Poster Khomeini di Kamar Dilan 1990, Kerikil dalam Sepatu Pembaca Indonesia 2018

[MOJOK.CO] “Poster Khomeini di novel Dilan diperkarakan sebagai bentuk simpati pada Syiah. Konteks macam apa yang menghadirkan poster itu?”

Semasa kanak-kanak, waktu menjelang Magrib adalah suasana yang penuh kehebohan di dalam keluarga kecil kami. Ibu menggedor pintu kamar anak-anaknya, mengingatkan untuk bersiap salat Magrib disertai omelan berkepanjangan bagi yang tetap asyik berleha-leha dengan permainan dan bacaannya.

Ini adalah kehebohan rutin di lingkungan keluarga yang mungkin serupa dengan keluarga-keluarga lainnya di Indonesia. Namun, kehebohan seperti itu cukup berhenti di kehidupan keluarga tanpa meluber ke kehidupan publik. Setiap orang menegakkan kehidupan agama mereka tanpa ada yang menggedor atau membuat kehebohan di jalanan. Setiap zaman memang memiliki standar moral sendiri.

Kenyataan bahwa sepanjang dekade 1970 dan 1980, ekstrem Kanan adalah musuh negara nomor dua setelah ekstrem Kiri menjadi alasan minimnya simbol-simbol agama dalam kehidupan publik Indonesia. Suara azan di masjid terdengar lamat-lamat saja. Tidak ada ceramah keagamaan terdengar melalui pengeras suara di lingkungan sekitar tempat tinggal. Di luar tekanan negara, keyakinan sebagian ustaz dan tokoh agama yang menganggap pengeras suara sebagai benda haram dalam kegiatan keagamaan memberi pengaruhnya. Kelas menengah Indonesia yang baru muncul menganggapnya sebagai kekolotan yang layak ditinggalkan. Namun, kekolotan itu menjadi kearifan yang sekarang dirindukan golongan kelas menengah perkotaan yang sama. Perubahan zaman memiliki ironinya yang pahit.

Rezeki bom minyak menjadi kekuatan rezim Orde Baru untuk membeli kesetiaan jutaan pegawai negeri yang menjadi basis sosial pendukung utama rezim tersebut. Indonesia adalah beambtenstaat atau negara pegawai. Pekerjaan sebagai pegawai negeri dalam birokrasi menjadi takaran bagi para orangtua di Indonesia memilih calon menantu mereka. Modernisasi dan kemajuan menjadi spiritualitas zaman itu. Segala hal berbau keagamaan dijauhkan dalam kehidupan formal. Pak Lurah, Camat, Bupati, atau Wali Kota tahu diri untuk menghindarkan cap “tidak bersih lingkungan” dengan cukup menyampaikan selamat siang, sore, dan malam dalam setiap pidato pembukaan acara resmi.

***

Ada juga kontras yang lain dalam kehidupan sehari-hari dekade 1970 sampai 1980 dengan keadaan jaman now. Suasana Indonesia yang hening tanpa gejolak menjadi ciri utama siaran media elektronik dan cetak. Indonesia tampil tanpa gejolak di layar kaca. Demonstrasi, perang, pemberontakan, kelaparan, dan gejolak lainnya adalah fenomena yang terjadi di luar Indonesia yang disiarkan dalam segmen berita luar negeri pukul 9 malam. Sedangkan operasi jaring merah yang menyebabkan ribuan perempuan menjadi janda di Aceh, pendudukan militer di Timor Timur, dan bumi hangus desa-desa sebagai cara memadamkan potensi protes dan pemberontakan, tenggelam dalam pemberitaan atau hanya sesekali muncul dalam pidato para pejabat yang mengingatkan bahaya laten unsur “X” dalam masyarakat.

Sebagai satu-satunya siaran televisi, Televisi Republik Indonesia (TVRI) berhasil menciptakan harmoni dalam kehidupan masyarakat dengan menjadikan gejolak sebagai kenyataan asing di luar negeri. Inilah cara Orde Baru mengejewantahkan slogan TVRI sejak 1962 hingga 2001: “Menjalin persatuan dan kesatuan.”

Cukup menarik bila segmen berita luar negeri menjadi acara televisi favorit saat itu. Sepertinya ada arus bawah sadar dari kalangan audiens yang menjadikan gejolak dunia luar sebagai katarsis atas kehidupan tenteram di dalam negeri. Sosok-sosok dunia yang tampil dinamis menjadi alter ego yang mengatasi kebekuan tidak lazim masyarakat Orde Baru. Yaser Arafat dengan kafiyeh dan sarung pistol di pinggang tampil menjadi sosok populer. Ia menawarkan kontras dari sosok pejabat lain yang terlihat kelimis di layar kaca.

