Seandainya Semua Anak Perempuan Tahu Seberapa Besar Cinta Seorang Ayah

Tak ada satu pun teori feminis atau perspektif gender yang mampu menggugurkan fakta bahwa seorang ayah pasti pernah punya perasaan protektif terhadap anak perempuannya.

MOJOK.COSeorang anak perempuan bisa disakiti oleh lelaki manapun, tapi lelaki yang satu ini, ayahnya, selalu punya cinta.

Kendati “The Iron Lady” Margaret Thatcher begitu digdaya, Megawati begitu disegani, atau Tri Rismaharini tidak punya urat takut untuk marah-marah, tetap saja di mata ayah-ayah mereka, mereka adalah seorang anak, their little girl.

Tak ada satu pun teori feminis atau perspektif gender yang mampu menggugurkan fakta biologis tersebut. Ruang advokasi untuk itu tak punya celah untuk diterobos apalagi dihapuskan. Semua teori tentang feminisme dan advokasi tuntutan untuk menghapus fakta tersebut akan mengapung di ruang hampa udara.

Fakta qat’i (pasti dan tak membuka kemungkinan tafsir dan takwil) tersebut hanya bisa dikembangkan kualitas relasinya, tanpa bisa diubah aktanya.

Beberapa tahun lewat, jelang makan siang, saya bergegas ke kampus anak sulung perempuan saya dengan motor. Memakai celana pendek hitam, kaos dan baju hitam, dengan rambut gondrong yang saya biarkan tergerai. Casual sekali.

Kami janji untuk makan siang di kantin kampusnya. Masuk ke kantin, anak saya, perempuan tertua dari tiga orang anak, melambaikan tangan dari sebuah meja. Dari posisinya saya dikejutkan sesuatu.

Astaga, dia tidak sendirian! Ada beberapa teman kuliahnya yang ikut bersama. Barang tentu saya terkejut, karena saya pikir ini cuma pertemuan ayah dan anak yang mau makan siang sambil ngobrol. Haaakok, malah bawa massa?

Rupanya mereka punya rencana untuk mendiskusikan satu kegiatan yang akan mereka selenggarakan. Anak saya menawarkan teman-temannya untuk berdiskusi dengan saya. Teman-temannyalah yang paling banyak bertanya dan menanggapi pikiran-pikiran saya. Sementara anak saya hanya mengumbar senyum, tak banyak bicara.

Beberapa kali kejadian nyaris serupa terjadi. Sebagai ayah yang membuka diri terhadap pembicaraan apapun, bahkan menyediakan diri untuk dikritik, barang tentu saya sedikit khawatir kalau anak saya tidak merasa bebas untuk berkomunikasi dengan orang tuanya.

Apakah dia merasa susah berkomunikasi dengan saya? Apakah dia punya kendala psikologis tertentu dalam mengungkapkan apa yang ingin dia sampaikan?

Seabrek pertanyaan berjejal di kepala saya. Saya adalah orang yang terbuka dan tidak merasa mempunyai kendala apapun dalam berkomunikasi. Saya akan merasa gagal sebagai orang tua bila semua kekhawatiran itu benar-benar terjadi.

Saya lalu membicarakan semua kekhawatiran itu ke ibunya. Seperti sudah saya duga, ibunya bilang: “Kakak itu kagum dan bangga banget sama kamu. Mungkin itu yang menjadi hambatannya untuk menyampaikan pikirannya sendiri.”

Tidak ada yang salah bila anak kagum dan bangga pada orang tuanya. Itu normal. Apalagi bagi seorang anak perempuan, ayah adalah lelaki pertama dan cinta pertama dalam hidupnya. Baru menjadi masalah bila kekaguman itu membuatnya jadi tidak bisa bicara atau—kalaupun bicara, hanya untuk hal-hal yang tidak penting.

Saya concern pada komunikasi berkualitas, apapun bentuknya. Dan saya orang tua yang selalu berpikir, selain menjaga dan mengurus garis biologis, tugas orang tua kepada anaknya adalah tugas mempersiapkan dan membangun peradaban. Sejahat apapun kekuasaan politik akan merusak peradaban, anak-anak saya tidak boleh takluk.

