Panduan Memahami Perpisahan yang Tidak Hitam Putih

Sesiap apapun, yang namanya perpisahan tetap saja menyakitkan.

Panduan Memahami Perpisahan yang Tidak Hitam Putih. MOJOK.CO

Ilustrasi Panduan Memahami Perpisahan yang Tidak Hitam Putih. (Ega Fansuri/Mojok.co)

MOJOK.CO – Film Panduan Mempersiapkan Perpisahan untungnya tidak sembrono dalam proses penggarapannya. Perpisahan yang disajikan dengan cara yang menyenangkan.

Saya tidak sedang salah ketik. Film yang akan saya ulas ini judul aslinya adalah Panduan Mempersiapkan Perpisahan. Saya mengubahnya menjadi Panduan Memahami Perpisahan karena memang itulah yang saya dapatkan sepanjang menonton film: saya akhirnya paham mengapa Demi dan Bara, dua orang yang tadinya saling cinta tidak jadi bersama.

Memahami perpisahan, kalau boleh jujur, adalah pekerjaan yang menyita waktu. Akan ada daftar panjang pertanyaan: Apa yang salah dari hubungan yang kandas itu? Siapa yang salah? Ada pertikaian, siapa yang menyulutnya? Siapa yang menyakiti dan siapa yang tersakiti? 

Daftar pertanyaannya bisa semakin panjang tergantung dengan seberapa besar keinginan kita untuk memahami. Makanya saya sempat meragukan film ini ketika melihat durasinya. Bisakah perpisahan yang kusut itu terurai hanya dalam waktu satu jam saja? Ternyata bisa, di tangan yang tepat.

Panduan Mempersiapkan Perpisahan disutradarai oleh Adriyanto Dewo dan merupakan adaptasi dari buku berjudul Eminus Dolere yang ditulis oleh Arman Dhani dan diterbitkan oleh Buku Mojok. Sosok Demi diperankan oleh Lutesha adalah seorang perempuan berkarakter supel yang pandai bergaul. Sedangkan, Bara, yang perannya jatuh pada Daffa Wardhana adalah seorang lelaki pendiam. 

Mereka bertemu dalam sebuah lokakarya film, berkenalan, mengobrol panjang lebar, bersenang-senang, kemudian berpisah meski di antara keduanya tidak ada kejelasan status. Terdengar familiar? 

Film ini memang punya sejuta elemen yang membuat penontonnya merasa dekat dengan romansa modern, yang apabila penggarapannya sembrono bisa bikin kita bosan bukan kepalang. Namun, treatment dari pembuat film membikin film ini terasa sangat segar. Saya akan coba menjabarkannya satu per satu. Tetapi pembaca perlu memahami, dari sini akan ada banyak spoiler bertebaran jadi silahkan tanggung sendiri risikonya.

Jaring-jaring referensi sebuah perpisahan

Bagi penyuka film romansa lawas 500 Days of Summer atau bahkan yang membenci film ini, barangkali sudah nggak asing dengan adegan ketika Tom dan Summer bertemu di dalam lift dan berinteraksi untuk pertama kali.

“I love The Smith.”

“Sorry?”

“I said, I love The Smith.”

Saking seringnya beredar di linimasa, kutipan ini sampai jadi meme yang banyak dipakai untuk menebar lelucon di media sosial. “Suka The Smith juga?” adalah salah satu jenis lelucon yang paling sering lewat di beranda Twitter saya. Demi dan Bara mengawali interaksi mereka dengan pertanyaan yang kurang lebih sama, hanya beda objek.

“Suka kucing juga?”

Saya ngakak nggak ketulungan waktu mendapati ada dialog ini. Entah niatnya sebagai internal jokes atau murni kebetulan, ketertarikan saya langsung menukik. Terlebih formula film ini juga nyaris sama dengan 500 Days of Summer: perpisahan dari sudut pandang laki-laki yang ditinggalkan. 

