Prabowo Adalah Bintang Teater Politik Hari Ini

prabowo menteri pertahanan komisi I dpr ri adian napitupulu effendi simbolon pilpres 2024 puan maharani megawati

prabowo menteri pertahanan komisi I dpr ri adian napitupulu effendi simbolon pilpres 2024 puan maharani megawati

MOJOK.CODari rapat Menhan dengan Komisi I DPR kemarin bisa dibaca, menjadikan Prabowo sebagai menteri sama saja dengan Jokowi sedang membangun jalan bebas hambatan bagi Prabowo ke pilpres 2024.

Teater itu bernama Komisi I DPR RI. Rapat pertama Prabowo selaku Menteri Pertahanan pada Senin pagi (11/11) memperoleh liputan luas dari media. Rasanya tidak berlebihan bila saya katakan, Prabowo kini telah muncul menjadi media darling yang baru.

Bagi orang yang sedikit paham atmosfer di Senayan, kabarnya Komisi I dan Komisi III selalu menjadi ajang perebutan para anggota DPR yang terhormat. Karena pada dua komisi itulah isu-isu paling politis dan krusial negeri ini dibahas, dan karenanya, kedua komisi itu selalu diliput media.

Kini Komisi I memperoleh tandem yang seimbang, yakni Prabowo Subianto. Sejak lama Komisi I, juga Komisi III, selalu memunculkan tokoh-tokoh yang kemudian menjadi viral. Di Komisi III misalnya, di masa lalu ada Ruhut Sitompul (Partai Golkar merangkap Partai Demokrat) dan kini ada Arteria Dahlan (Fraksi PDIP). Sedangkan bintang Komisi I saat ini ada pada diri Meutya Hafid (ketua komisi) dan Nurul Arifin, keduanya berasal dari Fraksi Partai Golkar.

Dalam pergaulan remaja Jakarta ada istilah “nuke” yang merupakan akronim “numpang keren”. Istilah itu bisa dipakai untuk menyebut adegan di sidang Senin kemarin. Kita melihat debat sengit antara Prabowo dengan Effedi Simbolon (Fraksi PDIP), yang berakhir dengan kesimpulan bahwa Prabowo tak mau ditekan. Baru kali ini kita melihat ada seorang pejabat negara, ketika berhadapan dengan anggota DPR, secara lantang berani mengatakan: Saya tidak mau ditekan. Sebuah kosakata yang hampir saja hilang.

Saya melihat Effendi sekadar “numpang keren” pada Prabowo. Kita bisa sama-sama melihat, Effendi yang sudah empat periode menjadi anggota DPR terlihat biasa-biasa saja ketika berhadapan dengan Prabowo. Demikian pula Adian Napitulu (dari PDIP juga). Dalam interaksi sosial memang ada kiat yang mengatakan, kalau kita ingin terlihat kuat dan menjadi terkenal, kita harus berani melawan orang kuat dan terkenal, meskipun perlawanan itu sekadar basa-basi. Begitulah trik yang sedang dimainkan Effendi, Adian, dan entah besok siapa lagi.

Melalui Prabowo pula kita bisa melihat betapa kekuasaan dan rivalitas adalah sesuatu yang fana. Ini sehubungan dengan isu yang sedang santer di langit politik Jakarta bahwa pada Pilpres 2024 nanti Prabowo akan maju lagi sebagai capres dengan cawapresnya adalah Puan Maharani.

Megawati ibarat menjilat ludahnya sendiri. Tokoh yang sejak lima tahun terakhir seolah dimusuhinya habis-habisan, bahkan bila perlu sampai mengerahkan segenap pendukungnya, kini menjadi sandaran anaknya untuk meraih kekuasaan.

Jalan Prabowo menuju kekuasaan tampaknya semakin lempeng. Itu sudah dimulai sejak hari-hari pertamanya menjadi Menteri Pertahanan ketika ia menolak menerima gaji menteri dan memilih menggunakan mobil pribadinya sebagai kendaraan dinas. Ini adalah gaya khasnya sejak aktif di pasukan dulu, yakni kecenderungan berperilaku sebagai filantropis. Berbeda dengan pejabat pada umumnya yang menjadi pejabat untuk menggapai kesejahteraan, Prabowo memang sudah sejahtera sejak masa kanak-kanak.

Kehadiran Prabowo kabarnya juga menjadikan Hendropriyono sedikit galau. Hendro yang selama ini selalu memosisikan diri sebagai kingmaker di Istana menjadi sedikit terancam dengan kehadiran Prabowo, yang telah muncul sebagai bintang baru rezim Jokowi periode kedua.

Salah satu penandanya adalah kemungkinan digesernya Jenderal Andika Perkasa, menantu Hendropriyono, pada posisi Wakil Panglima TNI. Penempatan Andika pada posisi Wakil Panglima TNI adalah sinyal Jokowi bahwa dia ingin lepas dari bayang-bayang HP.

Sejarah seperti berulang. Masuknya figur Prabowo menjadikan rezim Jokowi mirip penggal terakhir rezim Soeharto, dalam arti tidak ada kubu yang dominan. Jika dulu ada kubu Benny Moerdani yang ingin sedikit mengimbangi kubu Cendana, pada rezim Jokowi hari ini, terlihat eksponen Benny Moerdani masih dominan melalui Hendropriyono dan Luhut Panjaitan. Dan kini giliran eksponen Cendana (baca: Prabowo) yang sedang mencari jalan untuk menjadi kekuatan penyeimbang.

BACA JUGA Dulu Berani Tabok, Gebuk, dan Hajar, Kok Sekarang Jokowi Cuma Berani Gigit? atau esai ARIS SANTOSO lainnya.

Exit mobile version