Pariwisata Jogja Katanya Maju, tapi kok Miskin? Makanya, Mari Merangkul Anak Muda

Namun, di balik tingginya kunjungan wisatawan, Jogja juga menjadi provinsi yang memiliki nilai kemiskinan cukup tinggi. Per September 2019, tingkat kemiskinan di sini sebesar 11,44%. Sementara itu, pada September 2022, tingkat kemiskinan mengalami kenaikan ke 11,49%. 

Pariwisata Jogja Katanya Maju, tapi kok Miskin? MOJOK.CO

Ilustrasi Pariwisata Jogja Katanya Maju, tapi kok Miskin? (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSektor pariwisata Jogja itu mempunyai potensi yang besar. Namun, realitanya, provinsi ini menjadi termiskin di Pulau Jawa. Kenapa, ya?

Kita mengenal Jogja dengan berbagai istilah. Ia dikenal sebagai kota pelajar. Ada juga yang memandangnya sebagai kota budaya dan wisata. Jogja memiliki kekayaan budaya yang sangat potensial. Ini menjadi salah satu kekuatan untuk sektor wisata. Menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. 

Namun, ada “sisi gelap” dari segala istilah luar biasa di atas. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per Januari 2023, Provinsi DIY menjadi provinsi paling miskin di Pulau Jawa. Ya, itulah realita yang terjadi di balik romantisnya kata “Jogja”.

Setelah memikirkan fakta tersebut selama beberapa waktu, saya merasa semuanya aneh dan tidak relevan. Bagaimana bisa, provinsi yang mempunyai potensi besar di sektor wisata, justru menjadi yang termiskin di Pulau Jawa. Selain itu, kaum muda terdidik di provinsi ini juga banyak. Apa yang salah? Mari kita mendiskusikannya dengan kepala dingin dan hati jernih. 

Pertumbuhan sektor pariwisata Jogja dan kemiskinan yang terjadi

Dinas Pariwisata Yogyakarta mencatat pertumbuhan kunjungan pada 2019 mencapai 6.549.382 wisatawan. Mari kita tengok jumlah kunjungan 10 tahun sebelumnya, yaitu 2009. 

Saat itu, jumlah wisatawan yang menengok Jogja mencapai 1.426.057. Artinya, pertumbuhan yang dicatatkan provinsi ini mencapai 450 persen. Sebuah fakta yang lantas membuat Jogja sempat mendapatkan predikat “Bali Kedua”.

Namun, di balik tingginya kunjungan wisatawan, Jogja juga menjadi provinsi yang memiliki nilai kemiskinan cukup tinggi. Per September 2019, tingkat kemiskinan di sini sebesar 11,44%. Sementara itu, pada September 2022, tingkat kemiskinan mengalami kenaikan ke 11,49%. 

Selain itu, Upah Minimum Provinsi (UMP) di Jogja menjadi UMP terkecil kedua di Indonesia. Tentunya hal ini menjadi perhatian yang cukup serius bagi pemerintah dan masyarakat. Sudah menjadi perhatian, kan?

Melihat dua realita di atas, tentunya kita menemukan sebuah pertentangan. Sektor pariwisata itu memiliki peran yang penting untuk suatu daerah. Pariwisata menjadi salah satu sumber penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pada 2019, sektor pariwisata Jogja menyumbang Rp606.468.910.587 terhadap PAD. 

Baca halaman selanjutnya….

Apa yang sebenarnya terjadi?

Terdapat beberapa penyebab kemajuan pariwisata tidak mampu mengurangi kemiskinan dan ketimpangan yang ada. Misalnya, antara pariwisata dengan sektor pendukung itu tidak terjadi integrasi. Seharusnya, ada sebuah kesatuan antara beberapa sektor yang terkait agar saling mendukung. 

Selain itu, pembangunan pariwisata tidak mempromosikan masyarakat miskin yang ada. Sektor wisata hanya berfokus pada yang memiliki kuasa. Dan yang paling utama adalah adanya digital divide antara kelompok masyarakat yang ada di wilayah kota dengan desa. Hal ini menjadi tantangan dan hambatan dalam mendigitalisasi pariwisata. 