Bedanya, saya merasa lebih puas karena kedalaman pemahaman yang coba diuraikan oleh Adriyanto Dewo. Di film 500 Days of Summer, Summer adalah bulan-bulanan massa. Dia menjadi biang kerok yang menyebabkan Tom mengalami kesedihan. Sedangkan di Panduan Mempersiapkan Perpisahan, Demi bukan penyebab tunggal mengapa perpisahan itu sampai terjadi dan membuat hati Bara remuk redam. 

Demi memang punya kesamaan sifat dengan Summer, sama-sama supel dan menyenangkan, mudah untuk menghakimi karakternya sebagai perempuan yang tidak pernah bisa serius dalam menjalani hubungan. Namun, sejak awal mula, kita dipandu untuk memahami alasan mengapa dia bisa bersikap demikian. 

Bicara konsep pernikahan

Ini salah satunya bisa kita lihat sewaktu Demi dan Bara kencan pertama. Demi menyebutkan salah satu film lawas Indonesia berjudul Apa Jang Kau Tjari, Palupi? yang menurutnya berhasil memotret upaya perempuan untuk mencari kebahagiaan tetapi kemudian banyak disalahpahami. 

Apa Jang Kau Tjari, Palupi? adalah film tahun 1969 yang disutradarai oleh Asrul Sani dan sempat menang penghargaan sebagai film terbaik di Festival Film Asia tahun 1970. Adegan ini jadi clue pertama untuk memahami pola pikir Demi. Clue kedua yang menurut saya jadi gongnya adalah ketika Demi dan Bara di adegan lain bicara soal konsep pernikahan. 

Demi, dengan lantang, menilai kalau pernikahan tak ubahnya sebuah bisnis. Mempelai pria membayar sekian banyak uang untuk meminang mempelai perempuan, sebuah pertukaran yang nilainya ditentukan oleh harta benda. Pernikahan semacam ini, menurut Demi, hanya melihat perempuan sebagai barang kepemilikan. Itu kenapa, banyak perempuan merasa terpenjara oleh pernikahan.

Jaring-jaring referensi tidak hanya berhenti sampai di sini saja. Selain 500 Days of Summer, penyuka genre romansa barangkali juga sudah khatam dengan film Before Sunrise. Ingat adegan ketika Jesse dan Celine bertemu di kereta? 

Di Panduan Mempersiapkan Perpisahan, sebetulnya nggak plek-ketiplek ada adegan di kereta. Malah hanya sepintas saja, tetapi yang saya suka, bagaimana kereta di film menjadi elemen penanda babak. 

Tone color jadi trik mujarab

Film ini terbagi dalam tiga babak. Pertama, babak ketika Demi dan Bara bertemu. Kedua, babak ketika Demi dan Bara bersama. Lalu, ketiga, babak ketika mereka berpisah. Saya suka sekali ketika kamera menyorot perubahan sikap Demi di tiap-tiap babak. 

Di babak pertama dan kedua, penonton bisa merasakan tone suka cita lewat bahasa tubuh Demi dan Bara. Bahkan sejak mereka masih di stasiun, yang kemudian akan berubah ketika sampai di babak ketiga. Treatment sinematik semacam ini bikin saya menyadari kenapa saya jatuh cinta dengan film dan ingin terus menonton film-film bagus sampai tua nanti.

Selain dari dialog dan set film, jaring-jaring referensi juga terlihat dari penggunaan tone color yang berubah-ubah. Ada masanya tone color film jadi hitam putih. Ini dipakai sebagai penanda ketika situasi yang ditampilkan adalah situasi masa kini, atau, dengan kata lain situasi ketika Demi dan Bara sudah berpisah. 

Kesan muram, sedih, dan putus asa langsung terasa begitu film berubah warna jadi hitam putih. Lain halnya ketika tone film dalam kondisi berwarna yang dipakai untuk menggambarkan masa-masa ketika Demi dan Bara masih asyik menjalin cinta. 

