Saya merasa belum pernah merasa “menetap,”. Jadi, dalam arti apa pun, saya sulit mengerti dengan frasa “move on,” istilah yang sangat populer belakangan ini. (Makanya, saya bahkan harus buka kamus untuk mencoba mengerti.) Tapi, menurut terkaan saya, move on itu tampaknya hal yang berat.
Saya punya tiga contoh kasus.
1) Flo.
Gadis POM bensin ini sepertinya adalah korban beratnya move on. Ia saya bayangkan datang ke Yogyakarta dengan membawa semua masa lalunya — dengan segala idealisasinya. (Apa yang bisa ditangkap dari kalimat: “teman-teman Bandung dan Jakarta, jangan mau ke Jogja.” selain bahwa ia mengidealkan tempat-tempat lain?)
Di tempatnya dulu, ia mungkin biasa tidak mengantri di POM, menyalahkan pihak yang mengecewakannya, dan misuh-misuh di internet. Dan ia masih ingin terus seperti itu. Ia tak seperti, misalnya, teman SMA saya, Basit, seorang anak pedagang kelontong di Sekaran, Lamongan, yang langsung men-jogja begitu daftar UMPTN di sini. Setelah dua minggu kos di Sapen, ia langsung kepincut jualan koran di Perempatan Blok O; seminggu kemudian dipukuli preman situ; mulailah dia mindring plastik, ngecer pulpen, dan mencoba-coba menulis resensi; kosnya 25 ribu sebulan.
Jika saja Flo bisa move on dari kota dan nilai-nilai lamanya, dan men-jogja dengan baik, ia paling tidak akan tahu pisuhan apa yang khas Jogja dan di mana tempat paling nyaman melakukannya. “Telo” akan sangat disambut di angkringan-angkringan. “Wedus!” gampang; dari Bandara Adisucipto, muter di depan pasar Sambilegi, terus ambil kiri sampai ketemu Sate Syamsuri. Kalau mau “Asu!” masuklah ke lesehan-lesehan oseng-oseng jamu.
2) Orang-orang yang marah pada Flo.
Mereka adalah korban-korban paling parah dari beratnya move on. Boleh dibilang, mereka ini gagal total untuk move on. Mereka marah karena mereka yakin bahwa Jogja tetap kaya, cerdas, dan berbudaya, sebagaimana yang ditulis Selo Sumarjan lebih setengah abad lalu–dan tak pernah berubah, seperti digambarkan FTV-FTV itu. Karenanya, pernyataan yang melawan keyakinan itu adalah penistaan dan bukannya kritik. Karena keyakinan itu, mereka tak memeriksa bahwa kota yang mereka banggakan itu mulai melakukan pemerasan pada anak kos dan orang kontrakan macam saya.
Mereka juga menyembunyikan kenyataan bahwa beberapa perpustakaan di kota ini sudah tutup, toko buku mengecil, dan penerbit-penerbit yang dulu menerbitkan Milan Kundera kini mengecer buku kiat sukses bermain rubik. Mereka juga sudah mulai lupa budaya “stel kendo” – ya, mereka terlalu serius untuk hal-hal yang tidak serius; mereka jadi terlalu hati-hati, sehingga tak senang lagi plesetan; mereka terobsesi kerapian dan tak tertarik dengan yang walik-walikan. Mereka mengira Jogja adalah Gunung Merapi atau Laut Kidul, dan bukannya kota kecil yang terletak di antara keduanya dan semakin sesak saja.
3) Saya.
Ya, saya juga merasakan beratnya move on. Baru saja. Sudah dapatnya sulit, jual mahal, lebih jelek pula. Berat luarbiasa membawa hal-hal dari masa yang lalu, saya masih harus direpotkan untuk mempermak yang baru dapat ini. (Saking beratnya, teman saya sampai jatuh sakit, satunya lagi mengeluh kehabisan uang, sementara saya sendiri kecapekan, badan pegal-pegal–makanya nulis tentang Flo telat benar) Jadi, bagi teman-teman yang cari saya, saya sudah move on sekarang. (Atau, mungkin lebih tepatnya “moving on”)
Silakan datang, tapi maaf kalau masih berantakan. Sori juga kalau kamar mandinya jauh, reyot pula.