyayangkan sesi terakhir ini di-skip begitu saja. Mungkin memang datang ke psikolog dan “dipaksa” untuk bercerita ke orang asing yang baru aja dikenal beberapa menit yang lalu, rasanya sungguh aneh. Tapi, bukankah ini kesempatan bagi calon pengantin untuk lebih memahami dirinya dan pasangan dengan bantuan tenaga profesional? Apalagi kesempatan itu bisa didapatkan di puskesmas yang biayanya jauh lebih murah dan lebih banyak orang yang “sanggup” mengaksesnya.

Namun, menganggapnya sebagai suatu hal yang nggak penting-penting amat, sehingga bisa dilewati supaya lebih efektif dan efisien, rasanya mengganjal juga. Bukankah ini merupakan sebuah proses yang dibutuhkan?

Kalau kita melihat angka-angka permasalahan dalam rumah tangga, rasanya sungguh mengerikan. Jadi, saya percaya bahwa konsultasi psikologi adalah salah satu cara yang bisa diupayakan sebelumnya, supaya hal-hal semacam itu dapat dicegah sedini mungkin. Sesi ini ada juga sebagai penyeimbang kelayakan kesehatan kita. Tidak hanya kesehatan fisik tapi juga mental.

Jadi, saya cukup menyayangkan kalau tenaga profesional sesi ini sedang berhalangan hadir, lalu sesi konseling ini di-skip begitu saja. Tidak ada rujukan ke puskesmas lain. Tidak pula diwajibkan untuk datang ke sana sesegera mungkin saat sang tenaga ahli ini bertugas kembali.

Rasa-rasanya, sesi ini memang dianggap sebatas tempelan. Semacam nggak penting-penting amat. Jadi kalau nggak ada juga nggak apa-apa. Palingan juga nggak berpengaruh amat untuk keutuhan rumah tangga. Lha wong sudah yakin untuk nikah. Yang datang pun pasti sudah pada siap dengan pesta pernikahannya. Kok malah mau diribetin untuk dipastikan segala. Mungkin, dikiranya kayak gitu kali, ya. Mungkin, loh.

BACA JUGA Katanya Pengin Nikah, Pas Mau Nikah Malah Jadi Bridezilla atau artikel Audian Laili lainnya

Exit mobile version