Potensi Jutaan Lapangan Kerja untuk Nyoblos 70 Juta Surat Suara

MOJOK.COKarena 70 juta surat suara yang dicoblos konon dari Cina yang terkenal sama barang bajakan. Paling juga cuma satu yang asli, yang 6.999.999 lagi KW supernya.

Pemilu semakin lama semakin dekat, tinggal menghitung hari kalau kata Nyonya Raul Lemos. Kalau tidak salah ingat, akan dihelat April nanti. “Kalau tidak salah ingat” karena eman-eman ingatan saya kalau dihabiskan untuk mengingat hal nggak penting kayak begitu.

Lagian, memori internal di kepala saya sudah habis untuk mengingat bahwa tanggal 2 saya harus bayar air, tanggal 10 bayar listrik, tanggal 15 bayar cicilan motor, tanggal 20 cicilan rumah, dan –yang paling penting—mengingat hari ulang tahun istri yang jatuh di tanggal… ngg… tanggal berapa ya? Waduh, cilaka.

Kembali ke topik. Pemilu semakin dekat, tapi isu yang dibahas rasanya semakin jauh dari esensinya. Semua pasangan calon menantang lawannya beradu program dan gagasan, tapi keduanya setahu saya belum menawarkan gagasan atau program apa-apa.

Rasanya seperti mendengar cowok yang bersumpah akan menembus hujan badai untuk menemui kekasihnya, tapi pas ditanya kenapa malam minggu kemarin nggak kelihatan, katanya: “gerimis.”

Praktis hanya paslon alternatif, Nurhadi-Aldo, yang menawarkan gagasan-gagasan baru nan segar. Komikal, tapi setidaknya mereka jujur. Jujur kalau mereka koplak. Sungguh tronjal-tronjol sekali. Bandingkan dengan calon-calon yang sudah terdaftar di KPU. Mereka meributkan operasi plastik dan menanam petai di kepala. Atau saling tantang baca kitab suci. Koplak juga sih, tapi tidak ada yang mau mengakuinya dengan jujur.

Hambok kalau mau adu hafalan, coba diadu hafalan buku Das Kapital. Tapi ambil bukunya di Kodim setempat. Tentara sepertinya lagi melengkapi koleksi buku-buku “kiri” mereka. Tanpa mbayar. Atau, kalau mau merebut suara para santri, coba itu dihafal buku Dari Balik Pesantren. Buat sangu kalau mau safari politik ke pesantren atau sekadar nyekar di makam ulama.

Tahun baru dan aura politik adu koplak ini belum juga berakhir. Kemarin media sosial dihebohkan dengan kecurigaan imbauan Andi Arief akan adanya 70 juta surat suara yang sudah dicoblos. Banyak lho70 juta itu, walaupun saya sendiri tidak gentar sedikit pun.

Sekarang begini, konon surat suara itu diproduksi di Cina. Lha Cina kan terkenal dengan produk bajakannya. Orang penduduknya aja aslinya cuma 200 ribu, kalau tercatat lebih banyak, yang lainnya pasti KW. Surat suara itu juga sama. Paling cuma satu yang asli, yang 6.999.999 lagi pasti juga cuma bajakannya.

Akhirnya kan ketahuan kalau itu kabar bohong belaka. Cuma hoax. Saya sih nggak peduli bagaimana kabar-kabar bohong disebarkan selama pemilu, lha wong dari semua janji politikus itu, kalau ada satu atau dua yang ditepati—kalau mereka terpilih—itu saja sudah bisa kita anggap kita sedang beruntung banget.

Yang jadi masalah sekarang adalah terjadinya perpecahan di masyarakat. Sekarang bayangkan saja, Andi ARIEF kabarnya akan segera dipanggil Kabareskrim, ARIEF Sulistyono, untuk mengklarifikasi cuitannya berdasarkan laporan yang dibuat oleh Ketua KPU, ARIEF Budiman.

Bayangkan, bukan hanya parpol, ikatan alumni, atau pemeluk agama yang pecah, bahkan sesama pemilik nama Arief pun sudah cakar-cakaran.

