Puasa Mulut, Puasa Bicara

Menjelang Lebaran, Cak Dlahom “menghilang.” Dia bukan saja jarang kelihatan berlalu-lalang di kampung tapi ketika tampak pun tak mau bicara. Dua hari yang lalu, orang-orang sempat melihatnya di sekitar masjid, tapi Cak Dlahom sama sekali membisu. Tak mau diajak bicara. Tidak juga cekikikan seperti biasanya. Ekspresi wajahnya datar atau malah seperti ketakutan.

Dan sejak Cak Dlahom “menghilang” itu, jalanan di kampung jadi sepi. Tidak ada lagi suara Cak Dlahom yang selalu berbicara sendiri. Tidak ada lagi suara berisik anak-anak yang menggodanya. Kampung jadi tak asik. Suasana kampung seperti dilanda kemurungan dan ketidakseimbangan. Menjadi terlalu serius. Tidak seperti sebelum-sebelumnya.

Orang-orang di kampung kehilangan Cak Dlahom dan ketidakmunculannya menjadi persoalan tersendiri.

Mereka yakin dan tak yakin, Cak Dlahom adalah orang tak waras, tapi mereka menganggap keberadaan Cak Dlahom sebagai pembeda. Sebagai penyeimbang. Tak mungkin penduduk kampung hanyalah orang-orang waras semua atau orang-orang tak waras semua. Mustahil mereka harus sama semua. Seragam pemikiran, keyakinan, dan tingkah laku.

Dan karena keberadaan Cak Dlahom dianggap penting, maka suatu malam setelah tarawih, Pak RT dan beberapa orang mendatangi rumah Mat Piti. Mereka ingin tahu dan bertanya soal keberadaan Cak Dlahom yang sudah beberapa hari seperti ditelan bumi. Tidak ada rupa tidak ada suara.

“Assalamualaikum, Pak Mat…”

“Alaikumsalam, Pak RT. Mari-mari silakan…”

Pak RT dan Mat Piti bertukar salam. Yang lain ikut bersalaman lalu duduk-duduk di lantai di teras depan. Romlah yang kandungannya sudah semakin besar, terlihat menyuguhkan klepon, kacang rebus, dan singkong goreng, berikut kopi dan teh yang diangkut oleh Gus Mut dari dapur. Rumah Mat Piti menjadi ramai, dan memang rumah itu sudah biasa dijadikan tempat berkumpul membicarakan persoalan ini dan itu.

Malam itu, orang-orang datang ke rumah Mat Piti untuk menanyakan keberadaan Cak Dlahom. Menanyakan: mengapa Cak Dlahom tidak pernah lagi kelihatan dan kalau pun kelihatan, seperti mogok bicara.

“Apa yang sebetulnya terjadi, Pak Mat?”

Mat Piti bingung untuk menjawab. Bahwa Cak Dlahom mogok bicara dan tak mau keluar rumah, orang-orang yang tinggal di rumahnya seperti dia, Romlah, Nody dan Gus Mut, sudah lebih dulu tahu, dan jauh lebih kebingungan. Lalu kini orang-orang menanyakan keberadaan Cak Dlahom.

Mat Piti sungguh tak menyangka, ketidakmunculan dan diamnya Cak Dlahom bisa menjadi isu nasional di kampung.

“Saya harus jawab gimana ya, Pak RT?”

“Loh? Ditanya kok malah tanya, Pak Mat?”

“Karena kami juga tak tahu, Pak RT…”

“Maksudnya tak tahu keberadaan Cak Dlahom?”

“Bukan. Kami tak tahu kenapa Cak Dlahom tak mau keluar rumah dan tak mau bicara.”

“Tapi Cak Dlahom ada kan, Pak Mat?”

“Ada. Dia sudah tak mau bicara sejak tiga hari lalu, Pak RT. Kami sudah berusaha bertanya, tapi dia tetap membisu. Hanya menggeleng atau mengangguk.”

