Panduan Memahami Pernyataan Kontroversial Pak Amien Rais

MOJOK.COSaking seringnya Pak Amien Rais mengucapkan hal-hal yang ngawur dan bahkan nggak jelas apa tujuannya, saya sampai menyetarakannya dengan Farhat Abbas.

Saya tidak sependapat jika ada banyak orang yang mengaitkan karakter Pak Amien Rais dengan Sengkuni, tokoh pewayangan yang menyebalkan. Tidak, beliau tidak seculas itu.

Bagi saya, Pak AR tidak mirip paman yang suka mengadu domba keponakannya. Saya melihat beliau malah mirip Tuan Krabs, bos si SpongeBob. Tokoh ini, kita tahu, sebenarnya baik hati dan tidak sombong, tapi sering kali kebingungan dengan dirinya, tidak mampu memilih kalimat yang baik untuk disampaikan, dan meski terlihat gagah, lebih sering bertindak irasional.

Saya tetap husnuzan beliau memang memiliki niat baik dengan segala pernyataannya, sebagaimana Mister Krabs dengan berbagai urusannya. Termasuk teori hebat yang lahir kecerdasan pemikirannya: dikotomi Partai Allah dan Partai Setan. Terminologi yang beliau pinjam dari Al-Quran. Pak AR mungkin lupa jika masih ada partai besar dan eceran selain dua partai tersebut.

Dalam istilah Habiburrokhman, Kabid Advokasi Gerindra, yang dikatakan Pak AR pasti untuk kebaikan. “Pak Amien Rais guru bangsa, profesor politik, sekaligus ahli agama, juga sudah puas berkuasa. Apa yang beliau sampaikan pasti bukan untuk kepentingan pragmatis, melainkan untuk kepentingan bangsa. Kita harus jaga beliau.”

Jangan tertawa! Memang demikian kata Habiburokhman melalui twitnya. Keren, kan? Oleh karena itu, sekali lagi, saya menolak asumsi jika karakter Pak AR mirip Sengkuni. Sebab, jika pengocok dadu dalam serial Mahabarata itu banyak dicaci karena wataknya, tidak demikian dengan Pak AR. Beliau dihormati sebagai mantan ketua PP Muhammadiyah, sebagaimana orang menghormatinya karena kapasitas keilmuan beliau sebagai profesor ilmu politik.

Tapi, sebagai politisi, sinar Pak AR tak lagi mencorong sebagaimana awal-awal Reformasi. Dulu obor, kini teplok. Dari sini saya sadar, profesor ilmu politik itu belum tentu canggih bermain politik sebagaimana profesor ilmu marketing belum tentu bisa berjualan martabak selaris Markobarnya Gibran bin Jokowi.

Saya cermati, pamor Pak AR mulai menurun sejak ikut latah bertarung dalam pemilihan presiden 2004. Sejak saat itu pula saya nggak pernah menanggapi serius perkataannya. Saya menganggap beliau sedang guyon, bercanda. Ya membercandai diri sendiri secara ekstrem. Dalam istilah konyol, beliau menghibur diri sendiri setelah tak lagi menjabat Ketua MPR dan setelah tidak berhasil meraih kursi RI 1.

Bahkan, sesudah 2004 itu, para pemerhati politik kelas warkop juga mencermati, ada sebuah tradisi politik yang melekat pada diri pribadi beliau. Kalau ingin tahu siapa pemenang pilkada, lihat ke mana Pak AR berpihak. Biasanya yang beliau bela, itulah kubu yang keok. Ini berlangsung sejak lama, lebih dari satu dekade. Ibarat anak kecil yang berlari memperebutkan layangan yang putus, berkali-kali gagal, tapi ada kalanya berhasil.

Nah, di pilgub Jakarta yang brutal itu, Pak Amin mendapatkan keberuntungannya. Gacoannya menang. Dia senyum-senyum, lalu melanjutkan manuvernya dengan berceloteh ke sana kemari.

Para kecebong dan kampreters tentu masih ingat, ketika politik nasional memanas, tahun 2014, beliau bikin nazar segala. Mau jalan kaki Solo-Jakarta jika Jokowi menang. Ndilalah, pengusaha mebel bertubuh kerempeng itu menang. Pak AR hanya senyum-senyum. Seolah lupa dengan nazarnya. Bahkan seolah-olah lupa dengan qiyas-nya: pilpres 2014 ibarat Perang Badar.

Semenjak itu, apa pun yang beliau katakan, saya memaklumi. Saya bahkan menganggap beliau setara dengan Farhat Abbas. Selalu mengeluarkan pernyataan, tapi kita tidak tahu manfaatnya. Mau menanggapi perkataannya, tapi kita merasa membuang-buang energi. Mau diabaikan, kok ya eman-eman karena menjengkelkan menggemaskan.

Tapi, ya bagaimana lagi. Wong beliau demikian adanya. Dimaklumi saja. Sebab, jangan-jangan Pak AR melontarkan pernyataan itu ketika beliau berjauhan dengan cucu-cucunya. Kakek yang kangen cucu biasanya emosinya tidak stabil, kurang terkontrol, karena memendam kerinduan.

Oleh karena itu, saya sarankan Pak AR bukan hanya momong cucunya, melainkan mengajak cucunya bermain dengan Jan Ethes Srinarendra, cucu Pak Jokowi. Dengan cara ini, saya kira Pak Amin tidak akan lagi dianggap selevel Farhat Abbas.

Exit mobile version