Reuni 212 Versi Ambon

MOJOK.CO – Reuni 212 tidak hanya diadakan di ibukota, tapi juga di Ambon. Reuni yang diadakan untuk mengingatkan persaudaraan antar umat beragama usai konflik Ambon 1999.

Eugine Mainake, teman serumah saya, menyesal tak bisa ikut Reuni 212 hari Minggu kemarin di Ambon. Alasannya ya karena jarak rumahnya di Ambon dengan tempat kuliahnya bersama saya ada di Illinois, Amerika Serikat. Sangat jauh.

Padahal momen reuni ini adalah momen yang selalu dia nantikan. Momen yang selalu saja membuatnya gagal menahan air mata haru. Apalagi reuni ini tak selalu dilakukan tiap tahun. Memang sih reuni biasanya dilakukan setiap beberapa tahun—tapi tidak untuk reuni satu ini.

Namanya Reuni 212, eh, bukan ding namanya Pela Gandong. Tapi yah memang, pelaksanaannya bertepatan dengan tanggal 2 Desember alias bisa saja jadi nomor cantik: 212.

Pelaksanaannya juga pada tanggal yang sama persis, jadi secara ugal-ugalan bisa saja dinamai Reuni 212 Ambon. Sebab, kalau mau dulu-duluan dengan Reuni 212 di Jakarta, reuni yang di Ambon ini memang sudah berlangsung lebih dulu.

Reuni biasanya bertujuan untuk merekatkan kembali silaturahmi yang terputus atau menguatkan silaturahim yang sudah terpilin. Pela Gandong hadir untuk mempertahankan dan memupuk persaudaraan yang ada antara umat Islam dan Kristen. Persaudaraan yang pernah mengalami masa surut yang menyedihkan di daerah tersebut.

Masyarakat Ambon, seperti kamu juga tahu, memiliki sejarah kelam yang sempat merenggangkan hubungan antara umat Islam dan Kristen. Tahun 1999 konflik berdarah mengatasnamakan agama meledak.

Eugine masih ingat hari itu pukul tiga sore pada hari Idul Fitri pada Januari 1999. Ketika dia telah berbaju dengan rapi hendak menuju ke kampung muslim untuk silaturahim selepas lebaran. Dalam perjalanan, Eugine yang baru berumur 6 tahun terkejut melihat orang-orang berlarian dengan parang.

Alih-alih berkunjung ke rumah teman muslimnya, Eugine dan keluarganya harus berlari ke bukit agar tak turut menjadi korban. Sejak saat itu teman muslimnya itu juga pindah ke kampung lain. Hubungannya dengan teman-teman muslim akhirnya harus disekat oleh konflik agama untuk beberapa lama.

Sejarah mencatat ada sekitar ratusan jiwa tewas karena konflik berdarah ini. Sebanyak 127 masjid atau surau dan 24 gereja dibakar. Hubungan silaturahmi yang telah terjalin selama ratusan tahun itu koyak. Kedua kubu saling membunuh atas nama agama masing-masing.

Beberapa tokoh menyebut konflik ini sebagai konflik agama. Beberapa yang lain menyebut karena faktor politik. Apapun itu, kepala kita telah cukup karib dengan nyawa yang melayang dan darah yang tumpah atas nama agama. Ratusan jiwa yang melayang, dan ratusan ribu jiwa di luar sana yang menjadi korban konflik politik bertopeng agama.

Upaya untuk menghidupkan kembali semangat perdamaian terus dilakukan. Watak orang Ambon yang sesungguhnya cinta damai selama beratus tahun coba dihidupkan kembali. Salah satunya dengan tradisi Pela Gandong ini. Satu tradisi ketika umat Kristiani dan Muslim bergandengan tangan untuk hidup saling melindungi dan saling menguatkan.

Pela Gandong adalah sebuah upaya reuni kedua kelompok yang sempat bertikai. Sebuah upaya reuni untuk menyatukan dua umat bersaudara yang sempat koyak.

