Nama Saya Vagina, Nama Aneh dan Vulgar yang Bikin Luka Batin

Nama yang dulu saya anggap unik dan indah berubah jadi annoying.

Nama Saya Vagina, Nama Aneh dan Vulgar yang Bikin Luka Batin MOJOK.CO

Ilustrasi nama vagina. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COMisvi atau vagina. Nama yang dulu saya anggap lucu dan unik, berubah jadi annoying. Mau marah, tapi lama-lama capek sendiri.

Beberapa hari yang lalu saya mengirim esai ke Mojok dan tayang pada 20 Desember 2021. Esai yang saya tulis berjudul “20 Tahun Sumpah Serapah untuk Bapakku dari Mertuanya karena Kami Tinggal Serumah”. Artikel tersebut mendapatkan banyak komentar.

Ada salah satu komentar yang menarik. Katanya, dia “risih” dengan nama saya. Berkat komentar itu, saya jadi ingat bahwa nama saya memang aneh dan vulgar. Nama saya Misvi Amalia Wahyuningsih.

Misvi… miss v… vagina. Memang terdengar vulgar.

Sebenarnya, waktu masih SD, saya menyukai nama ini karena paling beda dari teman-teman yang lain. Kala itu yang menjadi highlight, alias yang sering dibicarakan adalah nama belakang saya, yaitu “Wahyuningsih”.

Teman dan para guru saya sering bertanya, “Anaknya Pak Wahyu dan Bu Ningsih, ya?”

Dan ya, saya memang anak Pak Wahyu dan Bu Ningsih. Berkat nama belakang itu, teman saya bisa dengan mudah mengetahu nama bapak dan ibu yang kemudian akan dijadikan bahan ledekan dan itu masalah.

Tapi semuanya berubah ketika SMP….

Saya mulai curiga kalau nama Misvi sebagai cara menghaluskan kata “vagina” sudah diketahui artinya oleh kakak-kakak OSIS. Ketika mengabsen nama saya, mereka malah cengengesan. Namun, sebagai anak yang masih polos, saya nggak punya pikiran macam-macam.

Suatu hari, ada dua Mbak petugas perpustakaan yang bertanya soal nama saya, tapi sambil menahan tawa. Salah satu dari mereka bertanya, “Kamu tahu nggak arti nama kamu?”

Bingung karena tiba-tiba ditanya begitu, saya malah balik nanya, “Kenapa emang, Kak?”

Mereka tidak menjawab, tapi menyodorkan majalah perempuan dan menunjuk salah satu istilah: miss v. setelah membaca seluruh kalimat yang mengandung istilah tersebut, saya langsung paham, sekaligus kaget. Selama ini, nama Misvi sebagai kata ganti vagina, memang begitu vulgar.

Iya, saya tahu kamu sedang tersenyum geli ketika membaca tulisan saya di atas. Saya sendiri malah bingung kenapa kedua orang tua saya memberi nama yang begitu “unik”.

Suatu ketika karena penasaran, saya bertanya kepada ibu tentang arti nama saya yang dekat dengan istilah vagina itu. Ibu menjawab, “Misvi diambil dari kata “Mississippi”, yaitu salah satu sungai terpanjang di Amerika. Jadi, semoga pemikiran kamu sepanjang Sungai Mississippi.”

Jawaban ibu terdengar meyakinkan, meski saya curiga itu cuma akal-akalan beliau saja. Setelah mendengar penjelasan ibu, saya malah mulai insecure.

Nama yang dulu saya anggap unik dan indah berubah jadi annoying. Belum lagi ketika ada teman laki-laki dengan otak mesum yang menyebut nama saya dengan gaya menggoda. Naudzubillah bikin saya jijik. Rasanya pengin pindah planet saja.

Semuanya terulang lagi ketika SMA. Bahkan sampai ada guru yang bertanya dengan nada menyalahkan saya.

“Ih, ini orang tuamu kok ngasih nama kaya gini.”

Saya menjawab, “Ya terserah orang tua saya, dong. Kenapa Ibu yang repot?”

Tentu saja saya cuma berani menjawab dalam hati. Saat itu saya kesal sekali karena dialah yang membuat seisi kelas tahu kalau nama Misvi itu artinya vagina. Sangat vulgar. Lagian dia nggak punya hak untuk berkomentar dengan nada seperti itu. Tapi demi keselamatan belajar, saya hanya diam.

Teman-teman saya juga banyak yang bertanya arti nama saya. Tentu saja saya berdalih dengan bilang, “Misvi itu diambil dari Sungai Mississippi, salah satu sungai terpanjang di Amerika. Kata ibu biar pemikiran saya sepanjang Sungai Mississippi.” Yup, saya hanya mengulang kalimat yang ibu katakan.

Tapi mereka jelas sudah tahu arti sebenarnya dan karena itu saya masih sering dirundung meski katanya cuma bercanda.

Bercanda. Tapi sama sekali tidak lucu.

Bercanda. Hanya agar saya jadi kehilangan hak untuk marah.

Bercanda. Agar tak disebut merundung.

Saya sudah berusaha mengabaikan “bercandaan” itu. Namun, saya malah makin nggak suka sama nama ini.

Kadang ada orang yang benci ketika nama mereka salah ditulis atau dilafalkan. Kalau saya malah nggak keberatan. Saya malah bersyukur jika ada yang memanggil saya dengan panggila “Mispi”, “Nisbi”, atau apa saja asal bukan Misvi yang artinya vagina itu.

Jika didata ulang, saya akan bilang kalau nama saya dilafalkan dengan “p”, bukan “v”. Jadi, pada akhirnya, di data resmi pemerintah, nama resmi saya adalah Mispi, bukan Misvi. Perubahannya terlihat simpel, tapi bermakna buat saya. Bukan Misvi yang berarti vagina.

Yah, setidaknya itu dulu. Sekarang saya sudah lebih legawa, kadang lupa kalau nama ini vulgar. Tapi sialnya, ada saja orang yang ngeh dan kembali mengingatkan bahwa nama saya berarti vagina.

Harus saya tegaskan bahwa selama 19 tahun menyandang nama aneh dan vulgar rasanya nggak menyenangkan. Nama ini, mau gimana juga, sudah menimbulkan luka batin yang bikin saya jadi insecure. Rasanya seperti rambut kena permen karet, susah lepas dan annoying. Kadang terpikir untuk mengganti nama, tapi pasti ribet.

Meski tidak menyenangkan, paling tidak ada beberapa pelajaran yang bisa  saya dipetik. Pertama, hati-hati memberi nama anak. Sebelum memberi nama, pastikan artinya baik. Anak akan menyandang nama itu seumur hidup.

Kedua, kurang-kurangi nanya arti nama orang. Bisa jadi, nama aneh seseorang bisa menghadirkan trauma tertentu. Agak susah, ya. Tapi, coba, deh.

Ketiga, hargai orang yang punya nama “unik”. Mungkin mereka nggak marah atau sebetulnya memendam kemarahan itu karena dianggap “bercanda”. Kadang malah ikut tertawa. Tapi percayalah, akan ebih baik jika kita menghargainya dengan tidak membahasnya sama sekali.

Sekian tulisan ini. Saya kirim doa untuk kalian dengan nama unik dan sering jadi bahan bercandaan. Semoga terhindar dari luka batin karena memendam kemarahan, ya.

BACA JUGA 20 Tahun Sumpah Serapah untuk Bapakku dari Mertuanya karena Kami Tinggal Serumah dan artikel menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penuis: Misvi Amalia Wahyuningsih

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version