Pelarangan Cadar Tak Berbeda dari Pelarangan Jilbab - Mojok.co
  • Cara Kirim Artikel
Mojok
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
Logo Mojok
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
Home Esai

Pelarangan Cadar Tak Berbeda dari Pelarangan Jilbab

Prima Sulistya oleh Prima Sulistya
6 Maret 2018
0
A A
cadar hitam
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – Pada masa Soeharto, penggunaan jilbab di sekolah dilarang. Sekarang, jilbab wajib dan gantinya adalah pelarangan cadar. Antara dua atribut keislaman beda zaman ini, ada kesamaan cerita: sama-sama dicurigai kekuasaan.

Jika sekarang cadar dilarang, dulu jilbab pernah merasakan hal sama. Lagu lama ini bisa ditemukan dalam Pendidikan yang Memiskinkan, ditulis oleh pengamat pendidikan Darmaningtyas.

Jilbab dilarang di masa Soeharto. Aturan resminya keluar di tahun ‘82 dan ‘83 mengenai pedoman Pakaian Seragam Anak Sekolah (PSAS). Larangan ini menimbulkan kasus di sejumlah daerah di Indonesia. Salah satunya pada 1985 ketika 19 siswa SMA 1 Jakarta diskors dan kemudian dipersilakan pindah sekolah karena mereka memakai jilbab. Kasus di SMA 1 hanya satu dari banyak kasus serupa yang bertubi-tubi terjadi setahun sebelumnya.

Kasus ini menimbulkan polemik di media massa. Di surat pembaca di majalah Tempo, pendukung jilbab membela diri: harusnya siswi-siswi itu sah untuk memakai jilbab di sekolah karena mereka cuma “mengamalkan pendidikan moral dan agama serta melaksanakan TAP II MPR tahun 1983 yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah ‘Meningkatkan Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa’.”

Balasan kemudian datang dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kepala Humas dan Lembaga Negara Mudjito, lewat Tempo, memberi 8 alasan kenapa jilbab lebih baik tidak dipakai di sekolah. Poin nomor 7 akan membuatmu terjungkal.

Baca Juga:

DPR Minta Seleksi CPNS 2021 Diulang karena Ada Kecurangan? Oya Ding, Rakyat Kan Tak Bisa Punya Oknum

Jerat Warisan Bahasa Orde Baru

Sebelum Listrik PLN Masuk Kampung Saya: Lebih Baik Nyalain Diesel daripada Mengutuk Kegelapan

  1. Seragam berfungsi menghilangkan perbedaan berdasarkan suku, ras, agama, dan golongan.
  2. Seragam bertujuan menumbuhkan rasa persatuan.
  3. Kerudung (isitlah zaman itu) bukan soal agama sehingga tidak ada hubungannya dengan TAP II MPR Tahun 1983. Justru masalah kerudung itu berhubungan dengan pasal 27 ayat 1 UUD 1945 bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.
  4. Seragam yang penting sopan dan menampilkan budaya bangsa.
  5. Dalam ajaran islam, ulama sepakat bahwa aurat harus ditutup saat beribadah, tetapi di luar ibadah, ulama masih berbeda pendapat.
  6. Sudah ada ketentuan dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah
  7. Harus disadari bahwa sebaik-baiknya pakaian adalah iman dan takwa.
  8. Polemik soal seragam sekolah ini di Indonesia sudah selesai, kecuali di beberapa sekolah di Bandung.

Pelarangan jilbab baru berhenti berlaku di era Menteri Pendidikan Wardiman Djojonegoro yang menjabat pada 1993-1998. Ini masa yang dicatat oleh para sarjana sebagai momen Soeharto mendekat ke kekuatan Islam setelah ia naik haji di tahun 1991. Naik haji yang pertama, di usia 70 tahun.

***

Belum lama ini saya mendengar bahwa di tahun ‘80-an, belum ada kewajiban berjilbab di Institut Agama Islam Negeri (IAIN, saat ini beberapa menjadi UIN). Sekarang, rata-rata kampus Islam, dari kampus negeri sampai universitas milik Muhammadiyah, lumrah mewajibkan penggunaan jilbab. Aturan serupa juga berlaku di sekolah Islam dari SMA hingga TK.

