MOJOK.CO – Cetak biru European Super League tak beda jauh dengan kompetisi olahraga ala Amerika. Kesannya adil, tapi sebenarnya tidak.
Sempat bikin geger dunia dalam hitungan jam, umur European Super League kini durasinya hampir seumur jagung. Yah, setidaknya begitu indikasinya.
Hanya dua hari setelah diluncurkan, enam peserta European Super League yang semuanya berasal dari Premier League menyatakan mundur. Dengan demikian, kini hanya tersisa enam klub yang masih berafiliasi dengan kompetisi tersebut.
Meski tampaknya bakal segera mati, ESL sempat membuat geger. Pada Selasa (20/4/2021), sosok yang diembani tanggung jawab untuk memimpin kompetisi sempalan itu, Florentino Perez, mengadakan konferensi pers untuk memberi penjelasan mengenai apa tujuan ESL dan bagaimana ia akan dilaksanakan.
Perez yang juga Presiden Real Madrid itu berkata bahwa European Super League ada untuk menyelamatkan sepak bola.
Menurunnya minat dari fans terutama yang berusia muda (18-24 tahun) dan pandemi virus corona disebut Perez sebagai dua hal yang membuat sepak bola “berada di ambang kehancuran”. Maka dari itu, untuk membuat sepak bola kembali diminati, kompetisi berisikan 20 klub “terhebat” di Eropa pun diciptakan.
Ketika Perez berbicara demikian, baru ada 12 klub yang sepakat untuk bergabung dengan ESL.
Mereka adalah Real Madrid, Atletico Madrid, Barcelona, Juventus, Milan, Internazionale, Manchester United, Liverpool, Chelsea, Manchester City, Arsenal, dan Tottenham Hotspur.
Rencananya, selain 12 klub itu, akan ada tiga klub lain yang berstatus pendiri atau peserta tetap.
Akan tetapi, kata Perez juga, ESL tidak akan jadi kompetisi tertutup karena tiap tahunnya akan ada lima klub yang ikut berpartisipasi berdasarkan kriteria tertentu (yang belum dijelaskan olehnya).
Di sinilah problem terbesar ESL. Bagaimana mereka menentukan peserta dan bagaimana 15 peserta tetap itu tidak akan pernah absen dari kompetisi terlepas dari buruknya performa mereka. Perez berkata bahwa ESL bukan kompetisi tertutup karena ada lima klub non-pendiri yang bisa bergabung tiap tahunnya.
Akan tetapi, bukankah keberadaan 15 peserta tetap itu membuat ESL tertutup-tertutup juga? Bukankah nantinya keuntungan terbesar tetap dimiliki ke-15 peserta tersebut?
Keberadaan 15 peserta tetap itu membuat ESL tak ubahnya kompetisi olahraga di Amerika Serikat yang tidak mengenal sistem promosi dan degradasi. Lalu, seperti kompetisi olahraga di AS pula, ada sistem “ekspansi” di ESL.
Bedanya, jika di kompetisi olahraga AS ekspansi (penambahan jumlah tim) bersifat tetap, di ESL sifatnya cuma sementara. Tim yang ikut musim ini belum tentu bisa ikut lagi musim depan.
Di AS sendiri, meski tidak ada promosi-degradasi, kompetisi tetap bisa berlangsung menarik karena tiga hal: sistem draft, salary cap, serta distribusi pendapatan.
Dalam sistem draft, sederhananya, tim yang finis paling bawah pada musim ini akan mendapatkan kesempatan untuk menggaet pemain paling potensial pada musim berikutnya.
Inilah yang membuat Chicago Bulls bisa mendapatkan Michael Jordan dan San Antonio Spurs bisa memiliki Tim Duncan. Belakangan, sistem ini (setidaknya di NBA) mengalami perubahan karena ada tim-tim yang melakukan tanking.
Tanking adalah kesengajaan untuk mendapatkan hasil terburuk agar sebuah tim bisa finis di posisi terbawah dan akhirnya punya kans memiliki pemain dengan potensi terbaik.