Sosok penting lain yang turut mengisi imajinasi populer masa itu adalah pria bersorban yang tampil di panggung dunia sejak revolusi yang menumbangkan dinasti Syah Reza Pahlevi di Iran pada Februari 1979. Ayatullah Khomeini segera menjadi sumber katarsis baru; ia mewakili kenyataan bahwa perubahan adalah hal niscaya dalam sejarah. Popularitasnya dalam kehidupan masyarakat Indonesia bisa dilihat melalui kehadiran foto dirinya yang dengan pandangan mata tajam bersanding dengan Mick Jagger dan Madonna yang berpose sensual di lapak pedagang poster pinggir jalan.

Revolusi Iran memberi pengaruh besar dalam imajinasi publik saat itu. Khomeini tampil dengan karisma revolusionernya di kalangan anak muda. Orang kebanyakan, seperti juga sosok Dilan yang sekarang populer, tidak terlalu mempersoalkan apakah ia mewakili sosok penting penganut Syiah yang merupakan arus berbeda dari Sunni yang merupakan aliran mayoritas di Indonesia.

Pokok utamanya lebih disebabkan oleh keberhasilannya menggerakkan revolusi di Iran dan menumbangkan rezim yang didukung Amerika Serikat sebagai kekuatan adidaya. Ia adalah kisah lain tentang David melawan Goliat. Seperti dalam kisah film India, sosok yang terlihat lemah tetapi ternyata mampu mengubah sejarah secara alamiah menjadi panutan. Di kalangan pemuda remaja, memajang posternya di dalam kamar adalah bagian dari identifikasi diri pada elan revolusioner dan dinamisme pemuda. Saya Sasaki Shiraishi dalam karyanya, Young Heroes, dengan cermat menangkap psikologi populer saat itu. Kisah Ali Topan dan sifatnya yang ugal-ugalan sekaligus pintar dan tampan mewakili alter ego lain kalangan muda Indonesia saat itu. Ia adalah simbol perlawanan pemuda terhadap ideologi Bapakisme Orde Baru yang meredam semangat kaum muda.

Di luar imaji budaya populer, Khomeini menjadi sosok yang mewakili hasrat revolusioner kaum muda dekade 1980 sampai 1990 dalam kehidupan politik. Di lingkungan kampus, pembicaraan intelektual tentang Revolusi Iran memadukan apa yang disampaikan ajaran Syiah dengan gagasan revolusioner dari revolusi tersebut. Buku Ali Syariati yang berjudul Tugas Cendekiawan Muslim yang disunting dan diterjemahkan Amin Rais menjadi salah satu buku populer zaman itu. Buku itu memberi rujukan bagi kalangan intelektual muda Indonesia tentang masalah sosial yang melatari revolusi itu sekaligus peran kaum intelektual di dalamnya.

Popularitas Revolusi Iran di pengujung dekade 1970 memiliki kesamaan arus psikologis di kalangan muda sebagaimana popularitas revolusi Generasi Bunga yang terjadi di awal dekade yang sama. Apabila pada awal 1970-an yang tampil adalah para “cross boy” dan generasi rambut gondrong ala Ali Topan yang menjadi penggerak demonstrasi mahasiswa menolak pembangunan Taman Mini Indonesia Indah seperti yang disuarakan Arif Budiman dan aksi mahasiswa dalam peristiwa Malari 1974, pengujung dekade ditandai dengan upaya kalangan terpelajar membuat sintesis yang memadukan latar belakang keagamaan dengan elan revolusioner yang diwakili revolusi Iran.

Ada satu gambaran menarik yang tampil di sini. Selain poster Khomeini, tidak ada simbol-simbol yang mewakili semangat revolusi itu selain pemikiran. Amin Rais yang menjadi penerjemah dan penyunting buku Syariati atau Jalaluddin Rakhmat yang menjadi sosok intelektual terkemuka yang menyuarakan gagasan pemikiran Syiah di publik tidak tampil dengan sorban dan jubah hitam ala Khomeini. Mereka tetap terlihat kelimis seperti kebanyakan orang Indonesia lainnya.

***

Era 1990-an awal menampilkan wajah Indonesia yang selain hening dan tenteram, juga kelimis seperti sosok Dilan yang menggemaskan. Novel Pidi Baiq berjudul Dilan, Dia Adalah Dilanku Tahun 1990 dalam kaitan ini menjadi representasi ideal gambaran itu. Tokoh yang diciptakannya memenuhi maksim ideal sosok pemuda dalam kebudayaan Jawa yang menempatkan para Jaka (/Joko) sebagai garda depan perubahan sejarah. Sifat dinamis adalah hal lumrah dunia muda. Mereka durung nJawa. Agresivitas para Jaka dimaklumi sebelum mereka memasuki kehidupan stabil setelah menikah, menjadi mahluk dewasa dengan kemampuan menjaga emosi dan gejolak hati.