Artinya, hanya dua dekade lebih sedikit setelah siswa-siswa SMA 1 Jakarta diskors, jilbab bukan hanya diterima, tapi juga diperkuat posisinya. Di sekolah-sekolah negeri saat ini, jika bukan rok dan kemeja panjang, jilbab bahkan diwajibkan secara halus sebagai seragam.

Pengalaman sejarah ini harusnya membuat kasus pelarangan penggunaan cadar di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengantar kita pada diskusi yang sangat menarik. Setidaknya tidak akan kurang menarik dibanding diskusi yang pernah digelar di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Mei 2002 dengan tajuk “Jilbab Yes or No: Problematika Pewajiban Berjilbab di UIN Jakarta”.

Poin saya adalah, pertama, pada satu titik walau di beda masa, jilbab dan cadar pernah ada di posisi sama.

Jika jilbab dulu dilarang atau boleh dipakai, tapi pemakainya akan menemui kesulitan-kesulitan, di posisi yang sama pula cadar berada sekarang. Jika cadar sekarang dicurigai sebagai identitas penganut “radikalisme Islam”, penghayat pan-Islamisme atau populer disebut “khilafah”, ada suatu masa ketika jilbab juga diposisikan demikian. Jika cadar sekarang ditolak dengan alasan-alasan teknis seperti gerak bibir tak tampak, wajah tak bisa dikenali, ada suatu masa ketika jilbab juga dituduh membuat wajah tak jelas karena menyembunyikan telinga.

Menyembunyikan telinga membuat wajah jadi tak jelas. Alasan yang sekarang terdengar konyol, ya? Bagi saya, iya. Sama konyolnya dengan argumen bahwa seseorang tak perlu pakai jilbab sebab “sebaik-baiknya pakaian adalah iman dan takwa”.

Alasan-alasan seputar penolakan cadar juga terdengar mengada-ada. Membuat sesuatu yang bukan masalah menjadi masalah. Semisal, ada kekhawatiran jika saat sidang skripsi, penguji tidak bisa membuktikan bahwa mahasiswa bercadar itu adalah benar dia. Ini problem yang sangat teknis, terlalu remeh dibanding persoalan yang lebih krusial semisal bagaimana menghapus kultur joki skripsi.

Di media sosial kita juga melihat pengguna cadar dilecehkan ketika makan di tempat umum. Sangat mungkin di masa lalu juga ada yang tertawa ketika orang berjilbab ingin berenang—hal yang sekarang tak mungkin kita anggap punya aspek lucu.

Poin saya yang kedua menyangkut tema diskusi di UIN Jakarta 2002 tadi. Kenapa setelah dilarang, jilbab menjadi wajib?

Saya pikir, justru bukan jilbab atau cadar yang perlu dicurigai apalagi ditakuti. Kata wajib yang jauh lebih mengerikan. Saya ambil contoh peristiwa di Tegal, di satu pesantren. Oleh pengelola pesantren, semua santri perempun diwajibkan pakai cadar. Pemerintah yang gerah melihat itu kemudian turun tangan dan membuat aturan baru: pesantren diwajibkan tidak mewajibkan santri memakai cadar.

Di Yogya, Universitas Kristen Duta Wacana kena geruduk. Bukan karena dia mewajibkan mahasiswa muslim pakai busana suster, tapi karena spanduk promosi kampus yang menampilkan mahasiswa muslim pakai jilbab. Sejak itu kampus Kristen tersebut wajib tidak boleh menampilkan foto mahassiwa berjilbab lagi. Sementara Di UIN Syarif Hidayatullah, seorang dosen bercadar “diminta mengundurkan diri”.

“Wajib untuk” dan “wajib untuk tidak” punya sensasi horor yang sebelas dua belas. Jadi, selain memperkarakan sikap otoriter UIN Yogya terhadap mahasiswa bercadar, sudah saatnya kita memperkarakan soal wajib-wajib ini (mungkin termasuk pula wajib belajar). Apa sih relevansinya kampus melarang mahasiswa gondrong atau bercadar atau pakai sandal, misalnya?