Bayangkan kalau ini juga terjadi di komunitas-komunitas yang dibuat berdasarkan kesamaan nama. Ada perkumpulan orang-orang bernama Budi, ada komunitas Agus-Agus Bersaudara, ada paguyuban Sugeng. Kalau ini juga pecah gara-gara pilpres, entah apalagi yang bisa menyatukan Indonesia. Lem Aibon pun akan menyerah saya kira.

Tapi coba kita berpikir positif dulu. Saya bukan politikus, bukan tugas saya untuk memproduksi ketakutan-ketakutan baru. Sebenarnya patut disayangkan kalau kabar itu bohong belaka. Lebih disayangkan lagi, seandainya dia benar, surat suara itu dibuat di Cina. Aseng lagi, aseng lagi.

Tujuh puluh juta surat suara itu banyak, Saudara-saudara. Ferguso juga tahu itu. Mencetaknya mudah, tapi melubanginya tidak. Ditumpuk lalu dihantam tiang pancang akan menyebabkan semua surat suara itu berlubang di tempat yang sama. Searif-arifnya Pak Budiman, beliau dan aparatnya pasti tahu ada kecurangan. Resiko. Satu-satunya cara adalah mengerjakannya secara manual.

Sungguh, ini adalah peluang, Gaes. Siapapun yang melakukan hal itu berpeluang untuk menyelesaikan masalah ganda.

Pertama, kita bisa buat iklan murah meriah, print-print-an di atas kertas HVS (yang 70 gram lebih baik karena lebih murah) membuat tagline yang menggoda misalnya: “lowongan kerja melubangi surat suara; bisa dikerjakan di rumah. 500 ribu lembar dibayar dobel, satu juta lembar bonus liburan ke Bali, 20 juta lembar dapat kapal pesiar”, lalu menempelkannya di tiang-tiang listrik seantero Nusantara.

Masalah pertama yang berhasil diselesaikannya adalah memberantas isu pengangguran dan penyediaan lapangan kerja yang selalu diangkat setiap kali ada pemilu. Minimal satu atau dua juta pengangguran berkedok “pengamat politik di media sosial” akan punya pekerjaan nyata sekarang.

Kedua, kita bisa memungut biaya administrasi dari orang-orang putus asa itu, Rp5.000 per orang. Tambahkan biaya keanggotaan Rp250.000. Kalau perlu pakunya kita sediakan juga, Rp3.000 per biji. Biaya cetaknya nanti bisa kita potong dari upah para relawan itu. Katakanlah per seratus surat suara mereka dibayar Rp70.000, potong Rp50.000 untuk biaya cetak surat suara.

Bagaimana kalau ada yang mampu melubangi sampai 20 juta surat suara? Kapal pesiar, lha nggak balik modal dong? Jangan terlalu polos, Tarmidji.

Syarat untuk mendapat order seratus ribu lembar surat suara adalah mengajak satu orang member lagi. Dua puluh juta, berarti minimal sudah ada 20 orang yang tertipu. Empat orang saja yang mencoba-coba bermimpi dapat kapal pesiar, proyek kita sudah terlanjur kelar.

Benar, ini multi level marketing manusia. Member get member, apapun artinya itu.

Masalah kedua yang berhasil kita tumpas hanya dengan proyek mencetak dan melubangi surat suara itu adalah dana kampanye. Bagaimana tidak? Dari administrasi, keanggotaan, paku, sampai biaya cetaknya semua dibebankan ke mereka. Cerdas sekali bukan?

Daripada para politikus itu meminta pendukungnya untuk menyumbang padahal belum tentu janji kampanyenya mereka tepati. Atau menyuruh orang menjual emas dan mobilnya dan menjanjikan masuk surga.

Intinya adalah, mengutip kata-kata Sid si kukang Ice Age yang mengutip kata-kata ibunya, “Walaupun segalanya terlihat buruk, selalu ada pelangi di suatu tempat.”

Sesuatu yang buruk bisa jadi baik kalau kita pintar ngakali-nya. Kalau suatu masalah tidak bisa kita atasi, kenapa tidak kita coba bawahi?

Salam tronjal-tronjol!

Exit mobile version