Menempuh pendidikan pascasarjana di masa pandemi memang pengalaman menarik, apalagi pas bikin tesis. Beda banget jika dibandingkan ketika saya memperoleh gelar sarjana belasan tahun silam. Yah, pada dasarnya, kuliah ketika sudah menyandang status bapak tentu berbeda dengan saat masih bujangan nggak laku.
Dulu, galau muncul kalau SMS nggak dibalas gebetan, sekarang galaunya kalau dapat WhatsApp dari bank mengingatkan kalau cicilan KPR belum dibayar. Dulu, kuliah sambil antar, jemput, lalu makan bareng jodoh orang, sekarang sambil bermain dan nyuapin anak.
Pada mulanya, saya ngebayangin akan bikin tesis paling mutakhir, sesuatu yang “wah”. Apalagi, saya menempuh pendidikan pascasarjana dengan bantuan beasiswa. Saya dapat dana yang lebih dari cukup untuk bikin tugas akhir sebagus mungkin.
Apa daya, dengan bantuan candaan para pejabat di awal kehadirannya, infeksi SARS-CoV-2 sukses mengubah tatanan dunia. Tentu saja termasuk menggeser perspektif saya tentang tesis.
Ingat, mau namanya tesis, tugas akhir, skripsi, sampai disertasi, ia hanya akan bisa disebut baik ketika diselesaikan. Sekali lagi, tesis yang baik adalah tesis yang selesai.
Ada satu “keunggulan” tesis di masa pandemi, setidaknya di kampus saya, yakni tidak perlu mengumpulkan print out sama sekali. Bahkan sampai tahap akhir, format tugas akhir yang dikumpulkan adalah pdf. Berkaca dari skripsi saya dahulu kala yang sangat boros kertas, kebijakan semacam ini sangat menyenangkan.
Dan sebenar-benarnya saya bisa bilang kalau saya sama sekali tidak pernah mencetak satu lembar pun bagian dari tesis dalam proses menyelesaikan pendidikan pascasarjana. Pohon-pohon pasti bangga, entah kalau taipannya.
Hemat kertas, sudah. Tahap kedua, yang perlu dikondisikan, adalah penelitian tanpa harus keluar rumah. Tentu cara saya ini tidak bisa dilakukan mahasiswa pascasarjana di semua jurusan. Namun, saya mencoba memberi insight betapa media sosial menyediakan data berlimpah. Jika tidak malas merangkainya, tentu akan menjadi sebuah penelitian menarik.
Pilihan yang saya ambil adalah menganalisis konten media sosial berikut komentar-komentar yang menyertainya. Dalam perspektif administrasi publik, media sosial pemerintah bisa disebut sebagai bagian dari e-government dan komentar-komentar “netizen yang selalu benar” adalah bagian dari citizen engagement. Sudah dua teori besar administrasi publik yang terlibat dan sudah sangat cukup untuk menjadi sebuah tesis.
Metode penelitian yang saya gunakan adalah mixed method. Jadi, data dari media sosial dianalisis terlebih dahulu secara kuantitatif, kemudian diperdalam dengan kualitatif melalui wawancara. Tadinya malah cuma mau kuantitatif saja. Namun, saat sidang proposal, bapak dosen penguji memberi tantangan untuk menambahkan elemen wawancara itu.
Terlepas dari semakin sulitnya mengambil data di media sosial, terutama sejak kejadian Cambridge Analytica pada Facebook, selalu ada cara untuk memperoleh data yang diharapkan.
Ketika kondisi hampir mentok, tinggal masuk ke YouTube dan mengetik kebutuhan kita. Saran saya: pakai Bahasa Inggris. Di situ kita akan menemukan begitu banyak mas-mas India menawarkan solusi pada berbagai kebutuhan kita, terutama yang terkait dengan penggunaan aplikasi komputer, sudah termasuk bahasa pemrograman.
Satu-satunya kesempatan saya keluar uang yang spesifik untuk tesis adalah ketika membayar sekitar 8 dolar Amerika pakai PayPal untuk sebuah dataset aktivitas sebuah akun media sosial pemerintah. Jadi, saya berani menyebut Rp120 ribu rupiah sebagai biaya tesis karena memang hanya itulah duit yang dikeluarkan spesifik untuk data penelitian.
Terutama bagi mahasiswa pascasarjana, baik yang dibiayai beasiswa seperti LPDP maupun beasiswa kantor. Ada nominal yang terbilang cukup untuk digunakan sebagai biaya penelitian, berkisar belasan hingga puluhan juta. Yang menggemaskan adalah selalu saja ada pemikiran bahwa pagu tersebut adalah hak yang kudu dioptimalkan.
