Selamat Datang Generasi Manja, Ketika Snob Parent Memaafkan Kesalahan Anak

ESAI GENERASI MANJA MOJOK.CO

MOJOK.CO – Tidak lagi terasa kompetisi di antara anak-anak. Kesalahan dimaafkan terlalu mudah. Snob parent bikin generasi sekarang menjadi generasi manja.

Sebenarnya uneg-uneg tentang metode parenting manja ini sudah lama saya rasakan. Perasaan ini makin membuncah deep down in my heart saat merasakan jadi orang tua yang anaknya sudah sekolah. Puncaknya adalah saat saya ke sekolah untuk menerima rapot anak semester lalu.

Saya gemay bukan main. Di ruangan kelas, di hadapan para orang tua murid, tidak sepatah kata pun para guru menyebutkan kata yang buruk tentang anak-anak kami. Tidak ada kritik secuil pun tentang kenakalan. Jadi, selama hampir dua jam, yang kami dengar hanya puja dan puji tentang perkembangan balita kami yang serba baik, awesome, menenteramkan hati orang tua.

Lha kok bisa? Mana ada anak sekolah tanpa kenakalan atau kejelekan? Kenapa hal tersebut tidak disampaikan kepada kami? Dari mana kami tahu jika anak-anak kami ternyata kurang ini, kurang itu, nakal di sini, nakal di situ? Dasar generasi manja.

Sebagai orang tua sok hipster, saya ingin dong laporan yang selengkap-lengkapnya tentang anak saya. Ingin sekali saat itu mulut ini melontarkan kritik akan kurikulum “anak serba benar”. Namun apa daya, daku dikelilingi para emak yang pasti beda pendapat.

Apalah aku ini, di depan satu emak (istri) saja hamba takluk, apalagi dikeroyok emak-emak satu sekolahan. Tahu sendiri kan betapa bahayanya emak-emak kumpul? apalagi kalau sampai nyanyi-nyanyi menggubah lirik lagu Jogja Istimewa.

Di tengah maraknya umat snob parenting, izinkan saya mengutarakan opini tentang ketidaksetujuan akan metode pendidikan generasi manja ini. Ingat, menyuarakan pendapat itu dilindungi undang-undang lho, Bunda. Benar atau salah, entah. Ngeyel dan debat untuk mempertahankan argumen juga dibolehkan oleh negara ini.

Wong Gusti Randa saja boleh kok ngotot sedemikian rupa di acara Mata Najwa. Saking ngototnya, kayaknya Gusti Randa cuma bisa kalah debat dengan Gusti Allah. Mosok saya nda bole

Di sekolah anak saya, dan di banyak Paud dan TK lainnya menganut paham “murid maha benar”. Guru tidak akan memarahi muridnya, apalagi menjewer, menyetrap, dan melempar penghapus seperti yang dulu pernah saya rasakan ketika nakal di kelas.

Mungkin karena mereka takut dituntut pidana oleh para orang tua yang maha kuasa saat ini. “Guwe bayar sekolah mahal, awas kalo macem-macem sama anak guwe. Guwe viralin mampus lo”.

Contoh nih, misal di kelas, anak saya nggak mau nurut saat pelajaran membaca dan malah nyanyi-nyanyi di kelas. Guru akan lapor ke saya: “Pak, putra Bapak sangat ekspresif dalam seni, dan sepertinya minatnya dalam menyanyi sangat tinggi. Saat teman-teman sedang pejaran calistung, putra Bapak justru menginginkan pelajaran menyanyi. Jadi mungkin nantinya bisa kami arahkan ke minat seni ya Pak.”

Whaaaaat, anak saya berisik di kelas tidak dimarahi? Batin saya terguncang. Saya pun lalu menjelaskan ke guru bahwa kalau harus dimarahi, ya dimarahi saja. Mana bisa orang tidak sesuai aturan kok malah dibiarkan. Namun apa daya, pendapat saya justru dianggap tidak sesuai dengan tren metode pendidikan masa kini.

Lalu, yang tidak saya setujui berikutnya adalah dihapuskannya rangking dalam rapot. Jadi semua murid adalah baik dan pintar. Hasil akhir tidak penting yang penting adalah proses. Camkan kalimat tersebut, Ferguso!

