PDKT Kedok Religi ala Anak Gereja Katolik

MOJOK.CO – Bagi kami umat Katolik, lampu hijau PDKT bisa ditandai dari ajakan sederhana: ngajak ke gereja bareng buat ibadah Minggu.

Di Indonesia Raya ini, tuntutan menikah sering dibuat oleh lingkungan tanpa tawaran solusi yang memadai.

Pertanyaan; “kapan kawin?” hampir pasti tidak diikuti dengan pernyataan; “ini untuk ongkos resepsi,” atau, “ini lho calonnya, pasti mau sama kamu,” namun hanya sekadar basa-basi busuk yang tidak lebih dari tambahan kopok di telinga.

Padahal, untuk bisa kawin, yang pertama sekali diperlukan itu adalah adanya calon bini, kecuali kalangan #IndonesiaTanpaPacaran. Banyak orang memandang remeh status pacaran, padahal tidak semua orang yang pengen punya pacar lantas bisa pacaran.

Ada sebuah periode krusial bernama pendekatan alias PDKT yang bisa jadi titik balik maupun titik lanjut. Bagi PDKT yang standar, tanda lampu hijau gebetan mau lanjut adalah jika mau diajak ke mal atau malam mingguan gelap-gelapan di lapangan pabrik Barbie di Cikarang. Ah, tapi itu mah biasa. Standar.

Ada yang khas bagi minoritas penganut Kristen maupun Katolik Roma, soal PDKT ini. Pergi malam mingguan untuk nonton Dilan mungkin bisa, namun lampu PDKT masih suram ketika satu kegiatan belum bisa terwujud. Apa itu?

Yha, ke gereja bareng untuk ibadah bersama.

Sebagai pembuat tanda salib saya hanya bisa mengulas soal metode kedok religi semacam ini dari sudut pandang penganut Katolik. Teman-teman yang Kristen mungkin akan serupa, cuma paling agak repot aja kalau pas ada orang Gereja Kristen Jawa (GKJ) harus PDKT dengan orang Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Mau ke gereja yang mana?

Jadi, sesudah 2-3 pekan bertukar pesan dan mulai saling mengingatkan untuk bangun, makan, hingga bernapas, tibalah saatnya bagi (biasanya) kaum pria untuk mengeluarkan pertanyaan default.

“Besok Minggu ke gereja bareng yuk?”

Hm, bagian ini sungguh tak semudah yang kamu kira, Kisanak.

Bagi gadis rumahan, ke gereja Katolik untuk ibadah Minggu itu biasanya bersama orang tua atau orang yang dituakan. Untuk anak kos-kosan ke gereja adalah jatah untuk pergi bersama kakak atau adik, atau teman-teman rombongan kos.

Jadi pergi ke gereja bersama gebetan adalah sebuah pengesahan bahwa PDKT yang dilakukan punya harapan untuk berlanjut ke tahapan yang lebih intim.

Apalagi di kota-kota yang gerejanya hanya 1 atau 2 seperti Jambi atau Palu, maka momen ibadah bareng itu malah sekalian jadi bentuk sosialisasi kepada khalayak bahwa sebentar lagi akan ada pasangan baru.

Selain sebagai metode sosialisasi, kedok ini juga bisa digunakan untuk titik tolak pengesahan terutama jika tercyduk oleh orang yang dikenal. Cara ini pernah terjadi pada dua teman saya yang tadinya seperti tikus dan kucing, tipikal kakak kelas songong dan adik kelas yang rebel, tiba-tiba tertangkap tangan sedang berdua di gereja.

Kala bertemu mereka, saya bertanya, “Jadi udah, nih?”

Oknum yang ditanyai hanya mesam-mesem. Keesokan harinya, saya mendapat kabar bahwa mereka berdua sudah jadian, tepat sepulang dari gereja dan si cowok nembaknya berangkat dari pernyataan saya, “Kata si Arie kita sudah jadi kan? Jadi gimana?”

