Naga Bandara YIA, Naga yang 250-an Tahun Eksis di Yogyakarta

Twit yang mempertanyakan pilihan pihak Bandara YIA memajang patung naga raksasa lantas memanen ribuan respons, sekaligus membelah pendapat warganet.

Naga Bandara YIA, Naga yang 250-an Tahun Eksis di Yogyakarta

Ilustrasi Naga Bandara YIA. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COPatung naga Bandara YIA menjadi sorotan warganet. Mejadi perdebatan panas menjelang pergantian tahun 2021 ke 2022 gara-gara politikus.

Pada peralihan 2021 ke 2022, sekonyong-konyong naga jadi ramai diperbincangkan, khususnya di Twitter. Beberapa portal berita sampai ikut mengunggah aneka artikel bertopik naga. Pemicunya adalah twit seorang politisi pada Kamis pagi, 30 Desember 2021. Isi cuitannya menyoal tentang keberadaan patung naga Bandara YIA di Kulon Progo.

Turut dipertanyakan sang politisi di twitnya, mengapa naga Bandara YIA? Kenapa tidak diisi saja dengan patung Garuda atau patung Pahlawan. Rupanya dua ikon yang disebut terakhir tadi dinilai sang politisi sebagai pilihan yang pas secara latar belakang tempat dan budaya.

Twit yang mempertanyakan pilihan pihak Bandara YIA memajang patung naga raksasa lantas memanen ribuan respons, sekaligus membelah pendapat warganet. Tak sedikit yang menengarai patung naga Bandara YIA sebagai sinyal bagi suatu distopia. Misalnya, pertanda lebih lanjut bahwa Indonesia jatuh kepada hegemoni negara asing, lebih spesifik lagi, Cina. Ada pula yang menghubungkannya dengan terciptanya pengaruh yang lebih kuat dari kelompok etnis Tionghoa terhadap perekonomian di Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa lagi berpendapat bahwa naga bukan simbol yang memiliki akar di Yogyakarta, Jawa, maupun Indonesia.

Namun, banyak pula warganet yang mengkritik twit penyoal keberadaan patung naga Bandara YIA sebagai sebentuk sinofobia. Beberapa memiliki pendapat bahwa mempersoalkan patung ini sebagai hal yang dibesar-besar, pun dapat disebut memunculkan benih-benih pendisrupsi kohesivitas dalam suatu masyarakat.

Kegaduhan saling silang pendapat warganet menunjukkan bahwa ini memang dapat menjadi isu pemicu polarisasi antar-kelompok. Banyak pula yang menanggapi dengan menyodorkan aneka contoh bahwa keberadaan simbol ini ternyata memiliki usia berabad di Yogyakarta, Jawa secara lebih luas, maupun di berbagai daerah di Indonesia.

Tentang model tanggapan yang terakhir tadi, melalui akun Twitter @sefkelik, saya termasuk yang berurun cuitan. Menyodorkan empat pusaka Kasultanan Yogyakarta yang merupakan warisan Dinasti Mataram Islam, saya berpendapat bahwa penggunaan maupun kultus yang berkaitan dengan simbol naga Bandara YIA, khususnya di wilayah sebelah selatan Gunung Merapi telah eksis setidaknya seperempat hingga setengah milenia terakhir. Empat pusaka yang saya jadikan contoh masing-masing adalah:

  1. Tombak Kanjeng Kiai Baru Klinthing, pusaka yang mata tombaknya konon penjelmaan lidah seekor naga raksasa, pernah lama dimiliki para penguasa Mangir, lalu jatuh menjadi miliki Dinasti Mataram Islam setelah Panembahan Senopati membunuh Ki Ageng Mangir Wanabaya IV, menantunya sendiri.
  2. Keris Kiai Nagasasra, yang dipercayai hasil karya seorang pandai senjata mumpuni bernama Empu Sedayu dari zaman Majapahit.
  3. Keris Kiai Naga Siluman, senjata pusaka milik Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa (1825-1830) sekaligus Pahlawan Nasional Indonesia sejak 1973.
  4. Gamelan Kanjeng Kiai Nagawilaga yang bersama Gamelan Kanjeng Kiai Guntur Madu, menjadi sepasang gamelan pusaka yang selama sepekan hingga Hari Peringatan Maulid Nabi Muhammad ditabuh bergiliran di Masjid Gedhe Kauman.

Selain itu, saya masih menyebut pula beberapa legenda hewan mitos ini berikut tokoh-tokoh legendaris yang dikenal orang Jawa dan Bali. Itu meliputi Tantu Panggelaran sebagai semacam versi gubahan Jawa untuk Samudramanthana asal India, lalu tokoh Sang Hyang Antaboga selaku sosok Dewa Penguasa Dasar Bumi, putrinya yang bernama Nagagini yang dalam carangan Mahabharata versi Jawa menjadi istri Bima sekaligus ibu dari Antareja, juga tak ketinggalan Naga Besuki penguasa Kawah Gunung Agung di Bali yang dipuja di Pura Agung Besakih.