Pemerintah Jogja wajib merangkul kaum muda yang kritis

Bidang pembangunan pariwisata dunia itu telah mengalami digitalisasi relatif paling lama. Oleh sebab itu, potensi melahirkan kemiskinan tidak terhindarkan. Hal tersebut telah diingatkan oleh Yuval Noah Harari (2018) dalam buku Lessons for The 21st Century. Bahwa kemunculan algoritma digital berbasis Artificial Intelligence (AI) yang manipulatif mengakibatkan 60% penduduk dunia useless atau irrelevant (kata lain dari problem marginalisasi dan kemiskinan). 

Nah, di titik ini, kaum muda terdidik seharusnya menjadi kelompok masyarakat yang paling melek algoritma digital. Mereka yang seharusnya, dan bahkan wajib, dirangkul oleh pemangku kekuasaan, untuk mencegah kemunculan generasi tidak relevan itu. Ini adalah saran saya.

Ironi seperti ini terjadi di tengah banyaknya kaum muda terdidik. Peran kaum muda dalam pembangunan pariwisata sangat penting untuk memajukan pariwisata itu sendiri. Kaum muda memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan destinasi wisata yang menarik dan inovatif.

Mereka juga kritis ketika mempromosikan keindahan alam dan budaya kepada wisatawan lokal hingga mancanegara. Kaum muda yang seringkali dipandang sebagai kelompok yang paling ramah dan melek digital, seharusnya mampu menggunakan kelebihan ini untuk membela kepentingan desa wisata dan dapat mengentaskan kemiskinan.

Kaum muda juga dapat menjadi agen perubahan dalam meningkatkan kualitas layanan pariwisata Jogja. Misalnya memberikan pelayanan yang ramah dan profesional kepada wisatawan. Selain itu, mereka juga dapat berperan sebagai pelopor dalam pengembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam industri pariwisata. Mereka itu gampang diajak kerja sama, kok. 

Wisata sebagai alat mengentaskan kemiskinan

Saya percaya bahwa mengoptimalkan sektor wisata bisa menjadi alat, menjadi strategi, mengentaskan kemiskinan. Apalagi untuk Jogja, di mana sektor pariwisata mereka sebenarnya punya potensi apabila disentuh secara modern dan lebih segar.

Oleh sebab itu, pemerintah wajib melibatkan kaum muda. Ajak mereka duduk bersama dalam sebuah forum terbuka. Kalau perlu disiarkan secara live streaming untuk mencari pemecahan masalah sosial yang lebih konkret. 

Pemerintah Jogja sangat bisa memacu kaum muda untuk melihat peluang yang dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan kemiskinan. Khususnya yang bukan dari sektor pariwisata saja. Kaum muda ini dapat berkolaborasi dengan pemerintah dan stakeholder lainnya untuk mengatasi permasalahan kemiskinan di Jogja.

Kaum muda membutuhkan dukungan

Saya yakin kalau pemerintah Jogja sadar bahwa kaum muda perlu dioptimalkan lagi dalam pembangunan sektor wisata yang lebih segar. Oleh sebab itu, mereka membutuhkan dukungan dari pemerintah dan stakeholder terkait. Sebaiknya jangan pernah gerah dengan suara dan keberadaan kaum muda. Mau tidak mau, mereka adalah aset dan masa depan suatu daerah itu sendiri.

Pemerintah dapat memberikan pendidikan dan pelatihan tentang industri pariwisata kepada generasi muda. Misalnya merekrut mereka secara profesional. Bisa juga dengan menyediakan fasilitas beasiswa untuk belajar soal industri ini di universitas atau kota-kota lain yang mampu memaksimalkan sektor pariwisatanya. Kelak, mereka yang akan merawat Jogja, bukan?

Selain itu, pemerintah juga wajib menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan bisnis pariwisata. Dan yang terutama yaitu dalam transformasi pembangunan wisata tidak boleh ada yang tertinggal. Artinya, semua harus merata sehingga kaum muda akan memiliki sikap kepedulian yang tinggi. Begitu.

Penulis: Yemima Septi Nugraheni 

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Akui Saja, Pariwisata Jogja Memang Sudah Menemui Titik Jenuhnya dan analisis cerdas lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version