Basi memang, tapi nyatanya manjur tuh.

Bersama-sama ke gereja sejatinya adalah wujud kebahagiaan bahwa ada harapan untuk beroleh jodoh seiman, sebagaimana yang selalu diharapkan oleh para orang tua. Plus bonus bisa bergandengan tangan dalam status bukan pacar pada saat seluruh umat menyanyikan lagu Bapa Kami. Lumayan kan dapat 2-3 menit pegangan.

Ini sungguh pemikiran yang tidak saleh, namun yakin lah pasti ada di dalam benak para lelaki yang menggunakan kedok religi sebagai bagian dari PDKT.

Meski demikian, namanya juga berhubungan dengan manusia, ada ekspektasi yang perlu dikelola karena mau diajak beribadah bersama di gereja tidak serta merta akan selalu berakhir bahagia. Saya berikan tiga contoh kegagalan.

Pertama, seorang cowok mengajak seorang cewek ke gereja kampus. Mereka berdua memang lagi dekat pasca sama-sama jadi panitia Ospek di fakultas. Begitu tiba di gereja, si cewek mendapat pertanyaan dari temannya yang kebetulan lewat.

“Masnya ke mana?”

“Ada. Masih di Surabaya. Lagi nggak pulang aja.”

Baiklah, kedok religi ini ternyata sekadar biar nggak ke gereja sendirian saja. Pacar si cewek ada di kota lain. Si cowok cukup membahagiakan diri dengan kesuksesan mengajak pacar orang ke gereja. Gereja kampus pula. Hedeh, mending makan sampah aja deh.

Contoh kedua, seorang mahasiswa angkatan atas mengajak mahasiswi yang baru masuk usai kenalan habis kegiatan Ospek. Berhubung chatting lancar dan ngobrol selama makan malam asyik-asyik saja, si mahasiswa percaya diri mengajak adik kelasnya itu ke gereja di Kotabaru, Jogja, dengan niat mulia habis dari gereja mau nembak.

Begitu sampai di gereja, si mahasiswa baru tahu kalau ternyata adik kelasnya itu bukan Katolik karena tidak maju saat komuni kudus. Berhubung ekspektasinya adalah mencari pacar yang betul-betul seagama, maka niat suci mulia tadi dibatalkan dan sang adik kelas dipulangkan tanpa lanjutan chat maupun makan malam. Cinta memang kejam, deritanya tiada kenal iman.

Ketiga, terjadi di sebuah kawasan industri. Seorang pekerja berusia 25 tahun bersua dengan adik kelasnya selisih dua tahun yang baru bekerja di tempat tersebut. Sebagai kakak kelas yang baik dan kebetulan baru kosong, ia jadi akrab dengan si adik kelas, termasuk punya jadwal pagi-pagi ke gereja.

Masih sebagai kakak kelas yang baik, si adik kelas itu kemudian dikenalkan ke rekan-rekan sekampus ketemu di gereja, baik cowok maupun cewek. Yah, sekadar membangun keguyuban alumni di kejamnya kawasan industri.

Setelah tiga kali ke gereja bareng, si kakak kelas kemudian mendapati bahwa si adik kelas udah lebih dekat dengan orang lain. Orang yang jebul salah satu teman yang dikenalkan tadi. Pfft, hidup emang bangsat, Mas.

Harus diakui sih, pada dasarnya cinta dan agama itu bisa diusahakan seiring dengan PDKT berkedok religi ke gereja bareng. Perkara gagal, itu biasa dan tidak perlu khawatir. Santai aja, yang senasib banyak kok.

Bertahun-tahun kemudian—sembari mengejar anak batita yang berlarian keliling gereja—pengalaman kegagalan-kegagalan itu bisa ditulis di ponsel, diedit dikit, lalu dikirim ke Mojok, persis seperti yang barusan saya lakukan. Hiks.

Exit mobile version