Revolusi Memang Harus Dimulai dari Jonru dan Buni Yani

Jonru-Revolusi-MOJOK.CO

[MOJOK.CO] “Pelajaran dari para cebong dan kamvret yang terjerat UU ITE: lampaui kubu-kubuan politik, bentuk kesadaran kelas. Revolusi!”

“Allahuakbar! Allahuakbar! Revolusi! Revolusi! Revolusi!” teriak Buni Yani saat vonis dijatuhkan di ubun-ubunnya.

Banyak orang tertawa. Barangkali termasuk Anda. Padahal, bisa jadi apa yang diteriakkan Buni Yani itu benar adanya. Sangat mungkin revolusi untuk membela martabat kaum proletar harus dimulai dari dirinya.

Kemarin, teriakan takbir yang tak kalah kerasnya digemakan Jonru. Dengan gagah dan tangan teracung ke angkasa, Jonru Sang Pembela Islam meneriakkan takbir. Garang sekali. Memesona sekali.

Selama ini massa buih cenderung silap tiap kali mencermati segala adegan politik. Pertentangan antara kaum cebongs dan kaum kamvrets selalu merampas logika kita, mengaburkan cara pandang kita, membuat kita cenderung menyederhanakan masalah menjadi sebatas cebongs dan kamvrets belaka.

Maka, ketika ada orang ditangkap karena tuduhan pelanggaran UU ITE, karena delik fitnah atau ujaran kebencian, selalu rumus inilah yang diyakini: “Kalau cebong ya pasti selamat. Tapi, kalau antum berjuang membela agama dan berani mengkritik penguasa, jelas akan dibabat!”

Benarkah begitu?

Bisa jadi ada benarnya. Bagaimanapun yang namanya rezim memang punya kuasa, dan secara naluriah mereka berusaha mengamankan kekuasaannya. Itu sudah fitrah kekuasaan.

Namun, mari coba ambil sudut pandang lain, dengan melihat kasus-kasus yang terjadi belakangan ini. Untuk sementara, abaikan dulu logika hukumnya, alasan-alasan yang mendasari kenapa seseorang terhukum, dan kenapa orang lain lepas dari jeratan hukum. Lihat saja realitas dan peta modal sosial masing-masing tokoh.

Kita mulai dari Viktor Laiskodat. Dia dituntut dengan tuduhan pencemaran nama baik. Lalu sampai sekarang gimana nasibnya? Disidang dan dipenjara? Nggak. Katanya sih masih menunggu Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan. Sampai kapan? Nggak jelas.

Apakah penunda-nundaan itu dilakukan karena dia cebong? Bisa jadi. Tapi, coba lihatlah dulu siapa itu Viktor. Dia seorang petinggi partai, orang DPP Nasdem, politisi senior yang juga pernah berkiprah di partai sebesar Golkar. Di belakangnya ada Surya Paloh, salah seorang lelaki paling perkasa di negeri ini. Pendek kata, Viktor bukan sembarang orang.

Bandingkan dengan Eggi Sudjana. Dia dilaporkan dengan tuduhan menyebarkan ujaran kebencian dan menista agama-agama non-Islam. Bagaimana nasibnya sekarang? Masih merdeka, tidak ada yang mampu menyentuhnya. Dan ini bukan kasus hukum pertamanya yang berakhir santai seperti ini. Padahal Eggi jelas bukan cebong!

Meski Eggi bukan cebong, lihatlah siapa Eggi. Buka saja Wikipedia, pahami, dengarkan juga info-info belakang layar tentang pria ini, lalu sadarilah bahwa Anda perlu berdoa agar seumur hidup tak pernah punya masalah dengan orang bernama Eggi Sudjana.

Cermati, baik Viktor maupun Eggi sama-sama lenggang kangkung. Padahal keduanya berbeda dalam afiliasi politik, to? Satu cebong, satu lagi kamvret. Mereka aman karena balungan yang kokoh. Itu saja.

Menjadi cebong bukan jaminan aman. Kasus Otto Rajasa bisa jadi contoh nyata. Dia jelas cebong, pernah diundang makan ke istana, dan kemarin juga nongol di urutan ke-6 dalam daftar “Cebong Produser Hoax” versi kamvrets.

Sekian bulan silam, Otto dituduh pula melakukan penistaan agama. Sebagai cebong, apakah dia selamat? Nyatanya tidak. Otto kena vonis dua tahun penjara di Balikpapan sana. Tuh, padahal dia cebong! Tapi karena dia cuma dokter biasa, tidak punya kekuatan politik apa-apa, saudagar kaya bukan, tokoh mafia bukan, ya tumbanglah dia.

Nah, sekarang, gimana dengan Buni Yani? Gimana dengan Jonru? Apakah keduanya dicokok dan tampak tak berdaya semata karena mereka kamvret?