Karena adanya tanking ini, tim yang berhak mendapatkan pemain berpotensi terbaik akan diundi lagi. Jadi, tidak otomatis mereka yang punya rekor terburuk musim ini bisa mendapatkan pemain di urutan draft nomor satu.
Kemudian, salary cap. Untuk memastikan agar tim-tim super kaya seperti Dallas Cowboys (NFL) dan New York Knicks (NBA) tidak jadi kekuatan paling dominan, diberlakukanlah salary cap alias pembatasan gaji.
Batasan gaji untuk musim depan, misalnya, bakal ditentukan oleh seberapa besar pendapatan yang diraih seluruh tim dalam sebuah liga musim ini.
Pada musim 2018/19, pendapatan (basketball related income atau BRI) NBA berjumlah 8,76 miliar dolar AS. Dengan demikian, nilai salary cap untuk musim 2019/20 adalah 44,74% dari BRI dikurangi biaya fasilitas pemain (jaminan kesehatan, dll.) lalu dibagi 30 (jumlah tim peserta). Dari situ didapatkanlah jumlah salary cap 109,14 juta dolar AS.
Sederhananya, di NBA pada musim 2019/20 tidak ada tim yang menggaji pemain lebih dari 109,14 juta dolar AS. Sebaliknya, untuk memastikan para pemain digaji dengan layak, diberlakukan pula salary floor alias batas bawah. Salary floor ini nilainya 90 persen dari nilai salary cap.
Akan tetapi, hitung-hitungan di atas adalah hitungan sederhana. Di NBA sendiri ada berbagai kelonggaran yang memungkinkan sebuah tim menggaji pemain lebih dari salary cap, misalnya dengan membayar luxury tax alias “denda” karena sudah “pamer kekayaan”. Maka dari itu, orang-orang menyebut salary cap di NBA ini dengan sebutan soft cap.
Lain NBA, lain dengan NFL. Di kompetisi american football itu, salary cap diterapkan dengan lebih tegas (hard cap).
Namun, seperti yang dijelaskan oleh eks Wakil Presiden Green Bay Packers, Andrew Brandt, dalam kolomnya di Sports Illustrated, sebenarnya ada juga cara-cara untuk mengakali salary cap NFL. Misal, dengan membebankan bonus pemain ke lebih dari satu tahun finansial.
Setelah draft dan salary cap, ada pula distribusi pendapatan. Pada prinsipnya, sebagian pendapatan dari semua tim akan dimasukkan dalam satu kantong besar. Dari sana, uang akan didistribusikan secara merata.
Tim-tim kecil bakal mendapatkan uang dari tim-tim kaya dan ini, di atas kertas, bisa membuat persaingan bisa terus terjaga. Tidak ada tim yang bisa benar-benar seenaknya di kompetisi olahraga AS.
Kendati begitu, semua aturan tersebut pada akhirnya bisa jadi tak berlaku. Semua aturan tersebut hanyalah ilusi kesetaraan karena, pada praktiknya, seperti yang terlihat di NBA musim ini.
Sejak Anthony Davis meminta pindah dari New Orleans Pelicans dan akhirnya bergabung dengan Los Angeles Lakers, pemain-pemain bintang di liga tersebut banyak yang bergabung dengan tim-tim besar dan/atau populer.
Kawhi Leonard dan Paul George ada di Los Angeles Clippers, Kyrie Irving dan Kevin Durant ke Brooklyn Nets, Jimmy Butler ke Miami Heat, Kemba Walker pindah ke Boston Celtics. Mereka semua pindah ke tim-tim yang secara historis masuk dalam kategori “big market“, yaitu tim yang populer, hebat, menyita banyak perhatian publik, dan biasanya berasal dari kota besar.