Terkait naga Bandara YIA, beberapa akun Twitter lain juga berbagi kisah tentang penggunaan simbol hewan mitos ini di Yogyakarta, Jawa, maupun di berbagai daerah lain di Indonesia. Contohnya @lantip sedikit bercerita tentang penggunaan simbol naga dalam sengkalan memet, alias kronogram, alias penulisan tahun berbasis simbol visual atas tahun berdirinya Kraton Yogyakarta, yakni Dwi Naga Rasa Tunggal (Dua Naga Berhati Satu).

Kronogram tadi dihiaskan di beberapa bagian bangunan Keraton Yogyakarta, contohnya di Regol Kemagangan. Di sana, kronogram yang ada terbaca sebagai 1682 Tahun Jawa yang setara dengan 1756 Tarikh Masehi. Di samping itu, @lantip secara selintas menunjukkan tentang jarik gendhong bayi tradisional Jawa yang ternyata berornamen naga berukuran besar.

Ada juga @doneh yang mengingatkan bahwa di dalam Percandian Panataran di Blitar ada salah satu bangunan yang namanya Candi Naga. Ini karena bangunan tersebut memang berhiaskan ornamen naga berukuran besar. Lalu akun @motherlander membagikan gambar tentang Situs Batu Naga di Puncak Gunung Tilu di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Sedangkan akun @leksa berbagi kisah legenda di Tapak Tuan, Aceh, tentang pertarungan berhari-hari antara naga melawan seorang raksasa.

Sampai sekitar tengah hari 31 Desember 2021, saya amati bahwa keriuhan membahas patung naga Bandara YIA sampai melebar membahas detail ikonografinya. Beberapa pihak jadi bersikukuh bahwa simbol naga itu harus cenderung pakem menurut region budayanya.

Naga di Jawa ya mestinya pakai penggambaran tradisional ala Jawa yang bermahkota serta tidak berkaki. Bukan malah memakai simbol naga ala Cina—yang berkumis dan punya sepasang kaki depan-belakang sama besar. Tidak sebaiknya juga memakai simbol naga ala Eropa—yang cenderung bersayap dan punya sepasang kaki dengan kaki depan lebih kecil dari kaki belakang. Padahal, naga di Jawa dan sebagian besar Asia Tenggara memang mendapat pengaruh India dan Cina.

Dalam hal ini, saya justru mengambil posisi yang tidak sesaklek tadi. Pijakan pemikiran saya ya kenyataaan bahwa hewan ini aslinya sekadar hewan mitologis, tidak faktual. Variasi detail ciri fisik dari berbagai region nyatanya ya hasil fantasmagoria.

Sejauh ini tidak terbukti kita benar-benar punya spesies asli naga dalam kehidupan nyata. Gambaran kita tentang naga Bandara YIA tak bisa disebut punya rujukan spesifik ke sosok spesies hewan nyata. Itu lebih mirip hibridasi dan hiperbola dari beberapa hewan sekaligus: piton, kobra, buaya, biawak atau komodo, t-rex, hingga kelelawar.

Manakala diwujudkan sebagai karya seni yang tentu saja condong ke selera artistik dan estetik artisnya, saya rasa sah-sah saja sosok hewan mitologis jika tidak mengikuti pakem region budaya, atau bahkan membuat terjemahan visual lebih bebas lainnya. Kan memang tidak ada orang yang sebenarnya pernah benar-benar bertemu dengan naga secara nyata?

Bobot fantasi, hibridasi, dan hiperbola yang menyertai naga menurut saya melampaui derajat yang ada di sejumlah hewan mitologis lain. Garuda, Jatayu, dan Sempati contohnya cepat bisa merujuk dan ditafsirkan sebagai versi lebih besar saja dari elang.

Kasus lain adalah tentang singa yang secara nyata berhabitat atau pernah hidup di Afrika, Mediterania, Iran, hingga India, tapi tidak sampai menyebar hingga Asia Tenggara. Orang Jawa, Sumatera, dan Asia Tenggara lainnya tetap menganggap hewan ini penting sampai dipakai sebagai gelar kebangsawanan hingga raja maupun dipakai toponim alias nama tempat atau bangunan.

Orang Asia Tenggara bahkan melakukan semacam sinkronisasi dengan melekatkan penyebutan nama singa serta variannya kepada harimau yang memang hidup di Asia Tenggara. Sekilas sinkronisasi semacam itu memang maksa, tapi di sisi lain hewan asli yang dirujuk maupun jadi target ya hewan nyata.

BACA JUGA Naga Asia, Naga Jawa, Naga Eropa, dan Naga-Naga Versi Lainnya dan artikel menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Yosef Kelik

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version