Treatment tone color semacam ini juga dipakai dalam serial Better Call Saul. Menurut saya, ini trik mujarab buat membedakan cerita yang alurnya maju mundur. Salah satu keuntungan sinema dibandingkan dengan teks seperti novel misalnya, ampuh mencegah penonton pusing karena cerita berjalan tidak linear.

Tidak meromantisasi Jogja

Sudah nggak kehitung berapa kali produk budaya meromantisasi Yogyakarta. Yang biasa muncul melulu soal tempat melipur lara, tempat menemukan cinta, tempat untuk menemukan ketenangan batin, dan seterusnya dan seterusnya. Bisa dirasakan akibatnya sekarang, masalah-masalah serius seperti premanisme, kejahatan jalanan, sampai dengan gentrifikasi jadi anak tiri yang luput (atau sengaja diluputkan) dari perhatian. 

Untungnya, Panduan Mempersiapkan Perpisahan tidak jatuh ke dalam godaan ini. Film ini, hampir seluruhnya, mengambil latar tempat di Kota Pelajar. Dalam beberapa adegan yang membutuhkan pemandangan kota, yang muncul justru adalah pemukiman padat penduduk dan tempat-tempat penginapan murah yang berjubel memenuhi gang-gang sempit di pinggiran kota. 

Film ini memotret Yogyakarta tak lebih dari sekadar tempat yang kebetulan jadi lokasi bertemunya Demi dan Bara dan bagaimana cinta mereka bersemi hingga berakhir di sini. Sangat mudah untuk menggantikan kota ini dengan kota lain. Tidak spesial dan tidak mengistimewakan, seperti pada umumnya.

Yang tersisa dari Panduan Mempersiapkan Perpisahan

Saya suka sekali film ini, kalau ada parameter 1-10, saya akan kasih nilai 8 karena alasan-alasan yang saya sebutkan di atas. Selain itu, juga karena set properti di kamar kosan Bara, yang sangat estetik hahaha. 

Memang jauh dari lazimnya kos-kosan di Jogja sih. Tapi sungguh, untuk kebutuhan sinema, saya suka sekali penempatan meja, buku, tumpukan kaset, dan perabotan di kamar Bara, juga korden jendela yang hampir tidak pernah dibuka. Terlihat estetik dan masih cukup membumi karena barang-barangnya terlihat seperti barang bekas atau barang yang sudah lama dipakai. 

Begitu juga dengan pemilihan lagu-lagunya, sebagai penggemar The Milo dan Barefood, saya cukup jingkrak-jingkrak ketika mendengar lagu “Don’t Worry for Being Alone” dan “Biru” mengalun. Walau demikian, ada satu hal yang cukup mengganjal dari film ini, yaitu penggunaan bahasa penceritaan Bara yang terdengar mendayu-dayu. 

Saya merasa agak geli ketika menonton film romansa modern tapi dengan pemilihan bahasa yang demikian. Meski saya bisa memahami sih, pemilihan bahasa ini barangkali muncul untuk menggambarkan kegemaran Bara yang suka menulis. Mungkin karena film ini juga adaptasi dari buku. Belakangan saya baru tahu, Bara juga punya akun Instagram khusus untuk menggambarkan luka batin yang dia alami semenjak berpisah dengan Demi. Lucu juga, meskipun terasa cheesy.

Akhir kata, sebagai sebuah film yang alih wahana dari buku, saya bisa menikmati film ini sebagai karya yang berdiri sendiri. Tetapi, nggak ada salahnya kalau usai menonton, malah jadi penasaran dan ingin membawa pulang buku Eminus Dolere terbitan Buku Mojok. Eminus Dolere: Berduka dari Kejauhan. Mungkin boleh saya bilang, film ini mengajari saya caranya Memahami Perpisahan dari Kejauhan.

Penulis: Ruhaeni Intan
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Panduan Mempersiapkan Perpisahan: Sebuah Tutorial Menghadapi Kehilangan dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version