Pak Edy Rahmayadi Yuk Belajar Sejarah Sepakbola Indonesia

Edy rahmayadi sepak bola mojok

Edy rahmayadi sepak bola mojok

[MOJOK.CO] “Sepak Bola, Pak Edy Rahmayadi, bukan cuma soal membela tim dalam negeri saja.”

Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi, dengan tegas mengatakan, akan mencoret pemain Indonesia yang berlaga di luar negeri. “Jangan ada yang keluar dari Indonesia, yang keluar Indonesia saya coret dari PSSI,” kata Edy, kala menjadi tamu undangan malam penghargaan Liga 1 di Hotel Mulia, Jakarta. Lho piye to pak?

Tentu saja, Pak Edy Rahmayadi sedang menyindir dua pemain muda Indonesia yang kini resmi menjadi milik Selangor FA. Mereka adalah Evan Dimas dan Ilham Udin Armayn. Evan dan Ilham, mantan punggawa Bhayangkara FC yang menjadi jawara Liga 1, resmi menandatangani kontrak bersama tim papan atas Liga Malaysia itu awal Desember lalu.

Lho, salahnya apa toh Pak main di luar negeri?

Pak Edy Rahmayadi pernah bilang, hal ini berhubungan dengan nasionalisme pemain sepakbola kita. Nasionalisme seperti apa? Apakah pemain yang bermain di luar negeri lalu luntur jiwa nasionalismenya?

Sudah menjadi hal yang lumrah pemain Amerika Latin berkiprah di Eropa. Mereka justru terasah skill-nya di Benua Biru, bersama tim-tim hebat. Saya beri contoh pemain paling dikenal di jagat raya ini, Lionel Messi.

Messi hanya bermain di Argentina, bersama Newell’s Old Boys, saat usianya baru tujuh tahun. Kemudian ia direkrut klub papan atas Spanyol, Barcelona, di usia 13 tahun. Kariernya terus menanjak. Hingga kini, ia masih setia bersama klub Catalan itu.

Apakah pimpinan federasi sepakbola Argentina menyindir Messi tak nasionalis? Tidak. Messi kerap jadi andalan timnas Argentina. Ia tak pernah berpikiran pindah kewarganegaraan.

Lagi pula, Pak, kiprah pemain sepakbola Indonesia di luar negeri sudah ada sejak lama. Ricky Yakobi pernah bermain di luar negeri. Pada 1988, ia direkrut oleh klub Liga Jepang, Matsushita, setelah bermain gemilang bersama Arseto Solo. Mungkin pak Edy Rahmayadi tidak tahu, atau beliau lupa, ini wajar saja.

Lantas, adakah pemain yang berlaga di Negeri Jiran? Ada banget.

Tentu saja, para penggemar sepakbola Indonesia tau nama bek tangguh legenda Persib, Robby Darwis. Robby, ketika sedang moncer-moncer-nya, pernah direkrut Kelantan FA pada 1989. Sayang seribu sayang, Bung, Robby berkarier tak sampai semusim. Ia pun mengaku hanya bermain di satu laga.

Ia kena skorsing, karena memukul salah seorang pemain Singapura, rival Kelantan di Liga Malaysia. Ia mendapatkan kartu merah. Ia pun dihukum tiga bulan larangan tampil, dan harus rela menonton kawan-kawan Garuda berjuang di SEA Games 1989.

Hubungan antara Malaysia dan Indonesia menghangat setelah kejadian tersebut. Ada yang bilang, hal itu adalah konspirasi untuk membuat salah satu bek andalan timnas tak bisa ikut dalam ajang SEA Games 1989. Usai SEA Games, Kelantan memintanya kembali. Tapi, federasi sepakbola kita tak memberikan izin.

Oh, tentu saja, tak direstuinya kembali Robby Darwis bukan di awal saat ia meneken kontrak. Hal itu merupakan imbas dari skorsing yang kontroversial. Nggak kayak sekarang, ribut-ribut di awal ketika dua anak muda yang sedang bersinar, Evan dan Ilham, hijrah ke Selangor. Beda, kan?

Nama yang jarang disebut-sebut adalah Ristomoyo Kassim. Bek kiri asal klub Galatama, Caprina, ini pernah bermain di Selangor FA pada 1986. Penampilannya di kualifikasi Piala Dunia 1986, membuat petinggi Selangor kepincut. Ristomoyo bahkan sempat membawa Selangor juara liga, mengalahkan Johor 6-1 dengan sumbangan satu gol.

