Berkenalan dengan Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies

MOJOK.COSiapa Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies? Bagaimana mereka digambarkan dalam novel Bumi Manusia? Apa keistimewaan novel itu dan tokoh-tokohnya?

Daripada beribut perkara tentang siapa yang mestinya memerankan tokoh Minke, lebih baik kita coba mengenali lagi, siapa dan bagaimana dia sebenarnya? Minke berdasarkan perkataan orang tentangnya, berdasarkan pengakuannya sendiri, dan berdasarkan gambaran dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer tersebut.

Pada halaman-halaman awal novel tersebut, Pram sudah membingkai karakter tokoh utama ini. Dialah “aku” yang merupakan narator dari novel tersebut. Minke adalah nama samarannya, nama aslinya… ia rasa tak perlu disebutkan. Di bagian lain, ia jelaskan nama itu kemungkinan berasal dari pelesetan monkey (monyet) yang diucapkan gurunya kepadanya sebagai satu-satunya murid pribumi yang ketika itu masih bloon dalam bahasa Belanda.

Mengapa ia tetap memilih nama itu, padahal maknanya demikian mengejek? Itulah resistensi, semacam perlawanan halus terhadap si tuan kolonial yang menggelarinya. Ejekan itu diterima sekaligus dipakai untuk menyerang balik. Pola ini kita temui juga dalam kasus Nyai Ontosoroh yang tetap lebih senang dipanggil “nyai” (panggilan merendahkan untuk istri tidak sah), meski secara kelas sosial, ilmu pengetahuan, dan kemampuan manajemen, ia sudah sekelas “nyonya” Eropa, bahkan dalam banyak hal melampauinya. Dalam tingkatan yang lebih luas, pola ini juga tampak dari Annelies yang lebih senang dan bangga menyebut diri sebagai “pribumi” meski ia jelas seorang “indo”.

Sampai di sini haruslah dipahami dulu bahwa Bumi Manusia adalah sebuah rekaman bagaimana kesadaran nasionalisme awal dan perlawanan terhadap kolonialisme terbentuk melalui akses terhadap ilmu pengetahuan, dukungan mesin kapitalisme percetakan, dan peran orang-orang indo melalui tokoh-tokoh seperti Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies serta beberapa tokoh figuran lainnya. Strategi mimikri, dalam berbahasa dan berpakaian, serta terutama dalam soal ilmu pengetahuan, tuan kolonial(isme) sebagai model diambil, ditiru, sekaligus dipakai untuk melawan dan membedakan diri dengan pribumi. Berat ya? Tapi, syukurlah kalau wacana seperti ini lebih mudah dikunyah daripada novel Ayat-Ayat Cinta.

Kembali ke tokoh Minke. Ia adalah siswa HBS, Hogere Burgerschool, pendidikan menengah umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa, atau elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Ini sekolah menengah untuk kasta paling tinggi dan Minke menjadi salah sedikit dari murid pribumi.

Teman sekelasnya di HBS, Robert Suurhof menjuluki Minke sebagai lelaki philogynik: mata keranjang, buaya darat. Julukan ini boleh jadi setengah bercanda. Tetapi, kita mungkin bisa membenarkan julukan ini ketika sampai di bagian ketika Minke pertama kali kenal Annelies. Ia dengan gampang memujinya dan bahkan menciumnya. Baru kenal lho. Juga dikonfirmasi ketika ayahnya pun menyebutnya “buaya” ketika diketahuinya Minke tinggal di rumah seorang nyai. Tapi, hati-hati, jika hanya sampai sini, kita bisa terjebak bahwa Bumi Manusia cuma kisah cinta picisan Minke dan Annelies.

Sebagai siswa HBS, Minke pandai dan fasih berbahasa Belanda dan Melayu dalam lisan dan tulisan. Ia adalah penulis cerpen dan esai di koran. Tulisan-tulisannya, dengan nama pena Max Tollenaar berisi pikiran dan kritik terhadap kolonialisme. Dengan pikiran pembebasannya itu, gurunya, Magda Peters, menyebut Minke sebagai pewaris humanisme Multatuli.