Tapi saya sadar, karena pekerjaan, saya lumayan sering tidak berada di rumah untuk beberapa saat, justru saat usia anak masih sangat belia. Saya sering meninggalkan rumah sampai berhari-hari, bahkan pernah beberapa bulan.

Mungkin ada banyak orang tua yang menganggap hal itu wajar. Namanya juga tuntutan hidup dalam mengumpulkan sabetan. Tapi di mata, pikiran, dan perasaan anak-anak, absennya orang tua dari hadapan mereka adalah hal yang tidak bisa diterima.

Di sinilah kesalahan orang tua paling umum terjadi. Dan dari sini saya akan memulai memperbaiki relasi saya dengan anak perempuan yang sekilas tampak baik-baik saja itu.

Anak perempuan saya bukan aktivis seperti saya. Dia anak yang suka belajar, membaca buku, berdiskusi, lihat acara seni dan nonton film, juga suka jalan-jalan.

Saya pinjamkan buku-buku yang relevan dengan kuliahnya, saya ajak ke diskusi dan bertemu dengan teman-teman dekat saya, supaya ia mengenal dunia saya lebih dekat. Kita makan dan nonton film bersama, tentu sambil ngobrol-ngobrol.

Kalau dia merasa sedikit bosan dengan rumah kosnya, dia menginap di rumah saya dan saya masak makanan kegemarannya. Dan pasti akan lebih banyak obrolan.

Momen-momen terpenting dalam obrolan kami, acap saya mulai dengan cerita-cerita masa kecil saya. Yang utama adalah pengakuan atas kesalahan-kesalahan saya terhadap anak-anak. Dengan tulus saya minta maaf.

Saya kira saya bisa memecah kebekuan itu, melakukan ice breaking. Anak perempuan saya bukan cuma sudah lancar menjadikan saya lelaki pertama tempat dia mencurahkan semua kegalauan dan pikiran, dia sudah berani ngomelin saya atau bersikap kritis terhadap saya.

Tapi keberanian itu terus bergerak ke arah yang mungkin—buat banyak orang tua—sama sekali tidak diharapkan. “Yah, aku tidak menikah ya? Aku mau adopsi anak, anak perempuan kalau bisa, dari anak korban bencana.”

Duar! Orang tua mana yang tidak ingin punya cucu?

Tapi saya sepenuhnya sadar menikah dan punya anak bukan perkara remeh. Itu keputusan besar yang bisa mengubah kehidupan seseorang. Dan masing-masing orang dewasa harus dihormati untuk memilih keputusan hidupnya. Saya juga tidak ingin bila kelak di kemudian hari masalah ini menjadi pemicu persoalan antara saya dan anak saya.

Anak perempuan saya sudah dewasa. Dia berhak menentukan pilihan hidupnya. Sebagai orang tua saya selalu bersedia diajak berdiskusi dan memberi pandangan. Selebihnya dia yang memutuskan dengan kesadaran dan pertimbangan penuh.

Apakah lalu saya lepas tangan bila dia kemudian datang meminta bantuan atau dukungan dalam menghadapi persoalan setelah ia menentukan sebuah keputusan?

Seorang anak perempuan bisa disakiti oleh lelaki manapun, tapi lelaki yang satu ini, ayahnya, selalu punya cinta. Karena itulah tak satu lelaki pun bisa menyaingi cinta ayah terhadap anak perempuannya.

Kini anak saya menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi. Ketika di mana-mana mahasiswa akan bergerak turun ke jalan menentang pelemahan KPK, termasuk di kampus tempatnya mengajar, dia membuat pengumuman bahwa hari itu ia meliburkan mahasiswa dari kuliahnya.

Mahasiswa dipersilakan berdemonstrasi menyampaikan aspirasi, sambil menitipkan pesan agar hati-hati dan menjaga keselamatan. Pernyataan itu dia tuliskan juga di laman media sosialnya.

Dia bukan seorang aktivis. Bukan. Dia seorang anak perempuan yang sangat tahu betapa ayahnya sangat mencintainya.

BACA JUGA Apa Salah dan Dosa Perempuan Edgy atau tulisan Saleh Abdullah lainnya.

Exit mobile version