Sebelum KPI Eksis, Indonesia Punya Serial Drama Sejarah Sebagus Game of Thrones dan Sageuk

Serial drama sejarah selalu punya peminat, tapi pemirsa kini lebih akrab tontonan buatan Barat atau sageuk-nya Korea.

Sebelum KPI Eksis, Indonesia Punya Serial Drama Sejarah Sebagus Game of Thrones dan Sageuk

Sebelum KPI Eksis, Indonesia Punya Serial Drama Sejarah Sebagus Game of Thrones dan Sageuk

Indonesia pernah beberapa kali dilanda demam serial drama sejarah, terutama yang berlatar zaman kerajaan lampau. Tapi serial drama sejarah produksi negara mana yang paling disukai? Mana yang paling jadi favorit di antara produksi Tiongkok, Korea Selatan, India, Amerika/Eropa, maupun Indonesia yang pernah wira-wiri di televisi swasta atau tersedia layanan streaming-nya?

Pertanyaan itu yang ingin saya kulik pas bikin jajak pendapat kecil-kecilan di Twitter minggu ini. Dalam polling itu, saya bikin empat pilihan serial drama sejarah yang saya pikir paling akrab buat penonton Indonesia sekarang, yakni sageuk, Game of Thrones, serial drama sejarah India, dan serial silat Indonesia.

Sekilas tentang empat preferensi itu:

Sageuk menjadi salah satu opsi karena genre ini bagian dari Hallyu, gelombang dahsyat budaya pop Korea Selatan yang melanda Indonesia dalam 20 tahun terakhir, sebagaimana juga menyerbu banyak tempat lain sedunia. Seperti drama Korea Selatan umumnya, sageuk disambut sangat baik oleh publik Indonesia.

Perkenalan publik Indonesia dengan sageuk dimulai dari serial drama sejarah Dae Jang Geum atau Jewel in the Palace, berpemeran utama aktris legendaris Lee Young Ae. Di Indonesia, serial berlatar era Dinasti Joseon itu disiarkan secara nasional oleh Indosiar pada 2005 silam. Sepanjang penyiarannya, kisah koki-kemudian-tabib istana ini benar-benar menjadi favorit penonton Indonesia. Antusiasme penonton televisi Indonesia terhadapnya kurang lebih setara antusiasme terhadap salah satu pelopor kehadiran serial drakor di Indonesia, Endless Love alias Autumn in My Heart. Kalau yang ini disiarkan secara nasional di Indonesia pada 2002 sekaligus mengenalkan sosok Song Hye Kyo kepada pemirsa Indonesia.

Setelah kesuksesan Jewel in the Palace, berbagai serial sageuk pelanjutnya pun beroleh sambutan baik hingga menjadi favorit audiens. Contoh kiwarinya ya Mr. Queen yang tayang 2020 lalu. Episode-episodenya berisikan pembauran antara fantasi, romansa, komedi, trivia-trivia anakronistis disengaja, hingga tafsir non-konvensional perihal gender dan orientasi seksual. Sebagaimana terjadi di negara asalnya Korea maupun di berbagai negara lain, historiodrama—istilah yang ingin saya pakai untuk nyebut serial drama sejarah—berhasil pula memanen banyak perhatian. Masih terhitung sebagai contoh kiwari ialah Kingdom yang bergenre thriller, diperankan Ju Ji Hoon, Bae Doona, serta Jun Ji Hyun.

Game of Thronesyang lazim disingkat orang sebagai GoT—dijadikan opsi jawaban kedua dengan alasan khusus yang cenderung jelimet. GoT bukanlah historiodrama murni. Serial yang rilis pada 2011 dan tayang 8 musim ini lebih merupakan lakon fantasi-fabulasi, dengan latar tempat dan lini masa yang fiktif, tapi dunia yang diceritakannya, busana dan budaya masyarakatnya, hingga teknologinya, bolehlah dibilang sangat identik dengan Eropa semasa masa Medieval.

