Pojokan Selalu Pinggiran, tapi Pinggiran Belum Tentu Pojokan

Pojokan Selalu Pinggiran, tapi Pinggiran Belum Tentu Pojokan

Pojokan Selalu Pinggiran, tapi Pinggiran Belum Tentu Pojokan

Dari pojok waktu, saya menulis surat ini untuk Kakanda Puthut EA.

Sampeyan mojok di mana? Saya mulai khawatir Sampeyan terpojok kalau terus-menerus sibuk mengurus angkringan dan kalang-kabut meladeni arus manusia yang memesan dari mulai kopi sampai wedang uwuh.

Jangan sampailah Sampeyan menempatkan diri sebagai perwakilan manajemen. Sampeyan ini penulis yang seharusnya tidak taat pada what-so-called tata kelola angkringan berbasis manajerial modern. Ribet, Mas. Sampeyan memojokkan diri sendiri. Stop ide buka cabang angkringan, apalagi jika diniatkan untuk profit-sharing dengan Kokok Dirgantoro.

Beliau ini, Mas Kokok ini, ekonom muda berbakat yang dipojokkan oleh kasunyatan jurnalistik sehingga mengambil keputusan yang sulit: berhenti menjadi wartawan dan mulai menjadi orang kaya baru. Kini Beliau leluasa memilih pojokan mana, entah di sini atau di sana, untuk sekadar dikosongkan. Orang kaya, Mas. Beli lahan dari pojok sini ke pojok sana sekadar untuk memenuhi syahwat pinggiran.

Mas Puthut, pinggiran itu jauh berbeda dengan pojokan. Pojokan selalu pinggiran, tapi pinggiran belum tentu pojokan. Jadi, Sampeyan jangan bangga dulu punya Catatan Mojok. Tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Catatan Minggir. Kaum pinggiran populer disebut sebagai Kaum Marginal. Lha kaum pojokan itu apa? Diakui saja belum, atau bahkan tidak.

Status negeri saja di sini semakin sering digugat. Status disamakan juga tidak lantas menjadikannya lebih sip daripada status bertaraf internasional. Status diakui, apalagi! Diakui siapa, coba? Diakui apanya? Halah. Saya sarankan Mas Puthut mengejar status: diridhai. Ya, diridhai. Ini lebih bermakna langitan, Mas. Mojok tidak apa-apa, asalkan mojok di sudut langit ke tujuh sana. Itu kan keren. Dekat dengan Tuhan.

Semua-semua sekarang mengaku kenal baik dengan Tuhan, Mas Puthut. Akrab, bahkan. Dan sering mengatasnamakan perbuatan mereka dengan nama Tuhan. Seolah-olah memang itu yang dimaui Tuhan. Untungnya Tuhan tidak bisa dikonfirmasi sehingga kebebasan nan radikal itu masih bebas dan bijak bestari di baliho-baliho dan situs-situs.

Sampeyan tak usahlah pasang baliho dan nyetatus di situs hanya untuk memopulerkan apa yang sejak awal diniatkan mojok. Mojok itu ya mojok saja. Entah ndelik, sembunyi, ngumpet, atau setidaknya tidak mau jadi pusat perhatian karena asyik dengan keasyikan Sampeyan sendiri. Setialah dengan khittah. Jangan melanggar fitrah mojok yang memang di ujung sana sesuai sunnatullah.

Eh, mojok tidak selalu di ujung sih. Bisa juga di pangkal. Itulah kehebatan pojok; bisa di pinggiran depan atau belakang, bisa di pucuk, puncak, pokoknya di mana saja yang bukan centre of attention. Bisa sesuka hati udud, ngopi, tanpa peduli peraturan pemerintah atau fatwa ulama yang mengharamkan ini-itu. Tapi mojok bisa juga bermakna mengundurkan diri dari dunia persilatan, Mas Puthut. Dari hiruk-pikuk.

Dan, itulah seharusnya Sampeyan. Duduk, mojok, dan mulai menulis lagi. Mana karya berikutnya dari Anak Kesayangan Tuhan? Berhentilah mengurusi tetek-bengek. Mulailah bermain lagi. Wilayah edar Sampeyan itu di pojokan sana. Mojok. Di sanalah zona tidak nyaman Sampeyan, yang sewaktu-waktu bisa diusir karena disangka penjual akik.

Sudah ya. Kopi sudah dingin nih.

Exit mobile version