Perihal e-KTP Belum Jadi, Kita Semua Bukan Pemula

ILUSTRASI Memang Sudah Seharusnya e-KTP Berfungsi dengan Baik kayak di CS Digital BCA mojok.co

ILUSTRASI Memang Sudah Seharusnya e-KTP Berfungsi dengan Baik kayak di CS Digital BCA mojok.co

MOJOK.COPerkara e-KTP belum jadi ini bukan hal main-main, Pak, Bu. Kelangsungan asmara saya juga dipertaruhkan!

Di tengah kehebohan lini masa berkat foto black hole, keadaan bumi yang semakin menua, anak-anak semakin dewasa, dan orang-orang dewasa berubah jadi sok muda, saya penasaran: ada nggak, sih, manusia matang di sekitar kalian yang punya takdir “e-KTP belum jadi”?

Kalau ada, berarti kita senasib, Sayang!

Saya lahir tahun 90-an, dan dengan fakta inilah saya sering menjadi bahan candaan kawan-kawan karena jadi tampak menyedihkan. Sudahlah jauh lebih tua kalau dibandingin sama Zara JKT48 (yaiyalah!), nggak punya e-KTP pula. Ckck.

Sering kali, orang-orang yang mengalami kisah e-KTP belum jadi ini memilih untuk berkelakar dan menyebut bahwa e-KTP-nya ketinggalan. Ada juga yang secara asal-asalan bilang si e-KTP ini sengaja ditinggal di hati mantan rental motorlah, dicuri aseng-lah, dituker sama dana umum monopoli lah, macem-macem pokoknya. Kenapa bisa begitu?

Ya gimana lagi, bagi saya—yang sampai detik ini belum juga memiliki suami e-KTP—ketiadaan kartu identitas ini menjadikan saya bagaikan seorang imigran Merkurius. Yah, walaupun saya sendiri juga nggak tahu sih apakah di planet Merkurius ada kehidupan atau nggak.

Hingga saat ini, entah sudah berapa kali saya harus bolak-balik menemui mas-mas wangi berwajah masam yang bekerja di kantor kecamatan. Bukan, saya bukan lagi mau PDKT—saya ini sedang memperjuangkan hak e-KTP saya!

Sayangnya, si pegawai kecamatan selalu dan selalu memberi saya surat cinta untuk Starla keterangan KTP sementara.

Iya, iya, benar: surat keterangan KTP ini hadir dalam wujud berupa selembar kertas HVS yang rapuh, rawan, dan riskan itu—yang kalau ditilang polisi, kita harus membentangkannya seperti bendera Republik Cinta Management itu.

Pengganti e-KTP fisik alias surat keterangan KTP sementara ini lebih populer disebut Suket. Perlu kamu ketahui, Suket ini berlaku hanya 6 bulan setelah penerbitan. Artinya, kamu harus selalu memperpanjang Suket ini tiap 6 bulan sekali.

Itulah sebabnya, Kawan-kawan sekalian, saya sebutkan tadi bahwa saya sudah bolak-balik ketemu sama mas-mas di kantor kecamatan. Tapi ya sudahlah, mau bagaimana lagi? Mungkin proses perpanjangan Suket ini memang sengaja diberlakukan untuk memperpanjang silaturahmi. Aselole jos~

Ada banyak faktor yang memengaruhi belum terbitnya e-KTP saat ini, misalnya karena adanya persyaratan yang belum terlengkapi atau perekaman e-KTP yang lebih dari satu kali sehingga terjadi duplikasi. Tapi, faktor yang kerap kali saya temui tiap menagih e-KTP ke kantor kecamatan adalah…

…blangkonya habis.

Sayang sekali, Anda belum beruntung!

Dan sungguh, misteri “kenapa-blangko-e-KTP-sering-kali-tidak-tersedia” sepertinya sudah layak masuk dalam 3 misteri yang sulit terungkap di tanah Indonesia, setelah misteri nomor satu (“kenapa-guru-PAUD-kebanyakan-adalah-wanita”) dan misteri nomor dua (“di-manakah-Ponari-kini-berada”).

Tapi, yang lebih menghujam jantung dan bikin kepala saya gelang-geleng  adalah munculnya info mengenai pembuatan KTP Anak.

Haduuuh, Pak, Bu, bukannya gimana-gimana, tapi mbok ya beresin dulu tho KTP-KTP-nya orang dewasa~

Maksud saya, gini, loh: anak-anak ini kan belum sampai masa darurat menikah, belum juga berniat buka rekening buat jualan skincare online. Mereka juga belum ada niatan untuk bikin SKCK biar keterima kerja. Jadi, apa, sih, urgensinya bikin KTP anak???