Rumus semacam ini juga bisa ditemukan dalam film layar lebar The Lord of the Rings yang beredar di bioskop-bioskop 2001-2003. Jadi, saya memasukkan GoT dalam polling karena nuansa visual yang dihadirkannya, bukan karena akurasi sejarahnya. Anggap aja GoT ini perwakilan serial yang menampilkan kultur Eropa masa kerajaan kuno yang dalam sekitar sedekade terakhir ini terbilang terpopuler.

Pilihan ketiga dalam polling adalah serial drama sejarah India yang start lebih awal ditayangkan di Indonesia dibanding sageuk. Interaksi serial historis India dengan audiens Indonesia bahkan sudah terjadi sejak medio 1990-an. Ada dua pelopor historiodrama India dengan model lakon bersifat fantasi-fabulasi mirip GoT, yakni Mahabharata (versi 1988-1990) dan Ramayana (versi 1987). Pelopor nomor tiganya benar-benar bersifat historiodrama dan bahkan biopik, yaitu Chanakya (versi 1991).

Tiga serial tadi disiarkan di Indonesia pada medio 1990-an oleh TPI (kini MNC TV) ketika stasiun televisi itu masih dimiliki oleh Mbak Tutut. Lalu, sejak 2014, sejumlah historiodrama India beberapa kali pula menyapa pemirsa Indonesia. Dua contohnya adalah Ashoka dan Jodha Akbar yang pernah membuat remote TV di rumah-rumah Indonesia dimonopoli satu pihak. Kini stasiun yang rajin memutar historiodrama India adalah ANTV.

Pilihan keempat dari polling ialah serial sinetron silat Indonesia. Dari dekade 1990-an, serial jenis ini tetap saja ada yang wira-wiri di layar televisi. Puncak keemasannya memang sudah lewat, telah terjadi pada medio 1990-an hingga awal 2000-an. Beberapa sinetron seri silat Indonesia yang masih diproduksi dalam 10-15 tahun terakhir bisa dibilang mutunya kalah dibanding pendahulunya dari sekitar 25-20 tahun silam.

Jajak pendapat itu berlangsung hampir seharian, dengan 293 pemilih. Suara terbanyak, 34 persen, paling tertaut pada sageuk. Peringkat kedua diduduki penyuka serial GoT—dan mestinya juga historiodrama ala Eropa—dengan 32 persen suara. Peminat serial silat Indonesia menempati posisi tiga dengan 27% suara. Sedangkan mereka yang memilih serial historis India tercecer paling belakang, cuma mengumpulkan 7 persen suara, mungkin karena polling-nya diadakan di Twitter sementara penggemar serial India berkumpul di Facebook.

Menemani polling sederhana tadi, saya juga bertanya apa judul serial drama sejarah favorit teman-teman saya di Twitter. Nggak bakal saya sebutin di sini semua jawabannya, intinya beberapa mirip dengan polling tadi.

Dalam jawaban tersebut, judul-judul sageuk bertebaran. Antara lain, Queen Seondeok, Dong Yi, Six Flying Dragons, Moon that Embraces the Sun, juga The Nokdu Flower. Historiodrama produksi maupun berlatar Eropa dan Amerika tak kurang pula banyaknya: Spartacus, Rome, The Crown, The Last Czars, Vikings , serta De Oost.

Lalu, ada satu historiodrama Indonesia dari jelang akhir 1990-an yang disebut sampai beberapa kali. Menariknya banyak juga sodoran judul historiodrama produksi Tiongkok, Jepang, dan Turki, semacam Story of Yanxi Palace, Tenno Ryoriban, dan Muhtesem Yuzyil.

5 serial drama sejarah Indonesia terbaik pada masa jayanya

Di antara teman-teman yang merespon pertanyaan saya tentang historiodrama favorit, ada beberapa orang melontarkan harapan agar Indonesia bisa memproduksi historiodrama yang keren cerita maupun pernik-pernik akurasi kesejarahannya. Sekilas saya tangkap, mereka merasa Indonesia memiliki kekayaan sejarah tentang kerajaan-kerajaan kuno dari berbagai pulau. Keren di sini paling nggak sekualitas lah sama sageuk dan historiodrama kiwari Hollywood dan Barat. Hehehe.