Artinya, meskipun di NBA sebenarnya sudah diberlakukan aturan untuk mencegah terciptanya disparitas kekuatan secara mencolok, para pemain terbaik bakal punya kecenderungan untuk bergabung dengan pemain hebat lain di tim-tim besar. Meski tidak selalu, hal seperti ini sudah seringkali terjadi.
Jika melihat aturan-aturan yang ada di atas, sekilas terlihat bahwa kompetisi olahraga di AS lebih sosialis ketimbang kompetisi sepak bola di Eropa. Di Eropa tidak ada salary cap, menggunakan sistem transfer alih-alih draft atau trade, dan tidak ada pembagian pendapatan.
Akan tetapi, sesungguhnya yang terjadi di AS tidak ada sosialis-sosialisnya sama sekali. Sebab, dengan sistem kompetisi yang tertutup (tidak ada promosi-degradasi), praktis sebagian besar uang yang ada bakal beredar di satu lingkaran kecil saja.
Nah, itulah yang hendak diadopsi oleh Florentino Perez dan kroni-kroninya lewat European Super League.
Dengan adanya 15 peserta tetap, sebagian besar uang bakal berputar di situ-situ saja. Bahkan, di ESL, aturan-aturan untuk membuat kompetisi yang fair seperti NFL atau NBA belum ada.
Ya, memang mereka berkata bahwa nanti akan ada uang solidaritas untuk pengembangan sepak bola wanita, akar rumput, dll. Nantinya juga, klub-klub super kaya itu akan bisa punya lebih banyak uang untuk membeli pemain dari tim non-ESL.
Namun, sekali lagi, jumlah uang yang keluar bakal jauh di bawah uang yang mereka keluarkan untuk “menyelamatkan sepak bola”.
Sebagai gambaran, Bloomberg pada 19 April 2021 mewartakan bahwa JP Morgan telah bersedia mengucurkan dana 3,5 miliar euro sebagai modal awal ESL.
Uang yang diterima masing-masing peserta berbeda-beda, tergantung potensi ekonomi serta seberapa besar pendapatan mereka dalam beberapa tahun terakhir. Barcelona, Real Madrid, dan Manchester United disebut-sebut bakal menerima bayaran tertinggi, 350 juta euro.
Itu baru dari ESL. Tanpa ESL pun klub-klub tersebut sudah punya banyak sekali uang, meskipun ada pula yang jumlah utangnya mengerikan.
Barcelona, misalnya, memiliki utang hingga 1,73 miliar euro. Namun, Barcelona sendiri pada musim 2019/20 mampu mendapatkan penghasilan hingga 715 juta euro (tertinggi di dunia).
Walaupun punya utang banyak sekali, Barcelona tidak tampak khawatir. Kalau khawatir, bagaimana bisa presiden baru mereka, Joan Laporta, bisa memiliki target mendatangkan Erling Braut Haaland? Kalau memang utang itu mengkhawatirkan, bukankah semestinya Barcelona mengerem pengeluaran?
Kira-kira situasinya begitu. European Super League adalah kompetisi yang dibentuk oleh klub-klub terkaya Eropa untuk terus memperkaya diri mereka sendiri. Mereka menggunakan pandemi sebagai dalih untuk menciptakan kompetisi super eksklusif ini.
Ya, mereka memang terdampak oleh pandemi, tetapi keberlangsungan hidup mereka tidak pernah benar-benar terancam. Pada awal Maret 2021, Presiden Juventus yang juga salah satu penggagas ESL, Andrea Agnelli, bahkan berkata, “Kami tidak lagi berada dalam krisis”.
Inilah mengapa European Super League ditentang banyak sekali orang. Bahkan, personel-personel klub yang terlibat di ESL seperti Juergen Klopp, Pep Guardiola, Jordan Henderson, dan Marcus Rashford sendiri menentang keberadaan kompetisi tersebut.
Guardiola sampai berujar, “Bukan olahraga namanya kalau tidak ada relasi antara usaha dan hasil.”
European Super League mendaku bahwa mereka berniat menyelamatkan sepak bola tetapi sistem kompetisi ala Amerika tidak bisa diterapkan di sepak bola Eropa atau belahan dunia lainnya.
