Nyamuk-Nyamuk Cak Munir

Nyamuk-Nyamuk Cak Munir

Nyamuk-Nyamuk Cak Munir

Pertama yang disodorkan teman saya adalah kopi hitam. Tak perlu basa-basi dengan pertanyaan seperti di film, minum apa? Dingin apa panas? Ia benar-benar tahu lidah, kerongkongan, perut, dan usus dua belas jari saya.

Selanjutnya ngalor-ngidul ngobrol. Ngomongin apa saja. Namanya juga ngobrol, tak perlu teratur seperti seminar, apalagi mendaulat seorang moderator. Hampir tiga tahun saya tidak berkunjung ke tempat tinggal teman yang satu ini. Dampak negatifnya, apa saja diobrolin. Mulai dari tanaman sampai politik. Dari sandal jepit sampai jilboobs. Tapi sayang, asyiknya ngobrol dicederai akhlak tak terpuji gerombolan nyamuk. Mereka hilir mudik di sekeliling kami. Mendarat di kaki, pergelangan tangan, telinga. Teman saya juga dikeroyok, tapi dia santai karena mentalnya sudah siap sedia dengan keadaan ini.

Tiap malam dia sudah terbiasa dengan polah mereka. Kendati begitu, dia tetap tepuk sana geprak sini. Kami pun ngobrol seperti sekaligus bermain pencak silat. Jika orang melihat dari kejauhan, sepertinya kami sedang mempelajari sebuah jurus.

Teman saya menyodorkan lotion pengusir nyamuk. Saya pun melulurkannya ke leher, telinga, pergelangan tangan, kaki. Tentu saja tidak di bibir dan biji mata, apalagi diminum dicampur kopi. Bisa modar saya. Nyamuk tiarap sebentar, sebagian mungkin pingsan, menepi ditembok, gorden, kusen, kursi dan bawah meja. Tapi kebanyakan mereka hanya istirahat menunggu lotion itu tak berfungsi.

Kami ngobrol dengan aman, sementara. Tapi kemudian mereka bangkit lagi, datang dengan kesumat berlipat-lipat. Berputar-putar, berdesing-desing seperti pesawat agresi militer. Saya yang semula hendak bermalam akhirnya pulang. Sesampai di rumah, sambil tengkurap, iseng buka Twitter. Ingin tahu setelah dibiarkan lama, apakah ada follower nyasar, mungkin juga ada yang kirim DM, siapa pula yang mention dan lain sebagainya.

Setelah dipastikan tak ada yang berubah dari sebelumnya, saya memeriksa tagar apa yang sedang menjadi trend. Di paling bawah, saya tertarik pada #menolaklupa.

Setelah dibaca dari awal, ternyata tagar itu dibikin para nyamuk. Nyamuk 1 berkicau, “Orang ini pernah ke sini. Mari serbu! #menolaklupa.” Nyamuk 2 merespons dengan mention Nyamuk 3, “Mari pesta, kawan. #menolaklupa.” Nyamuk 4 menyambar, ”jangan sisakan! #menolaklupa.” Nyamuk 5 tiba-tiba mendamprat, “Keparat, dia memakai lulur sialan. #menolaklupa.” Nyamuk 6 menanggapi, “Kita mesti cari tahu bagaimana cara menaklukan lulur keparat itu! #menolaklupa.” Nyamuk 7 memberi resep, “Minum comberan dulu. Itu bisa menetralisir lulur keparat. #menolaklupa.” Kicauan Nyamuk 1 diretwit nyamuk tujuh dengan memention Nyamuk 8. Nyamuk 9 meretwit lagi, disambar nyamuk sepuluh. Sambung-menyambung.

Sebelum lebih jauh menelusuri obrolan mereka, saya sudah mengambil beberapa kesimpulan sementara. Dilihat dari sisi waktunya, bisa dipastikan mereka ngetwit ketika saya di rumah teman. Dilihat dari penulisannya, mereka menulis dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang disempurnakan. Paling tidak, gerombolan mereka pernah mengikuti pelatihan menulis. Mereka berpeluang besar diterima jadi wartawan di media online.

Nyamuk 1 membuka obrolan baru, ”Ngomong-ngomong, rasa darahnya aku masih ingat #menolaklupa.” Nyamuk 2 membalas, “Aku juga masih ingat, dulu rasa darahnya segar, sekarang sepertinya kurang oksigen. #menolaklupa.” Nyamuk 3 menimpali, “Itu yang ingin aku katakan, darahnya kurang oksigen #menolaklupa”. Hajar! #menolaklupa.” Twit-twit mereka selalu diretwit akun lain. Tapi kemudian saya menemukan satu twit yang tak diretwit sama sekali. Nyamuk 13 berkicau, “Aku masih ingat rasa darah Cak Munir. #menolaklupa.” Dan twit itu merupakan akhir dari sahut-sahutan mereka. Mungkin tidur atau lelah. Tapi sekarang aku yang #menolaklupa kejahatan mereka.

Exit mobile version