Minke sebenarnya seorang bangsawan Jawa yang bahkan memiliki forum privilegiatum, hak istimewa. Ia adalah anak bupati kota B. Tapi, ia tak pernah menyebutkan gelar kebangsawanan sehingga sampai akhir novel, pembaca tak akan pernah tahu siapa nama aslinya dan gelar kebangsawannya. Minke sangat kritis terhadap feodalisme (Jawa) dan sehari-hari ia berpakaian ala Eropa. Jadi, kalau ada yang memandang Minke sosok pribumi bodoh dengan pakaian surjan dan blangkon, pemahamanya sungguh terpeleset jauh.

Dan ini penting dicatat: sambil sekolah, Minke juga berbisnis kecil-kecilan. Ia menawarkan mebel-mebel gaya Eropa terkini ke kapal-kapal dagang atau ke orang tua-orang tua teman sekolahnya. Nyai Ontosoroh memujinya dan di sinilah keluar dari mulutnya kalimat yang terkenal itu: “Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri.”

Satu lagi yang penting, sebagai anak pribumi yang sedang menyelami ilmu dan pengetahuan, Minke adalah seorang rasionalis. “Aku lebih mempercayai ilmu pengatahuan, akal. Setidak-tidaknya padanya ada kepastian-kepastian yang bisa dipegang.” Ia percaya betul, penguasaan terhadap ilmu pengetahuan merupakan sarana pencerahan dan pembebasan.

Namun, dengan semua itu, Minke tidak akan pernah menjadi dan setara Eropa, sang tuan kolonial. “Kowe kira, kalo sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa sedikit bicara Belanda lantas jadi orang Eropa? Tetap monyet!” demikian ucapan Tuan Mellema ketika mereka berjumpa di rumahnya, rumah Nyai Ontosoroh dan Annelies. “Dia Indo, Indo, dia lebih tinggi daripada kau! Minke Pribumi, sekalipun (kau) punya forum privilegiatum…,” kata jaksa di pengadilan dalam satu adegan lain.

Namun, sebagai pribumi, Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies melakukan perlawanan terhadap kolonialisme. “Biarpun tanpa ahli hukum, kita akan jadi pribumi pertama melawan pengadilan putih, Nak, Nyo…,” kata Nyai Ontosoroh. “Dengan melawan kita tak akan sepenuh kalah.” Katanya lagi di bagian lain.

Salah satu perlawanan itu adalah belajar dan terus belajar, menyerap ilmu pengetahuan. Karena itulah dalam novel ini, proses belajar itu selalu terjadi, bukan hanya pada Minke, tapi juga Nyai Ontosoroh dan bahkan seorang Darsam, jawaran Madura pengawal rumah Nyai Ontosoroh yang belajar membaca dan berhitung dengan Minke. Di zaman ketika pengetahuan masih merupakan hak istimewa orang Eropa, belajar merupakan suatu tindak perlawanan.

Lalu bagaimana lagi sosok Minke itu? Satu lagi, menurut saya, dan ini jarang disebut: Minke adalah seorang muslim. Ini yang menyebut adalah Annelies. “Minke namanya… Tentu saja. Dia Islam, Bawuk, Islam. Tapi namanya bukan Jawa, juga bukan Islam, juga bukan Kristen kiraku….”

Tentu saja di dalam novel ini tidak akan diketemukan Minke salat, puasa, dan melaksanakan tindakan formal keislaman lainnya. Karena Islam di sini lebih sebagai suatu identitas penanda, bagian dari pribumi, yang dalam beberapa hal membedakannya dengan Kristen yang dipandang merupakan atau lebih dekat dengan Eropa. Jadi, apakah dia Islam “garis lurus” atau “garis lucu”, itu tidak penting di sini. Memang dalam narasinya, Minke cukup sering mengucapkan “Ya Allah”, misal ketika mengetahui penemuan listrik. Atau “masyaallah” ketika mendengar Nyai Ontosoroh menyebut nama pengarang Victor Hugo. Tetapi, di tempat lain ia juga kerap mengucap kata “God” untuk menunjukkan kekaguman. Minke sebenarnya memang agak gumunan, dikit-dikit heran.