Dilan adalah Jaka yang paripurna dalam alam budaya Jawa. Ia energik, imut-imut, berani menabrak aturan-aturan masyarakat, selain juga cerdas—hal yang membuatnya menggemaskan bagi remaja putri. Apabila Pidi memundurkan cerita Dilan sampai dekade 1970-an, mungkin Dilan tampil dengan rambut ikal gondrong sebahu dengan dua kancing kemeja bagian atas terbuka menampilkan dada kerempengnya. Namun, dia adalah Dilan tahun 1990.

Milea sebagai remaja putri zaman itu memahami karakter dunia muda yang dinamis dan agresif Dilan melalui poster Khomeini di kamarnya. Tanpa perlu tampil dengan sorban dan jubah hitam, poster sudah cukup menyatakan posisi Dilan. Meski Ayatullah Khomeini adalah imam penting pengikut Syiah, tetapi Dilan sesuai standar moral zaman itu tidak terlalu mempermasalahkan latar belakang tersebut. Memajang posternya di kamar tidak menjadikan aparat intelijen dan BAKIN menganggap Dilan sebagai fanatik pendukung mazhab keagamaan tertentu. Ia adalah Dilan yang mewakili dunia para Jaka yang dinamis. Bagi Milea, ini adalah daya tarik utama. Sebaliknya, Milea pasti mengerutkan dahinya jika melihat poster Pak Camat berpakaian safari di kamar Dilan. Ia akan menyimpulkan pria idamannya memiliki masalah kepribadian ganda dengan semangat memerintah dalam kepribadian yang lain.

***

Bagaimanapun zaman berubah. Rezeki nomplok bom minyak dengan cepat menguap. Kesetiaan para pegawai yang dibeli dengan kekayaan minyak segera luntur. Soeharto yang semakin beranjak tua tidak lagi bisa mengontrol arus perkembangan baru di lingkungan tentara. Ia mencari pendukung baru yang didapatnya melalui kalangan Islam. Untuk lebih meyakinkan khalayak, ia dan istri naik haji dan pulang dengan tambahan nama baru yang memperkaya namanya yang semula hanya satu kata: menjadi Haji Muhammad Soeharto.

Di dalam masyarakat yang istanasentris, perubahan di puncak kekuasaan segera terasa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Ilustrasi terbaiknya muncul ketika seseorang mendapatkan jawaban assalamualaikum yang menggantikan kata halo di ujung telepon memasuki akhir dekade 1990. Pada saat sama, Revolusi Iran telah kehilangan pesonanya. Suasana revolusioner di Iran telah digantikan oleh negara yang mengonsolidasikan kekuasaannya. Ia adalah negara, bukan lagi revolusi.

Kelas menengah yang lahir pun tidak membutuhkan romantisme pemberontakan generasi Ali Topan atau kaum muda era Dilan tahun 1990. Mereka ingin menikmati hidup dan menjadi konsumen yang hidup di zaman kapitalisme mutakhir. Standar moral baru lahir mengisi zaman yang berubah. Fahri tampil menggantikan Ali Topan dan Dilan.

Persoalannya, Dilan tampil menjadi sosok populer sekarang ini ketika gambaran ideal tentang Fahri belum seluruhnya surut. Fahri sayup-sayup tetap merupakan kekuatan yang membentuk imaji pasar dalam industri film, di samping hantu-hantu menyeramkan lainnya. Kontradiksi ini yang melahirkan sentimen kritik terhadap poster Khomeini di kamar Dilan. Standar moral masa kini menjadikan poster itu sebagai batu kerikil di dalam sepatu sebagian audiens Dilan. Situasi akan berbeda jika ornamen di kamar Dilan cukup diwakili tasbih, kopiah model Turki, atau jubah yang menggambarkan kesalehan masa kini.

Kritik terhadap poster Khomeini di kamar Dilan menyebabkan Pidi harus memberikan keterangan tentang makna poster tersebut. Sebagai penulis, Pidi dengan cepat bisa melakukannya. Bagaimana dengan produser? Di sini ada persoalan lain. Buku novel bisa dinikmati secara privat di dalam kamar atau di stasiun sambil menunggu kereta datang. Tak ada orang yang mengganggu kegiatan ini. Sementara film adalah tontonan bersifat sosial dengan ruang geografis dan sejumlah orang berkumpul dalam waktu bersamaan. Ia memiliki kerentanan seperti halnya diskusi-diskusi yang dibubarkan polisi dengan alasan keamanan. Di sini ada miliaran rupiah yang dipertaruhkan dan produser perlu berpikir panjang apabila ingin membuat sekuel kedua dari film yang laris manis di pasaran.

Apakah dalam upaya menyesuaikan diri dengan situasi pasar kita akan menyaksikan sosok Dilan yang “mem-Fahri” dalam sekuel selanjutnya? Wallahualam bissawab.

Exit mobile version