Sebab, dalam sepak bola, ada terlalu banyak klub dan orang yang terlibat. Setiap negara punya satu piramida besar yang memungkinkan setiap pesertanya untuk naik dan turun level.
Bahwa Leicester City bisa menjadi juara Premier League, itu adalah hasil dari sistem kompetisi seperti ini. Kisah Leicester City ini merupakan nilai lebih Premier League sebagai sebuah kompetisi.
Di Amerika, sistem tertutup itu bisa berjalan karena memang lingkupnya tidak besar. Di NFL total ada 1.696 pemain yang hampir semuanya berasal dari Amerika sendiri.
Di Premier League dan EFL (Championship, League One, dan League Two) saja, sementara itu, sudah ada 2.519 pemain. Ini baru di Inggris, belum di liga-liga lain. Artinya, sepak bola terlalu besar untuk digelar secara eksklusif.
Tidak ada nama Bayern Muenchen, Borussia Dortmund, atau Paris Saint-Germain di deretan klub peserta European Super League. Akan tetapi, tanpa mereka pun klub-klub ESL tetap amat sangat populer.
Tidak sedikit pula penikmat sepak bola yang berminat untuk menyaksikan pertandingan antar-raksasa di kompetisi tersebut, terutama penikmat yang tidak terlibat langsung seperti para pemirsa sepak bola Indonesia.
Tapi coba bayangkan, apabila sebagian besar atensi dan sumber daya difokuskan ke ESL (dan percayalah ini sangat mungkin terjadi), berapa banyak pelaku sepak bola yang terdampak?
Maka, menyusul protes keras yang dilakukan banyak pihak, enam klub Premier League yang sebelumnya bergabung dengan ESL telah mengundurkan diri. Arsenal bahkan sampai meminta maaf kepada para suporternya. Dengan demikian, ESL kini terancam bubar sebelum jalan.
Apalagi, UEFA, selaku pemilik Liga Champions sekaligus pihak yang paling dirugikan secara finansial dengan keberadaan ESL, sudah melancarkan serangan balik.
UEFA telah resmi mengesahkan format baru Liga Champions mulai musim 2024/25. Jumlah klub ditambah dari 32 menjadi 36. Masing-masih klub akan bermain 10 kali pada fase pertama yang tidak lagi berbentuk grup melainkan liga penuh (ke-36 klub akan masuk daftar klasemen yang sama).
Delapan tim teratas akan otomatis lolos ke 16 besar, lalu delapan peserta lain akan ditentukan lewat playoff antara tim urutan 9-16 dan 17-24.
Format baru Liga Champions itu menggaransi lebih banyak pertandingan bagi setiap klubnya. Jika sebelumnya tiap klub minimal bermain enam kali, mulai 2024 mereka bakal bermain sedikitnya 10 kali. Dengan kata lain, pendapatan tiap klub bakal otomatis bertambah.
Nah, untuk menyongsong Liga Champions model baru ini, UEFA dikabarkan oleh RMC Sport telah bekerja dengan sebuah perusahaan investasi untuk mengumpulkan dana senilai 4,5 miliar euro.
Dana ini jumlahnya bisa berkembang sampai 7 miliar euro dan bakal digunakan untuk modal awal menyelenggarakan Liga Champions model baru. Ini, semestinya, bisa membuat tim-tim yang masih berada di ESL berpikir dua kali untuk meneruskan pemberontakannya.
Meski begitu, sampai Rabu, 21 April 2021, Perez masih optimistis. Dia bahkan yakin PSG serta Bayern Muenchen (yang sebelumnya sudah menyatakan penolakan) bakal bergabung. Dengan optimisme Perez tersebut, ada kemungkinan drama ESL bakal terus bergulir dalam waktu dekat ini.
BACA JUGA Persekutuan Jahat para Pencuri Sepak Bola dan tulisan Yoga Cholanda lainnya.