Mitos Politik Dinasti Jokowi Si Raja Jawa

Mitos Politik Dinasti Jokowi Si Raja Jawa MOJOK.CO

Ilustrasi Mitos Politik Dinasti Jokowi Si Raja Jawa. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COBahlil, Ketum Golkar, menggunakan istilah Raja Jawa di dalam pidatonya. Kita semua sepertinya punya dugaan yang sama, yaitu Jokowi.

Dalam pidatonya setelah (di)resmi(kan) menjadi Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia mengeluarkan peringatan penuh teka-teki. Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ini melontarkan istilah “Raja Jawa” yang sangat mem-panoptic-an. 

Ya, istilah itu diucapkan dengan nada penuh ambivalen. Antara serius atau kelakar tepi jurang yang penuh kehati-hatian. Yang jelas, frasa “Raja Jawa” seakan-akan menyiratkan kekuasaan besar yang harus dipatuhi tanpa pertanyaan. Taken for granted.  

“Raja Jawa ini kalau kita main-main, celaka kita,” katanya, tanpa menjelaskan siapa atau apa yang dimaksud. Meski kita semua boleh menduga-duga dan sepertinya dugaan kita sama: Jokowi.

Raja Jawa dan spekulasi soal keluarga Jokowi

Pernyataan Bahlil segera memicu spekulasi di kalangan publik dan media. Banyak yang mengaitkan istilah ini dengan (keluarga) Jokowi yang, kedua putranya, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep terlibat dalam panggung politik kekuasaan. (Ini belum include Paman Usman dan Bobby Afif Nasutioj yang perlu diskusi lain untuk mempercakapkannya.) 

Gibran bahkan baru saja terpilih sebagai Wakil Presiden RI, sementara Kaesang sebelumnya diwacanakan menjadi kepala daerah. Dinamika ini tentu saja memunculkan perdebatan baru tentang arus diskursif politik dinasti di Indonesia masa kekuasaan Jokowi.

Apa sebenarnya yang dimaksud Bahlil dengan “Raja Jawa”? Dan mengapa istilah ini begitu kuat resonansinya dalam konteks politik Indonesia?

Tentang mitos

Saya teringat pada konsep “mitos” yang diperkenalkan oleh ahli semiotika Prancis, Roland Barthes. Barthes menjelaskan bagaimana makna tertentu dalam budaya dapat dimanipulasi dan dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan.

Mitos, dalam pandangan Barthes, adalah sebuah sistem komunikasi untuk menyampaikan pesan yang di dalam dirinya terbungkus makna ideologis. Dalam kasus “Raja Jawa,” makna denotatifnya mungkin hanya mengacu pada sosok seorang pemimpin dari Pulau Jawa, yaitu Jokowi.

Walakin, di tingkat konotatif rupanya politik bahasa tidak sesederhana itu. Istilah yang Bahlil wedarkan seolah menjadi simbol kekuasaan absolut yang tidak bisa atau tidak boleh dipertanyakan. 

Dengan kata lain, “Raja Jawa” dalam kapasitas ini berfungsi sebagai mitos politik yang menormalisasi kekuasaan dinasti, membuatnya tampak alami dan sah dalam lanskap politik Indonesia.

Dinasti Jokowi

Lebih dari itu, fenomena politik dinasti Jokowi dapat juga dipahami sebagai manifestasi dari mitos “Raja Jawa”. Keterlibatan sanak-famili dalam lingkaran politik oligarki, baik sebagai (bakal calon) kepala daerah maupun wakil presiden, memperkuat narasi bahwa kekuasaan secara alamiah diwariskan dalam lingkaran keluarga. 

Dan, jika mengacu pada konsep yang Barthes gambarkan, mitos politik dinasti Raja Jawa ini bekerja dengan mengubah sesuatu yang seharusnya bersifat politis dan kontroversial menjadi sesuatu yang “wajar” belaka, dan karena itu “tak terelakkan” oleh siapa pun. 