Busairi yang duduk di pojok menyimak dialog Mat Piti dan Pak RT sambil mengunyah singkong goreng. Warkono dan Gus Mut yang duduk di sebelahnya menikmati  klepon. Dullah nyruput kopi.

“Nak Nody, coba tolong panggil Cak Dlahom.”

Mat Piti meminta menantunya untuk memanggil Cak Dlahom. Yang disuruh segera masuk ke rumah. Dia menemui Romlah di kamar tengah dan meminta bantuannya untuk memanggil Cak Dlahom.

“Aku ndak enak, Dik.”

“Sampean yang disuruh Bapak kok, Mas…”

“Iya. Tapi tolong, kamu saja yang memanggil…”

Di saat keduanya saling merajuk, Cak Dlahom entah dari mana, sudah berdiri di samping mereka. Romlah dan Nody kaget, tapi Cak Dlahom tetap tak bicara. Matanya menatap Romlah dan Nody seperti memberi isyarat agar keduanya segera ke teras depan. Dan memang, Romlah dan Nody kemudian pergi ke teras depan mengikuti Cak Dlahom.

Saat Cak Dlahom muncul di teras depan, Warkono dan Busairi segera berdiri menciumi tangannya. Pak RT dan yang lain menyalaminya. Mereka semua seperti takjub: orang yang mereka tunggu-tunggu, sekarang muncul dan duduk bersila di sebelah Mat Piti.

Sejenak, suasana seperti dilanda keheningan hingga Mat Piti membuka suara. “Pak RT, bapak-bapak, silakan tanya langsung pada orangnya…”

Orang-orang tak segera meresponsnya. Mereka masih asik memandangi Cak Dlahom yang duduk sembari terus menunduk. Seperti tak mau melihat dan dilihat. Wajahnya tampak lebih pucat. Janggutnya terlihat putih. Badannya terlihat lebih kurus. Benar, itulah Cak Dlahom yang mereka cari-cari.

“Apa kabar, Cak?”

Pak RT mulai menyapa. Yang disapa tak menjawab. Dia bahkan tak mau melihat. Masih tetap menunduk.

“Ya seperti ini Pak RT. Kalau ditanya tak mau jawab tak mau bicara…”

Mat Piti belum selesai bicara ketika Cak Dlahom mengangkat wajah dan melihat ke arahnya lalu ke Pak RT. Pak RT sekali lagi menyapa.

“Sehat, Cak?”

“Alhamdulillah, Pak RT…”

Orang-orang yang mendengar suara Cak Dlahom, segera membalas, “Alhamdulillah.” Suaranya seperti koor atau paduan suara. Mereka akhirnya mendengar suara Cak Dlahom, tapi mereka masih menunggu. Menunggu Cak Dlahom bersuara lagi. “Ini loh, Cak, para tamu ingin tahu keadaan sampean. Khawatir ada apa-apa. Sampean kok ndak kelihatan. Kok seperti mogok bicara.”

Cak Dlahom kembali meihat ke Mat Piti. Lalu melihat ke semua orang yang berkumpul di teras depan termasuk melihat Romlah yang duduk di sebelahnya. Lalu katanya, “Saya minta maaf Pak RT, bapak-bapak semua. Aku minta maaf, Mat. Aku memang berniat untuk puasa bicara. Beberapa hari saja sampai Lebaran.”

“Kalau boleh tahu, kenapa, Cak?”

Mat Piti memotong penjelasan Cak Dlahom.

“Mat, sejak balita aku diajar bicara dan terus bicara sampai sekarang. Aku sudah terlalu banyak bicara. Aku capek dan mulai takut.

Mulutku mengajarkan orang tentang kebajikan dan ketidakbaijkan, tapi sebetulnya aku hanya mengharapkan orang-orang agar memujiku sebagai orang yang bijaksana. Sebagai orang alim. Mulutku menasehati orang, tapi perbuatan dan tingkah lakuku, jauh dari yang aku nasehatkan. Mulutku memberitahukan dan mengajarkan sesuatu, hanya agar aku dianggap berilmu luas.