Mereka yang baru lahir setelah 1998 memang tak melewati tahun-tahun kejayaan historiodrama Indonesia.

Sebenarnya dari 1990-an hingga awal 2000-an, historiodrama Indonesia lazim saja menampilkan para aktor yang banyak bertelanjang dada dan para aktris yang sekadar berkemben. Sekuen-sekuen adegannya bisa dinikmati seleluasanya, termasuk adegan laga yang menampilkan efek tiruan semburat darah dan semacamnya. Belum ada namanya kemuncukan efek blur atau pixelisasi sebagaimana digariskan KPI beberapa tahun terakhir untuk apa-apa yang dinilai tidak memenuhi kaidah kesopanan Timur, juga yang dianggap terlalu sadis.

Mutu historiodrama Indonesia tahun-tahun itu berani deh diadu dengan apa yang kini disajikan oleh sageuk serta aneka historiodrama mancanegara lainnya. Beberapa bahkan tak sungkan melibatkan adegan-adegan kolosal. Contohnya, ketika berkisah tentang peristiwa pertempuran. Berbagai adegan laganya tertata, melibatkan efek ledakan-ledakan dan berjalan di udara, tapi yang paling ikonik bagi saya adalah efek kibasan selendangnya yang digambarkan bisa menggelempangkan lawan.

Mau nggak mau saya harus mengungkit nostalgia. Dari periode itu saya mengingat paling tidak ada lima historiodrama buatan Indonesia yang bermutu oke. Dalam adegan-adegannya ditanggung tidak ada kemunculan sosok anakronistik berkostum Batman atau tokoh yang melakukan sesi product placement secara maksa itu.

Singgasana Brama Kumbara

Historiodrama ini merupakan adaptasi layar yang kesekian kali atas sandiwara radio Saur Sepuh. Cerita ini berkisah tentang sebuah kerajaan fiktif bernama Madangkara yang dipimpin raja sakti bernama Brama Kumbara. Madangkara digambarkan terletak di salah satu tempat di Jawa. Secara lini masa, Madangkara digambarkan eksis pada masa yang sama dengan Majapahit serta Sunda yang di lakon ini disebut sebagai Pajajaran. Historiodrama Singgasana Brama Kumbara tayang 47 episode di ANTV dengan Anto Wijaya sebagai pemeran Brama.

Banyak anak muda tak merasakan lagi betapa legendarisnya cerita Saur Sepuh. Bayangkan saja, antara 1987-1992, kisah ini diadaptasi dalam lima film layar lebar, dibintangi Fendy Pradana sebagai Brama. Lalu, sebelum Singgasana Brama Kumbara tayang, Saur Sepuh juga pernah diproduksi sebagai sinetron pada 1992 dengan George Rudy memerankan Brama. Sinetron Saur Sepuh tayang 78 episode di TPI.

Kaca Benggala

Historiodrama ini juga adaptasi sandiwara radio dengan titel persis sama. Latar tempat dan waktunya adalah Jawa bagian tengah, medio abad XVI atau tahun 1500-an, berkisah sekitar peralihan kekuasaan dari Pajang kepada Mataram Islam. Kaca Benggala diproduksi pada 1994 dan tayang sekitar setahun atau 52 episode via TPI yang sekarang dikenal sebagai MNC TV. Bintang-bintangnya antara lain Adjie Pangestu, Meriam Bellina, Advent Bangun, dan Irgi Fahrezi.