Pada gilirannya, mitos ini menciptakan kesan bahwa “keberhasilan” politik keluarga Jokowi adalah takdir yang sah. Alih-alih sebagai hasil dari proses panjang dinamika kekuasaan yang seharusnya dipertanyakan.

Raja Jawa menebang demokrasi

Raja Jawa, sebagai sebuah mitos politik (dinasti), jelas memiliki implikasi serius bagi demokrasi. Demokrasi yang seharusnya memberi ruang bagi partisipasi politik (yang luas) dan kompetisi (yang adil), kini tak ubahnya gugusan hutan Kalimantan yang habis-habisan ditebang untuk sebuah proyek ambisius Ibu tiri Kota Nusantara. 

Kelak, ketika mitos seperti “Raja Jawa” mendominasi wacana publik, prinsip-prinsip dasar demokrasi tinggal menunggu masa kritis sakaratul maut. Masyarakat mungkin merasa bahwa proses politik sudah ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang di luar kendali mereka, menjulangkan apatisme publik, dan sekaligus menurunkan partisipasi politik.

Contoh konkret dari dampak langsung ontran-ontran ini bisa dilihat dalam polemik hukum terkait. Misalnya, wacana pencalonan Kaesang Pangarep sebagai kepala daerah yang terancam batal oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang syarat batas usia calon Kepala Daerah.

Anjirnya, kurang dari 1×24 jam, keputusan ini segera dianulir oleh DPR yang memilih untuk merujuk putusan Mahkamah Agung (MA). Manuver semalam suntuk lembaga legislatif yang semestinya menjadi institusi penyeimbang rezim Jokowi ini justru dianggap lebih mendukung praktik politik dinasti. 

Lebih dari itu, pertentangan hukum ini juga menunjukkan bagaimana sistem hukum Indonesia dapat dimanipulasi untuk mendukung kekuasaan keluarga tertentu, alih-alih menegakkan prinsip keadilan dan kesetaraan.

Dalam konteks inilah mitos “Raja Jawa” menunjukkan thriller tentakel kekuasaannya. Dia mampu mengaburkan manipulasi kekuasaan dengan selubung kenormalan, lalu membuatnya seakan-akan sulit dilawan. 

Masyarakat, dengan begitu, seolah dipaksa terbiasa dengan gagasan bahwa kekuasaan yang terkonsentrasi pada kelompok tertentu adalah sesuatu yang wajar, bukan sesuatu yang perlu ditantang, ditentang, atau diubah.

Ini soal sikap

Demokrasi Indonesia rasanya memang tidak baik-baik saja. Ia perlu recovery, jika memang memungkinkan. Caranya? Bintang Emon di sebuah konten videonya setidaknya telah memberi kita kisi-kisi bahwa hal itu memang nyaris sulit diakselerasi.

Meskipun begitu, mitos Raja Jawa seperti yang Bahlil sabdakan mesti didekonstruksi. Kita memang perlu sedikit lebih kritis dan sigap terhadap narasi-narasi yang digunakan oleh elite politik untuk melegitimasi kekuasaan mereka. 

Di media sosial, banyak influencer, tokoh publik, dan netizen yang mengunggah konten “Peringatan Darurat” dengan gambar Garuda di bawahnya. Sebuah produk visual yang dulunya menjadi media propaganda Rezim Orba kini digunakan publik sebagai strategi détournement untuk mengkritisi dan menunjukkan ketidakpuasan terhadap penguasa.  

Walaupun, yah, saya sendiri merasa bahwa apa yang publik lakukan dengan konsolidasi digital itu memang tidak secara langsung membuat keadaan berubah signifikan. Namun setidaknya, ini adalah soal bagaimana orang bersikap di tengah kerandoman rezim Jokowi yang mungkin sedikit tantrum di masa senjanya. 

CC: Raqib-Atid

Penulis: Anwar Kurniawan

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Runtutan di Balik Trendingnya “PERINGATAN DARURAT”: DPR Tolak Putusan MK, Upaya Muluskan Kaesang untuk “Berkuasa”? dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version