Jika murid jelek di satu bidang pelajaran, tidak masalah. Mungkin minat dan potensinya bukan di situ. Misalnya jelek matematika, tidak apa-apa, mungkin dia potensinya adalah olahraga, menjadi atlet. Lalu orang tua pun jadi permisif akan hal itu.

Tidak masalah jika anaknya kurang bisa mengikuti pelajaran tertentu dan meramaikan generasi manja. Pikiran seperti itu makin dimantabkan oleh postingan yang viral beberapa waktu lalu, yaitu “Surat dari Kepala Sekolah di Singapura”, bahwa anak tidak harus menguasai fisika jika kelak gedenya menjadi koki misalnya.

Lalu heboh dan viral di kalangan emak-emak, yang seperti mendapat pencerahan yang meng-iya-kan kekurangan anaknya di mapel tertentu. Apalagi bawa-bawa negara Singapura, entah itu betul atau hoaks, yang penting apa pun postingan yang menyatut hal-hal dari luar negeri adalah benar.

Buktikan saja di grup wasap keluarga Anda. Marak sekali copas artikel yang kalimatnya “Menurut penelitian profesor dari Amerika….” Atau “Riset dari dokter di Jepang bahwa…bla…bla..bla.”

Sungguh berkebalikan dengan sekolah kita dahulu di mana semua pelajaran harus kita lahap. Namun, nyatanya, diwajibkan mempelajari segala hal ada banyak manfaatnya.

Misalnya seorang penulis yang seharusnya cuma diwajibkan menguasai sastra dan bahasa, dikarenakan dulu sekolah dicekoki pelajaran kimia yang bangsat memusingkan, pada akhirnya mengetahui rumus tentang alkohol untuk bikin oplosan miras yang murah memperkaya materi tulisannya. Itu cuma salah satu kasus contoh, ya Bunda.

Saya justru takut generasi anak saya akan menjadi generasi manja dan tidak kompetitif karena mereka tidak pernah ditatar untuk bersaing mendapatkan posisi terbaik. Sejak kecil sudah ditanamkan jiwa “Gagal tidak apa-apa, yang penting punya pengalaman dalam berusaha.”

Bagaimana jika 15 tahun lagi murid-murid tersebut menjadi pemain bola dan dinaungi PSSI (jika masih ada). Lalu, karena dari kecil mereka sudah terbiasa tidak mementingkan hasil akhir dan rangking, timnas kita kalah mulu dan menempati peringkat dua terakhir di FIFA. Ya paling tidak harus masih di atas Timor Leste, masak kalah sama tim sepak bola yang dulu kelasnya cuma ikut PON di negara kita.

Lalu karena dari kecil sudah diajari untuk jujur dalam setiap proses, tiada lagi trik-trik diving seperti “yang maha ringkih” Filippo Inzaghi. Tidak mungkin lagi tercipta gol Tangan Tuhan seperti Diego Maradona karena hal tersebut adalah sebuah kecurangan dan dilarang oleh ayah bunda dan guruku.

Oh, sungguh membosankan tontonan sepak bola generasi manja kelak. Kalah tidak apa-apa yang penting main bola jujur dan bersih. Yang utama adalah prosesnya, latihan setiap hari, foto-foto sebelum pertandingan dan diposting emak-emaknya dengan caption “Mama nggak peduli apapun hasilnya, yang penting kamu sudah belajar dan menambah pengalaman baru dalam hidupmu.” Lha buat apa latihan keringatan tiap hari kalau cuma mau kalah, Mak?

Coba bayangkan juga gimana jika kelak anak-anak tersebut lalu punya argumen yang tepat kepada orang tuanya saat IPK-nya jelek. Mata kuliah itu tidak sesuai minat dan potensinya? “Kan aku ambil Jurusan Biola, Mak. Gapapa dong dapat nilai E kuliah Kewarganegaraan.”

Kemudian karena tidak terbiasa berkompetisi memperebutkan sesuatu dengan gigih, maka setiap gebetan yang diincarnya ditikung oleh orang lain yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan pujaan hatinya. Lalu ujung-ujungnya jomblo akut kayak kamu sekarang ini.

Exit mobile version