Mahkota Mayangkara dan Mahkota Majapahit

Historiodrama ini semacam dwilogi yang sama-sama berkisah tentang Majapahit pada awal abad XIV atau tahun 1300-an. Dihadirkan di dalamnya penggambaran aneka intrik politik era Maharaja Jayanegara yang berpuncak pada aksi pemberontakan Ra Kuti dan Ra Semi. Dua historiodrama ini merupakan rangkaian adapatasi dari sandiwara radio Mahkota Mayangkara. Para pemeran keduanya nyaris sama, antara lain Agus Kuncoro, Yurike Prastika, Gusti Randa, dan Cut Keke.

Mahkota Mayangkara tayang sebanyak 52 episode pada 1993 di TPI, sedangkan Mahkota Majapahit yang adalah lanjutannya tayang di RCTI dalam 28 episode.

Tutur Tinular

Pertama, Tutur Tinular adalah sandiwara radio yang diputar sepanjang 1980-an hingga 31 Desember 1990. Kedua, ia diadaptasi menjadi empat film layar lebar, tayang antara 1989 hingga 1992. Ketiga, ia dibuatkan serial historiodramanya pada 1997 via kanal ANTV dan lalu disambung tayang di Indosiar pada musim selanjutnya. Yang ketiga ini adalah gabungan adaptasi cerita sandiwara radio Tutur Tinular dan Mahkota Mayangkara.

Historiodrama Tutur Tinular boleh dibilang adalah puncak dari penggarapan historiodrama di Indonesia sampai sekarang. Dari segi cerita, kita akan menemukan visualisasi kisah keruntuhan Singhasari hingga masa awal berdirinya Majapahit. Dari segi kisah romansa, kita akan dibuat ikut merasa perih dengan kisah kemalangan cinta pendekar Arya Kamandanu, yang setiap memiliki kekasih selalu direbut oleh kakaknya sendiri, Arya Dwipangga, seorang “luwak” berpenampilan penyair.

Syuting Tutur Tinular versi 1997 sampai dilakukan di Tiongkok demi bisa mengambil penggambaran negeri itu semasa di bawah pemerintahan Kubilai Khan. Secara detail kostum maupun bangunan-bangunam pun terbilang mampu menyajikan atmosfer Jawa akhir 1290-an. Para pemerannya terdiri dari Anto Wijaya, Agus Kuncoro, dan Murti Sari Dewi.

Oh ya, Kaca Benggala, Mahkota Mayangkara, dan Tutur Tinular bersumber dari naskah cerita yang digarap oleh sosok penulis bernama Stanislaus Tidjab atau lebih dikenal sebagai S. Tidjab. Pria kelahiran 1946 ini telah meninggal pada 2019 lalu. Sebagai penulis karya cerita berlatar historis, namanya mungkin tak setersohor novelis Pramoedya Ananta Toer, Y.B. Mangunwijaya, Arswendo Atmowiloto, Iksaka Banu, dan Langit Kresna Hariadi. Namun, untuk orang-orang yang berkenan meluangkan waktu mencermati karyanya, naskah garapan S. Tidjab bisa disebut kombinasi pas antara dramatisasi dan kedisplinan sumber sejarah. Orang ini merupakan penulis fiksi berlatar sejarah yang underrated bagi generasi kiwari. Ah, andai saja naskah-naskah sandiwara S. Tidjab dihadirkan ke dalam format novel yang layak, semisal untuk Tutur Tinular saja, generasi kiwari bakal mendapat contoh karya sastra berlatar sejarah yang dapat ditandingkan dengan karya-karya lima penulis tersohor yang saya sebut tadi.

Dalam hal mengapresiasi S. Tidjab, saya rasanya perlu mengutip obrolan saya dengan seorang kenalan bernama Irfan Yusuf di Twitter. Sewaktu saya bilang Tutur Tinular-nya S. Tidjab layak disebut sebagai Game of Thrones versi Jawa, ia menambahkan satu komentar: “S. Tidjab melampaui masa.” Saya nggak bisa lebih sepakat lagi.

BACA JUGA Cinta Tujuh Lelaki Kalah dalam Sejarah Peradaban Menye-menye dan esai Yosef Kelik lainnya.

Exit mobile version