Tags: Orde Barupelarangan cadarpelarangan jilbabUIN Sunan Kalijaga
Prima Sulistya

Prima Sulistya

Penulis dan penyunting, tinggal di Yogyakarta

Artikel Terkait

DPR Minta Seleksi CPNS 2021 Diulang karena Ada Kecurangan? Oya Ding, Rakyat Kan Tak Bisa Punya Oknum

6 November 2021
Jerat Warisan Bahasa Orde Baru

Jerat Warisan Bahasa Orde Baru

15 Oktober 2021
Sebelum Listrik PLN Masuk Kampung Saya: Lebih Baik Nyalain Diesel daripada Mengutuk Kegelapan

Sebelum Listrik PLN Masuk Kampung Saya: Lebih Baik Nyalain Diesel daripada Mengutuk Kegelapan

3 September 2021
Parenting dan Penyesalan Orang Tua yang Terlambat karena Anak Tumbuh Secepat Kilat

Parenting dan Penyesalan Orang Tua yang Terlambat karena Anak Tumbuh Secepat Kilat

25 Juli 2021
In Memoriam Harmoko: Hari-hari Penuh Keberuntungan MOJOK.CO

In Memoriam Harmoko: Hari-hari Penuh Keberuntungan

6 Juli 2021
Habis Era Orde Baru Terbitlah Era Orba Baru

Habis Era Orde Baru Terbitlah Era Orba Baru

14 Mei 2021
Pos Selanjutnya
Nafkah-Hary-Tanoe-MOJOK.CO

Menghitung Kekayaan Hary Tanoe, Taipan Media Pilih Tanding Merangkap Pemimpin Perindo

Komentar post

Terpopuler Sepekan

Kereta Cepat Jakarta Bandung Sumber Petaka Masa Depan: Indonesia Dicaplok, Cina Menang Banyak MOJOK.CO

Kereta Cepat Jakarta Bandung Sumber Petaka Masa Depan: Indonesia Dicaplok, Cina Menang Banyak

8 Agustus 2022
cadar hitam

Pelarangan Cadar Tak Berbeda dari Pelarangan Jilbab

6 Maret 2018
Asrama mahasiswa Sumatra Selatan, Pondok Mesudji dalam sengketa di pengadilan. Mahasiswa menilai ada campur tangan mafia tanah.

Mahasiswa Sumsel di Asrama Pondok Mesudji Jogja Terancam Pergi karena Mafia Tanah

11 Agustus 2022
Lampu merah terlama di Jogja. (Ilustrasi Ega Fansuri/Mojok.co)

Menghitung Lampu Merah Terlama di Jogja, Apakah Simpang Empat Pingit Tetap Juara?

9 Agustus 2022
pola pengasuhan anak mojok.co

Psikolog UGM Jelaskan Tipe Pola Asuh yang Bisa Berdampak pada Hasil Akademik Anak

5 Agustus 2022
Kisah Bagaimana Gus Dur “Membela” Karya Salman Rushdie MOJOK.CO

Kisah Bagaimana Gus Dur “Membela” Karya Salman Rushdie

14 Agustus 2022
Derita Gagal SBMPTN dan (Ditolak) Perguruan Tinggi Favorit MOJOK.CO

Derita Gagal SBMPTN dan (Ditolak) Masuk Perguruan Tinggi Favorit

5 Agustus 2022

Terbaru

alfamart mojok.co

Karyawan Diancam UU ITE, Alfamart Tunjuk Hotman Paris sebagai Pengacara

15 Agustus 2022
Kiki Ucup: Pestapora, Lagu 2000an, hingga Musisi Reunian

Kiki Ucup: Pestapora, Lagu 2000an, hingga Musisi Reunian

15 Agustus 2022
Es Putr Pak Sumijan Lasem

Warung Es Puter Pak Sumijan Lasem: Kemewahan di Balik Uang Rp5 Ribu

15 Agustus 2022
parpol peserta pemilu mojok.co

40 Parpol Resmi Daftar Jadi Peserta Pemilu, Siapa Saja?

15 Agustus 2022
penembakan brigadir j mojok.co

Timsus Polri ke Magelang, Telusuri Pemicu Penembakan Brigadir J

15 Agustus 2022

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
DMCA.com Protection Status

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
  • Mau Kirim Artikel?
  • Kunjungi Terminal

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In