Tradisi ini tak selalu dilakukan tiap tahun. Tokoh-tokoh adat bermusyawarah terlebih dahulu. Mereka menyepakati kapan dan bagaimana dengan biaya pelaksanaannya. Tradisi ini turut vokal dilestarikan oleh tokoh agama yaitu para pendeta dan ustaz.

Tercatat, tanggal 2 Desember kemarin telah disepakati jauh sebelumnya sebagai waktu yang tepat untuk merayakan kembali tradisi ini. Dilaksanakan di Amahusu. Maka pada hari Minggu pagi acara pun dimulai.

Sama seperti Reuni 212 di ibukota yang didatangi tamu kehormatan Prabowo Subianto, Reuni 212 di Ambon juga dihadiri para tamu kehormatan, dari pejabat daerah sampai tokoh-tokoh setempat. Yang membedakan di Ambon tokoh-tokoh agama Islam dan Kristen disambut dan diarahkan menuju gereja, tempat Pela Gandong akan dilaksanakan.

Untungnya, di Ambon tidak ada ustaz yang suka menyeru kalau tokoh agama Islam mengadakan kegiatan di gereja dianggap sudah menggadaikan akidahnya.

Pada acara Reuni 212 Ambon ini sebuah kain putih panjang (kain gandong) akan dipegang bersama-sama orang-orang Islam dan Kristen menyambut mereka. Iringan sambutan disertai dengan alunan musik rebana dan tifa.

Rebana adalah alat musik yang sering dipakai untuk mengiringi lagu-lagu Islam sementara tifa biasa identik dengan lagu ketika ritual Kristen. Dalam kesempatan lain, tifa biasa pula digunakan untuk tujuan lain selain tujuan ritual keagamaan.

Selain itu, di depan gereja, ada tari-tarian yang ditampilkan oleh pemuda pemudi Islam diiringi rebana. Lalu ada pula yang ditampilkan oleh pemuda pemudi Kristen. Di dalam gereja, mereka saling menguatkan rasa persaudaran.

Kegiatan-kegiatan diarahkan untuk saling memahami satu sama lain. Tak ada susupan politik. Juga tak ada yang memperalatnya untuk selentingan kepentingan tertentu. Persaudaraan bersama terlalu mahal untuk digadaikan dengan kepentingan politik belaka.

Dalam reuni Pela Gandong tak ada akan terdengar teriakan “2019 Ganti Presiden” atau “2019 Tetep Presiden Petahana”. Nama Tuhan disebut dengan penuh kasih dan sayang meski disebut dengan nama yang berbeda-beda.

Nama Tuhan disebut untuk menguatkan persatuan bersama. Bukan untuk menguatkan kelompok sendiri tetapi tidak meminggirkan yang lain. Bukan pula soal siapa yang mayoritas dan siapa yang minoritas. Semuanya saudara sebangsa.

Reuni itu diadakan untuk menjaga perasaan satu sama lain. Persatuan dikuatkan untuk menguatkan bersama. Bukan persatuan yang menguatkan kelompok sendiri yang justru memberi garis perbedaan dengan kelompok lain.

Pela Gandong bertujuan menjaga perasaan masing-masing. Sebab persaudaraan untuk saling menaruh menjaga terlalu sayang jika dikoyak-koyak lagi. Konflik 1999 lalu telah menjadi bukti nyata betapa persatuan itu terlalu mahal harganya.

Jangan sampai ketika ada saudara-saudara kita berusaha saling membangun persatuan namun di sisi yang lain ada pula yang sibuk mementingkan kepentingannya sendiri.

Dalam banyak hal, kita memang dapat menggunakan dalih apapun untuk membenarkan kepentingan diri sendiri. Dan terutama sekali jika kita adalah kelompok mayoritas. Yang minoritas seringkali tak cukup punya keberanian memprotes. Namun tentu dalam hal tertentu kekuatan dan kekuasaan sebagai mayoritas justru sedang diuji.

Diuji apakah bisa untuk mengayomi, bukan justru mendiskriminasi.

Exit mobile version