Menilai sikap Pak Edy dengan latar belakangnya sebagai militer tentu saja salah besar. Keliru. Gegabah. Picik. Semberono. Anda berpikiran dangkal kalau berpikir seperti itu. Sebab, bukan kali ini aja lho PSSI dipimpin seseorang berlatar belakang militer.

Pada 1977 hingga 1981, PSSI pernah dipimpin Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta yang juga seorang letnan jenderal Korps Komando Angkatan Laut. Tentu masih segar dalam ingatan fans timnas Indonesia nama Agum Gumelar. Lulusan Akademi Militer Nasional Magelang yang pernah menjabat sebagai Menteri Perhubungan dan Menteri Pertahanan ini pernah menjabat sebagai Ketua PSSI pada 1999 hingga 2003.

Lantas, di era Robby Darwis nama Kardono yang merupakan jenderal bintang tiga Angkatan Udara, memegang pimpinan PSSI periode 1983 hingga 1991.

Menurut buku Selamat Jalan Pak Harto; Dokumen Kepergian Pemimpin Bangsa karya Sugiono MP, Kardono terpilih secara aklamasi menduduki jabatan Ketua PSSI pada 1983. Prestasi Kardono membawa timnas Indonesia di masanya tak diragukan lagi. Pada 1987, Indonesia meraih medali emas SEA Games. Ia pun merupakan Ketua AFF pertama, yang menjabat pada 1984 hingga 1989.

Berkat prestasi itu, Presiden Soeharto memberikan restu untuk Kardono memimpin PSSI kembali. Alhasil, Indonesia kembali meraih emas SEA Games pada 1991. Apakah Kardono melarang Robby Darwis melanjutkan kariernya ke Malaysia pada 1989? Saya tak pernah menemukan pernyataan larangan kepada bek tangguh itu, ketika meneken kontrak.

Eksodus pemain Indonesia ke Malaysia lalu berlanjut pada 2000an. Ada nama Ponaryo Astaman yang pernah membela Telekom Malaka pada 2006/2007, dan Budi Sudarsono di Polis Diraja Malaysia (PDRM) pada 2007.

Tentu saja yang fenomenal ada nama Bambang Pamungkas dan Elie Aiboy. Mereka didatangkan Selangor FA pada 2005. Bermain dua musim. Dan, menorehkan prestasi treble winner bagi Selangor, yakni juara Piala FA, Liga Primer Malaysia, dan Piala Malaysia. Bahkan di musim pertama Bepe berhasil menjadi top skor liga dengan 22 gol. Terbaru, ada nama Andik Vermansyah. Ia dikontrak pada 2013 hingga 2017, dengan penampilannya yang memikat.

Negara-negara sepakbola di manapun di dunia ini tentu akan senang jika atletnya menimba ilmu di negeri orang. Masalah yang mereka pikirkan bukan hanya uang. Namun juga karier dan iklim kompetisi yang ketat.

Bahkan, negara tertutup macam Korea Utara saja tak geram ketika pemainnya merumput di negeri kapitalis. Ada nama Jong Tae-Se, striker berjuluk Wayne Rooney dari Korut. Tae-se bahkan tak pernah bermain di klub negaranya.

Awal karier ia bermain di liga Jepang bersama Kawasaki Frontale. Pemain yang memang lahir di Jepang itu, usai Piala Dunia 2010 merumput di Liga Jerman, FC Koln. Setelah itu, ia hijrah ke klub Korea Selatan, Suwon Bluewings. Terakhir, ia berlaga di Liga Jepang, bersama Shimizo S-Pulse. Begitu, Bung.

Apakah sikap patriotisme dan nasionalisme Bambang Pamungkas, Ellie Aiboy, dan Andik Vermansyah luntur lantaran main di negeri orang? Oh, tentu saja tidak, kok. Mereka pemain profesional. Panggilan negara pastilah jadi pilihan utama.

Khawatir permainan kita dijiplak negara rival, kalau ada pemain yang berlaga di sana? Ya, ini lebih tak beralasan. Bukankah kita yang akhirnya bisa tau kekuatan dan kelemahan mereka, jika pemain kita berlaga di sana, ya?

Pertanyaan paling akhir. Apakah Bapak sudah ngopi? Jika belum, saya traktir dan menonton Manchester United. Eh, timnas Indonesia. Biar nasionalis.

Exit mobile version