Palu di Kereta dan Senjata Teroris yang Makin Lama Makin Minimalis

esai lebaran eman dari teroris bersama superhero mojok

esai lebaran eman dari teroris bersama superhero mojok

Dalam keadaan darurat, pecahkan kaca dengan alat yang tersedia ….

Begitu tulisan di kaca jendela kereta yang saya tumpangi dari Klaten untuk kembali ke Malang usai libur Lebaran kemarin. Tidak perlu waktu lama untuk menemukan alat yang dimaksud. Di atas jendela tadi, agak ke kiri sedikit, ada sebuah palu besi dengan tulisan “Alat Pemecah Kaca” di atasnya, di dalam sebuah … kotak kaca.

Terus gimana mecahin kaca tempat palunya, Pak Kereta?

Karena nggak menemukan benda lain yang dikasih tulisan “Alat Pemecah Kaca Tempat Alat Pemecah Kaca”, saya mulai curiga, jangan-jangan palu yang disediakan PT KAI tadi sebenarnya Mjolnir, palunya pewaris takhta Kesultanan Asgard yang sah, Thor. Walaupun bentuknya minimalis dan nggak kayak di film-film.

Karena Mjolnir itu cuma nurut sama Thor, jadi kemungkinan besar pangeran Asgard itu ada di dalam kereta yang sama dengan yang saya tumpangi. Kalau bukan sudah dikontrak PT KAI, kemungkinan besar beliau kebetulan satu arah dengan saya dan penumpang lain. Mungkin mau ke Kesamben atau Wlingi. Saya jadi lebih tenang.

Saya belum sempat memeriksa kereta-kereta lain, tapi kalau sidang pembaca Mojok yang terhormat kemarin juga mudik pakai kereta, coba diingat-ingat apakah di gerbong yang kalian tumpangi juga ada palu yang sama. Atau jangan-jangan yang disimpan di dalam kotak kaca itu adalah cemeti.

Kalau sampai ingatan kalian menampilkan gambar cemeti, berarti kemungkinan besar waktu mudik kalian satu kereta sama Wonder Woman. Dan karena kalian baru sadar sekarang, itu pun setelah saya ingatkan, sesungguhnya kalian adalah penggemar Gal Gadot yang merugi.

Walaupun nggak menemukan orang yang ciri-cirinya sama dengan Thor di film The Avengers (lha, palunya aja beda banget gitu …), saya tetap bisa tenang karena bersama saya, duduk di depan saya, ada seorang tentara. Gimana saya tahu beliau tentara? Ya karena beliau pakai seragam tentara.

Ini juga jadi pertanyaan buat saya, kenapa tentara yang mudik harus tetap memakai seragamnya padahal nggak lagi bertugas. Tapi saya tetap berpikir positif, mungkin beliau memang lagi bertugas. Mungkin bukan buat menjaga kereta, tapi diperintah sama kumendannya untuk menuju kesatuan lain.

Tapi pikiran itu malah bikin takut juga. Bayangkan kalau mendadak ada perang, terus tentara dari satu asrama ramai-ramai keluar dan nyegat angkot di depan kesatuannya untuk menuju medan perang. Apalagi ini kereta api, di musim mudik lebaran pula. Pesan tiketnya kan harus jauh-jauh hari. Seminggu atau mungkin malah sebulan sebelumnya.

Bisa-bisa perangnya sudah selesai, tentara kita baru sampai medan laga. Bisa-bisa rempah-rempah dari Malang sudah dipakai membumbui steak sapi Wellington medium rare di Amsterdam, tentara kita masih asik fesbukan di dalam kereta yang berhenti lama di Walikukun.

Atau jangan-jangan Pak Tentara di depan saya ini Thor yang saya cari-cari. Tapi ngapain Thor masuk TNI? Apa supaya jadi panglima dan digadang-gadang jadi calon presiden? Mau jadi raja di Asgard sekaligus presiden di Indonesia? Thor kok maruk gitu ….