Jadi, jangan heran kalau ada saja mahasiswa yang dapat pagu Rp20 juta, misalnya, akan membuat pengaturan sedemikian rupa sehingga proposal penelitiannya akan mepet-mepet segitu. Pada titik ini, penanggung biaya tentunya memiliki tanggung jawab.
Untuk beasiswa seperti LPDP, ada ketentuan yang cukup rigid bahkan sampai level komponen sehingga biaya yang dimintakan harus benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Nah, model kontrol semacam ini belum tentu ada di beasiswa dari kantor pemerintah, misalnya.
Di grup WhatsApp pasti sering melintas Google Form penelitian, mulai TA, skripsi, tesis, sampai disertasi. Sesekali ada yang menggunakan pancingan berupa saldo e-wallet yang diundi. Nah, duit-duit penarik responden begini kadang menjadi bagian yang diklaim kepada institusi penanggung biaya. Walau begitu, ada saja sponsor yang belum mengakomodasi elemen ini sehingga kalau harus dipasang sebagai biaya, tentu jadi tanggungan mahasiswa.
Untuk wawancara, saya memasrahkan pada birokrasi seutuhnya. Iya, saya menyebar surat ke sejumlah instansi pemerintah yang relevan melalui surat elektronik dan berharap ada respons. Pada akhirnya, sejumlah kantor berkenan memberi umpan balik dan bahkan memberikan kesediaan untuk diwawancara pakai Zoom. Mengingat yang wawancara adalah saya dan narasumber alias ada dua pengguna doang, jadi ya tidak sampai 40 menit dan berarti tidak perlu mengeluarkan sejumlah uang untuk langganan Zoom.
Kebetulan pula, saya membutuhkan perspektif influencer sebagai data kualitatif. Maka, ya dengan menghilangkan segenap rasa malu, saya kirim DM panjang-panjang minta tolong ke sejumlah influencer dan kok ya syukurlah ada beberapa yang memberikan tanggapan.
Kalau ada yang tidak merespons? Ya, nasib. Kantor pemerintah, ada. Influencer malah lebih banyak lagi. Makanya, metodenya disusun sedemikian rupa sehingga tantangan yang ada bisa dikelola dengan baik.
Untuk pengolahan data kualitatif, karena nggak punya duit untuk mengakses aplikasi seperti NVivo, saya memilih untuk menggunakan R for Qualitative Data Analysis (RQDA) yang notabene berbasis R alias gratis-tis-tis. Tantangannya hanya dalam proses instalasi. Berkat kombinasi mas-mas bule dan mas-mas India di YouTube, saya sukses mempelajari RQDA. Hal yang sama juga berlaku dengan analisis statistik, yang juga menggunakan R. Gratisan memang menyenangkan.
Jadi, selain biaya listrik dan internet yang pada dasarnya adalah pengeluaran rutin rumah tangga, serta sesekali teh kekinian yang lebih banyak es batu daripada airnya sebagai pelepas stres, uang yang saya keluarkan untuk menghasilkan tesis benar-benar hanya 8 dolar. Tidak ada yang lain.
Saya sendiri baru menyadari hal tersebut ketika hendak coba-coba membuat proposal biaya penelitian kepada pengelola beasiswa begitu penelitian selesai. Dan nyatanya, dengan modal segitu, nilai tesis saya sebagaimana tertulis di berita acara sidang kemudian adalah A bulat.
Tulisan ini tentu tidak ingin menggeneralisasi seluruh tugas akhir di pascasarjana. Teman-teman yang butuh data di laboratorium atau survei di jalanan juga memiliki penelitian yang keren dan otomatis butuh dana. Tulisan ini hanya ingin mengajak teman-teman yang lagi gamang dalam mengerjakan tesis tapi terkendala duit atau takut pergi-pergi karena takut Covid-19 agar bisa memperoleh ruang-ruang yang memungkinkan untuk mendapatkan data, menghasilkan analisis, dan pada akhirnya membuahkan tugas akhir yang tetap ciamik dan berdaya ungkit.
Ngomong-ngomong, saya mau usul satu penelitian murah tapi pasti keren. Coba, deh, ada mahasiswa yang membuat analisis regresi atau korelasi antara jumlah perundungan yang diterima oleh koruptor di media sosial dan durasi hukuman yang kemudian diperolehnya dari hakim. Kita pasti tertawa-tawa saat mengumpulkan variabel independen berupa komen netizen, tetapi naik darah saat melihat variabel angka hukuman.
BACA JUGA 4 Tips dari Dosen UGM agar Skripsi Cepat Selesai dan tulisan menggelitik lainnya di rubrik ESAI.