Ketika Minke dipaksa pulang ke rumahnya dan ibunya melihat betapa anaknya ini sudah seperti orang Eropa dalam berpakaian hingga berpikir, ibunya bilang: “Kau memang bukan sudah Jawa lagi. Dididik Belanda jadi Belanda, Belanda cokelat semacam ini. Barangkali kau pun sudah masuk Kristen.” Minke membantah dengan diplomatis: “Ah, Bunda ada-ada saja. Sahaya tetap putera bunda yang dulu.”

Tetapi, misal ia masuk Kristen, apakah ia akan menjadi Belanda seutuhnya? Tidak, karena Islam di sini lebih merupakan garis penanda dan pembeda sebagai Jawa pribumi sebagaimana Kristen di sini merupakan garis penanda dan pembeda sebagai Eropa. Ketika Tuan Mellema ingin membaptis kedua anaknya, Robert dan Annelies, gereja menolak karena mereka bukan anak dari perkawinan yang sah. Lalu Nyai Ontosoroh meminta agar perkawinannya disahkan dalam catatan sipil agar kedua anaknya bisa menjadi Kristen, tetapi Tuan Mellema menolaknya.

Seandainya Tuan Mellema bersedia dan dengan itu Nyai Ontosoroh menjadi Kristen, apakah Nyai Ontosoroh bisa menjadi Eropa? Jawabannya ada di mulut Maurits Mellema, anak sah Tuan Mellema yang datang dari negeri Belanda dan melabrak Nyai Ontosoroh. Ia bilang: “Biarpun Tuan kawini nyai, gundik ini, perkawinan syah, dia tetap bukan Kristen. Dia kafir! Sekiranya dia Kristen pun, Tuan tetap lebih busuk…. Tuan telah lakukan dosa darah, pelanggaran darah! Mencampurkan darah Kristen Eropa dan dengan darah kafir Pribumi berwarna. Dosa tak terampuni!”

Hampir tak perlu lagi penafsiran lagi karena kalimat-kalimatnya jelas bagaimana Kekristenan dan Keislaman di sini dihubungkan dengan genetika Eropa dan pribumi Jawa. Barangkali karena itulah, dengan berbagai alasan, menjadi Kristen jarang disebut sebagai bagian dari strategi mimikri.

Akhirnya kita sampai pada pengujung novel ketika Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies terus melakukan perlawanan, berhadapan di pengadilan untuk menghadapi tuntutan Maurits atas hak warisan mediang Tuan Mellema dan melawan keputusan untuk membawa Annelies ke Belanda karena dia dianggap sebagai anak Tuan Mellema. Minke berusaha mempertahankan Annelies karena itu adalah istrinya yang sah dan Mahkamah Agama di Surabaya pun sudah mensahkan perkawinannya. Artinya, di sini pengakuan Islam itu—ini tafsir saya—tidak diakui dan ditolak. Besoknya, terjadi kerusuhan di rumah Nyai Ontosoroh. Warga marah atas keputusan pengadilan putih dan menganggapnya sebagai “kafir, durhaka, terkutuk dunia akhirat.”

Ini adalah bagian dramatis dari novel ini sekaligus antiklimaks perlawanan Minke dan Nyai Ontosoroh. Beberapa hari kemudian Annelies yang sedang sakit diboyong ke negeri Belanda. Ia berbisik lirih kepada Nyai Ontosoroh.

“Kita kalah, Ma.”

“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya,” demikian kata Nyai Ontosoroh.

Baca edisi sebelumnya: Saat Agama Menjadi Persoalan, Bukan Solusi dan tulisan di kolom Iqra lainnya.

Exit mobile version