Saya sebenarnya bisa saja nanya langsung sama Pak Tentara di depan saya itu, tapi nggak enak. Bukan nggak enak sama sepatu larsnya, tapi nggak enak sama ibu-ibu paruh baya di sebelahnya yang juga karena tuntutan profesinya harus pakai seragam ke mana-mana: suster. Bukan suster rumah sakit, tapi suster Katolik.

Tanpa bermaksud membanding-bandingkan, saya jadi teringat jilbab, atau sekarang bahasa kerennya hijab. Kata temen saya, jilbab itu dipakai untuk menutupi aurat supaya nggak menggoda laki-laki, tapi ke sini-sini, saya lihat jilbab atau hijab itu malah tambah modis. Apa itu nggak malah menggoda?

Tapi anggaplah ini pertanyaan dari orang yang nggak paham.

Soal suster tadi, kejadian berikutnya malah bikin saya kaget. Dari bangku di sebelahnya, di seberang gang, seorang ibu-ibu yang lain, yang pakai jilbab, nanya ke suster tadi, “Mengko ana sing njemput?” Nanti ada yang njemput? Dari bahasanya, saya yakin mereka bukan orang yang baru kenal di dalam kereta.

Di Blitar, suster dan ibu yang nanya tadi turun, dan anak perempuan ibu berjilbab tadi gantian nanya ke sang suster, “Tas Bude yang mana?” Jadi, ibunya pakai jilbab sementara budenya adalah seorang suster. Asli! Jadi nyesel saya banding-bandingin jilbab sama baju suster.

Tidak heran kalau Obama bela-belain mudik ke Yogya buat belajar unity in diversity. Mungkin karena beliau tahu, pelajaran kayak gitu nggak akan didapatnya lagi di negaranya yang sekarang dipimpin sama Paman Donald. Makanya, Bam, kalau kuliah, di BSI aja ….

Di dunia nyata, nggak seperti di media sosial, keberagaman bukan masalah. Celakanya, persoalan justru ada di orang-orang yang seagama. Di Blok M, misalnya, ada anggota Brimob yang ditikam setelah selesai sembahyang oleh teroris yang sembahyang bareng beliau. Sebelah-sebelahan pula.

Kata koran, nama pelakunya Mulyadi. Di Cikarang sempat dicari-cari dan ketemu empat Mulyadi. Kata koran yang saya baca, Mulyadi-Mulyadi itu, yang satu pekerjaannya jaga pemancingan, satu lagi dipenjara karena kasus narkoba, satu mengidap kelainan jiwa, dan satu lagi warga RT 10. Mulyadi yang mantan redaktur media daring nggak ada? Eh, udah nggak mantan lagi ding.

Tapi ini aneh juga, walaupun membahagiakan, senjata teroris makin lama makin minimalis. Dulu bom Amrozi dan kawan-kawannya sempat ada yang menyebut bom atom mini, terus turun jadi bom di dalam mobil box, terus turun lagi jadi bom panci. Mungkin karena panci presto mahal, turun lagi jadi pakai pistol. Sekarang malah turun lagi jadi pakai pisau doang.

Bukannya mau ngasih ide, tapi di tempat kerja saya, di proyek, banyak banget alat-alat yang bisa dipakai. Mulai dari batu bata sampai palu tukang. Baiklah, batu bata mungkin kurang mematikan, tapi palu tukang kalau dihantamkan ke kepala juga bahaya. Apalagi sekarang, kereta dan kendaraan umum lain di Indonesia dilengkapi dengan palu. Katanya sih buat mecahin jendela kalau ada kejadian darurat.

Mungkin penjahatnya belum kepikiran pakai palu untuk melakukan aksinya, karena mereka sama kayak saya: nggak tahu gimana cara mecahin kaca tempat palu itu disimpan. Di sinilah kita seharusnya berterima kasih karena PT KAI sudah memakai Mjolnir sebagai alat pemecah kaca mereka.

Bravo, Pak Kereta!

 

Exit mobile version