Mulutku sering berkata-kata yang menyakiti orang lain. Bahkan mendengar suaraku saja, sebagian orang takut. Sering aku merasa telah berkata sesuai hati nurani, tapi sebetulnya aku hanya merancang agar orang lain bisa mengagumiku, tidak meremehkanku. Kata-kata dari mulutku aku rancang sehalus mungkin, tapi aku maksudku untuk mengiris perasaan orang lain.

Mulutku berkata-kata agar orang percaya padaku bahwa aku bisa dipercaya. Aku berbicara menyenangkan orang, agar aku dianggap dan dinilai sebagai orang yang menyenangkan. Orang yang asik, meskipun aku berdusta. Hanya berbasa-basi. Mulut, hati dan perbuatanku, tak pernah sesuai.

Sungguh aku takut dengan mulutku. Aku capek. Aku hanya ingin mengistirahatkan mulutku selama beberapa hari sampai Lebaran. Untuk memenuhi hak mulutku yang lain: diam. Hak mulut untuk tak berbicara dan tidak banyak bicara. Hak mulut untuk bisu.

Lalu kalian datang mencariku. Apa yang kalian cari? Dlahom? Mulut Dlahom? Untuk apa? Agar mulutku terus berdusta? Agar mulutku bisa menghibur? Agar mulutku tak berhenti menghakimi? Terus berjanji? Memberi nasehat?  Agar terus membicarakan aib dan keburukan orang? Bergunjing?

Ya Allah… Kalian dengar kan, mulutku kembali banyak berkata-kata. Mulutku angkuh. Mulutku sombong. Aku dicari-cari oleh kalian tapi aku pura-pura tidak butuh perhatian kalian. Betapa munafiknya aku. Betapa jahatnya mulutku. Ampuni aku ya Allah…”

Suasana di teras depan rumah Mat Piti semakin hening. Suara Cak Dlahom yang seperti rentetan mercon renteng, membuat mereka yang hadir di teras depan rumah Mat Piti hanya bisa menunduk. Mat Piti, Romlah, Pak RT, dan yang lain, semuanya menunduk. Cak Dlahom juga menunduk. Dari mulutnya hanya keluar gumam.

“Ampuni aku, Gusti…”

Sejurus kemudian, Romlah yang duduk di sebelahnya, terlihat merangkul pundaknya. Dia menepuk-nepuk bahu Cak Dlahom.

“Maafkan saya Pak RT. Maafkan saya bapak-bapak. Maafkan aku, Mat. Maafkan…”

Cak Dlahom sekali lagi bersuara. Orang-orang  tetap tak bereaksi. Mereka masih tak percaya dengan yang baru saja mereka dengar dari mulut Cak Dlahom tentang bahayanya mulut. Beberapa orang mencoba memahami: mulut memang sangat berbahaya. Bisa menyakiti. Bisa melukai. Bisa menghancurkan. Bisa membunuh.

“Iya, Cak, kami juga meminta maaf. Kami semua hanya rindu sampean. Ingin sampean baik-baik saja.”

Pak RT menjawab. Suasana mulai agak tidak tegang. Mat Piti mempersilakan para tamu mencicipi kopi, teh dan kudapan, yang sebetulnya sudah tinggal separuh atau malah hampir habis.

Cak Dlahom berdiri, berjalan menjauh dari Romlah. Dia duduk di pojok di dekat Gus Mut, Warkono, dan Busairi. Mulutnya tak bersuara lagi. Hanya Gus Mut yang berani menggoda Cak Dlahom.

“Mulut saya ini kenapa menganga terus ya, Cak?”

Orang-orang sontak tertawa. Malam itu, semua mulut orang yang duduk-duduk di teras depan rumah Mat Piti, menampakkan giginya. Kecuali Cak Dlahom. Dia hanya mesem. Menahan mulutnya.

Exit mobile version