Sik to, Mas. Saya tanya dulu: Buni Yani itu siapa sih? Tokoh politik bukan. Pentolan ormas bukan. Kekayaan segudang tak punya, massa pengikut tiada. Kalau toh belakangan dia mendapat award sebagai Pahlawan Islam Medsos, itu mah ibarat sebatang lolipop buat ayem-ayem hiburan saja dari orang-orang di sekitarnya. Lagi pula banyak aktivis Islam yang menolak perannya sebagai pemantik 212, sebab ide 212 kata mereka sudah digagas sebelum beredarnya video editan Pak Buni.

Jonru lebih mendingan dibanding Buni Yani. Sebab Jonru punya follower jutaan. Pertanyaannya, betulkah jumlah follower yang jutaan itu bisa berfungsi sebagai modal sosial? Hehehe, di situ masalahnya.

Menurut saya, Jonru terlalu dimabuk khayalan. Ia mengira dua juta follower-nya setara dengan jamaah. Di sinilah brengseknya Facebook dan Twitter. Istilah follower begitu menjebak dan meninabobokan. Seolah kalau Jonru bersabda, dua juta akun tadi akan mengikutinya. Lah namanya juga follower, pasti ikut kata imam, dong! Begitu dia kira.

Padahal, realitasnya tidak demikian. Di antara dua juta itu, siapa yang benar-benar fans Jonru? Jelas tidak semua. Lha contohnya saya, saya ini juga follower Jonru lho! Hahaha. Sebab saya memang ingin mencermati postingan-postingan dia sebagai fenomena.

Dalam posisi saya di hadapan Jonru, istilah follower lebih dekat maknanya ke subscriber, bukan ke jamaah. Dan saya yakin, ada ratusan ribu follower Jonru yang posisinya sama dengan saya.

Taruh kata, yang fans Jonru beneran cuma satu setengah juta. Itu tetap banyak. Lantas apakah para fans itu akan bergerak kalau dikomando Jonru? Wkwkwk, ngimpi. Mereka maksimal cuma tukang like, tukang ribut membalas komen para cebong di akun Jonru, atau maksimal ikut membeli dagangan seprai di situ. Itu saja. Itu saja.

Dari satu setengah juta itu pun, yang akun beneran ada berapa?

Saya sendiri termakan tipuan imaji soal jumlah follower itu. Follower saya tiga bulan lalu ada 44 ribu. Tiba-tiba jumlah itu terus merosot dengan sangat cepat, hingga 38 ribu, dan sampai sekarang pun terus merosot.

Sempat saya bertanya ke pakarnya, apakah ada orang membajak akun saya atau gimana? Ternyata tidak. Yang sesungguhnya terjadi, dari keseluruhan follower kita, rata-rata 25% merupakan akun palsu. Itu menurut Facebook sendiri. Secara acak dan berkala Facebook membersihkannya, dan kali ini saya kena gilirannya.

Pendek kata, Jonru itu cuma GR dan tak tahu diri, mengira dirinya orang hebat dan kuat, padahal dia bukan siapa-siapa. Maka ketika hukum menjeratnya, kehebatan yang dia khayalkan itu terbukti ilusi belaka.

Jadi, ini sudah persoalan siapa yang kuat di hadapan hukum dan siapa yang tidak. Jargon equality before the law pada praktiknya toh sekadar mitos. Orang-orang tertawa ketika pada kampanye Pilpres 2014 salah satu cawapres berkata: “Jangan sampai hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.”

Konon, orang tertawa karena ingat kasus anaknya si cawapres yang menabrak orang hingga tewas dan hukuman untuknya nggak begitu jelas. Mau jelas gimana, anaknya cawapres! Tokoh politik hebat! Pengusaha kaya raya pula!

Maka, kesimpulan saya jelas. Semua peta kasus hukum ini terbentuk sama sekali bukan karena dikotomi cebongs vs kamvrets. Melainkan karena ada sosok-sosok kuat yang selamat dan ada sosok-sosok lemah yang di hadapan hukum tampak sekarat.

Dengan begitu, solusinya adalah melupakan dikotomi cebong-cebongan dan kamvret-kamvretan, kemudian lebih berfokus kepada kesadaran kelas. Baik Jonru, Buni Yani, Otto Rajasa, dan mungkin sebentar lagi Joshua Suherman dan Ge Pamungkas, harus bergabung bersama dalam front “Proletar Hukum”.

Mereka harus bersatu padu, melupakan perbedaan afiliasi politik, dan bersama berjuang melawan barisan “Borjuis Hukum” yang berisi Viktor Laiskodat, Eggi Sudjana, bahkan Om Setya Novanto dan raksasa-raksasa lainnya.

Panjang umur perlawanan! Revolusi! Revolusi! Revolusi!

Exit mobile version