Dalam keadaan ini, sungguh, saya merasa menjadi sobekan Antangin yang tidak dipedulikan lagi oleh negara ini.

Pernah, nih ya, suatu ketika, virallah berita yang menyebutkan bahwa ribuan e-KTP dalam karung berserakan di daerah Duren Sawit. Saya auto terkejut dan terheran-heran: jangan-jangan, e-KTP saya dikarungin juga oleh orang tak bertanggung jawab dan dibuang ke daerah lain. Bisa saja, kan???

Kecurigaan saya ini juga kian dikompori dengan adanya berita viral lainnya: ada warga negara asing yang memiliki e-KTP di Cianjur!!!!!1!!1!!!

Like, what theee???!!! Saya ini loh, manusia asli Indonesia, di mana tali ari-ari saya dikubur di tanahnya, kok tega nian sampai dilangkahi warga negara asing untuk hal yang sangat krusial ini??? Bagaimana bisa, Kisanak???

Tapi, yah, dunia kan bukan hanya milik kita saja. Sejelibet-nya manusia di muka bumi ini, pasti ada satu-dua orang yang mengalami hal yang sama dengan kita.

Awalnya saya juga gusar, tapi lama-kelamaan makin banyak warganet yang mulai curhat kalau e-KTP-nya pun bertahun-tahun belum terbit juga. Uuuuuh, rasanya ingin bagi-bagi virtual hug~

Di titik ini, saya nggak mau menyalahkan orang lain atas masalah e-KTP belum jadi yang saya alami. Saya juga nggak bakal bikin boomerang di Instagram dengan caption membabi buta seperti:

“E-KTP dikorupsi, gue yang tersisih!”

“Belum punya e-KTP di usia puluh-puluh?  Malu, dong, sama bulu!”

Tapi, saya tahan caption itu semua. Kalau nggak, bisa-bisa ketahuan kalau saya sudah banyak berbulu bisa turun elektabilitas saya sebagai calon mantu masa depan!

Jujur, kegusaran ini tidak lantas menghilang. Dengan darah senioritas yang membuncah, saya merasa nggak nyaman kalau harus terus mengantre di kantor kecamatan bareng anak-anak puber kemaren sore yang tiap antrean macet pasti bikin konten di Instagram sambil bilang, “Ashiaaaap!”

Serius, deh, dunia apa sih ini???

Jangan anggap saya nggak berusaha. Malah, saya ini sudah kehabisan alasan untuk minta e-KTP saya dipercepat, mulai dari yang paling ringan semacam: “Pak, saya mau buka rekening, harus ada e-KTP asli,” hingga alasan paling modus, kayak: “Pak, saya mau daftar ke KUA. Penghulunya nggak mau terima kalau cuma dikasih KTP sementara,” bahkan alasan yang terdengar sangat desperate, seperti: “Pak, saya ini angkatan Angling Dharma. Masa e-KTP belum jadi juga!”

Tapi, menyedihkannya, semua bapak/ibu di kantor kecamatan selalu mengurai alasan yang sama: “Pakai Suket saja dulu. Bisa kok, Bu. Blangkonya sedang habis, nih. Terima kasih.”

See? Sudah mah saya dipanggil “Ibu”, masalahnya mentok di blangko lagi dan lagi. Kenapa, sih, mereka itu nggak minta blangkonya ke Didi Kempot—yang kita semua tahu selalu memakainya di kepala?

Krik krik krik~

Sungguh, mengurus problematika e-KTP belum jadi ibarat perwujudan nyata dari twit @dwitasaridwita yang dulu fenomenal: saya kini tengah berada di titik lelah. Eaaaa!

Diledek habis-habisan, dicap sebagai warga planet Saturnus,dan  dianggap cuma lagi pura-pura nggak punya e-KTP adalah hal yang sudah lumrah dirasakan para pemburu e-KTP, termasuk saya. Sebenarnya, kekesalan ini nggak mengganggu-mengganggu banget, sih…

…soalnya, yang paling mengganggu cuma jawaban dari calon saya setiap kali saya tanya kapan ia bakal meminang saya.

Dengan enteng, ia bakal menjawab, “Ya nanti lah, kalau Adek sudah punya e-KTP.”

Hadeeeehhh!!!

Exit mobile version