Mimpi Menurut Para Sufi

Hikayat-2019 - Mojok.co

MOJOK.CO – Ibn ‘Arabi tak mengambil pandangan bahwa mimpi itu tak nyata dan tak bisa dikaji. Menurutnya, “mimpi”, “ilusi”, atau “imajinasi” sangat lah bernilai.

Bagi Asy-Syaykh al-Akbar Muhyiddin Ibn al-‘Arabi ra. (1165-1240 M), perihal yang disebut sebagai “kenyataan” (reality), yakni alam indriawi yang mengitari kita dan lazim kita anggap sebagai “realitas”, sebetulnya adalah mimpi.

Melalui pancaindra, kita memersepsi sedemikian banyak benda, membedakan satu benda dengan lainnya, menyusunnya sesuai dengan nalar kita, dan selanjutnya mengukuhkan sesuatu yang solid di sekeliling kita. Lantas kita menyebut bangunan (solid) itu sebagai “kenyataan” dan tidak meragukannya sebagai yang “nyata”.

Akan tetapi, menurut Ibn ‘Arabi, “kenyataan” seperti itu bukanlah realitas dalam pengertian sesungguhnya. Dengan kata lain, sesuatu itu bukanlah Wujud yang hakiki. Di alam fenomenal tempat kita hidup ini, Wujud dalam hakikat metafisiknya tidak dapat dipersepsi sebagaimana realitas fenomenal tidak dapat dipersepsi oleh orang yang sedang tidur dan bermimpi mengenainya.

Mengutip hadis terkenal, “Semua manusia tertidur (di dunia ini); setelah mati barulah mereka terbangun”, Ibn ‘Arabi mendedahkan:

Dunia ini adalah ilusi; ia tidak memiliki eksistensi hakiki. Dan inilah yang dimaksud dengan imajinasi (khayal). Karena kau hanya membayangkan (imagine) bahwa ia (yakni, dunia ini) adalah realitas otonom yang berbeda dan mandiri dari Realitas Mutlak, padahal sebenarnya tidaklah demikian.
… Ketahuilah bahwa diri kalian sendiri adalah imajinasi. Dan semua yang kalian persepsi dan katakan pada diri sendiri, “ini bukanlah diriku”, juga ialah imajinasi. Jadi, keseluruhan alam eksistensi ini adalah imajinasi di dalam imajinasi.

Lalu, apakah yang mesti kita lakukan jika apa yang kita anggap sebagai “realitas” itu sesungguhnya adalah mimpi, bukan Wujud hakiki, melainkan sesuatu yang ilusif? Apa sebaiknya kita abaikan semua alam ilusif ini dan pergi untuk mencari alam yang sama sekali berbeda, alam yang benar-benar nyata?

Ibn ‘Arabi tak mengambil pandangan demikian. Menurutnya, “mimpi”, “ilusi”, atau “imajinasi” bukan sama sekali tidak bernilai atau artifisial; ia sekadar bermakna “pantulan simbolis dari sesuatu yang benar-benar nyata” (Izutsu 2015: 3-4).

Hal yang kita sebut sebagai “realitas” pastilah bukan Realitas sejati, tetapi ia tidak mesti berarti sesuatu yang semata-mata sia-sia atau tak berdasar. Walaupun jelas bukan Realitas itu sendiri, hal ihwal yang kita sebut sebagai “realitas” ini sesungguhnya secara samar dan saru telah memantulkan Realitas pada tataran imajinasi.

Dengan kata lain, ia adalah representasi atau santiran simbolis dari Realitas. Perihal yang paling kita perlukan adalah menakwilkannya secara tepat sebagaimana lazimnya kita menakwilkan mimpi kita untuk menemukan hal-hal di balik simbol-simbol mimpi itu.

Merujuk kepada hadis termaktub di atas, “Semua manusia tertidur (di dunia ini); setelah mati barulah mereka terbangun”, Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa “dengan kata-kata itu, Nabi Muhammad saw. mengingatkan kita pada fakta bahwa apa pun yang dipersepsi seseorang di dunia ini sama saja dengan mimpi yang tampak pada orang sedang tidur, dan karenanya ia mestilah ditakwilkan”.

Apa yang kita lihat dalam mimpi adalah bentuk “imajinal” Realitas, bukan Realitas itu sendiri. Kita mesti mengembalikannya kepada status asal dan aslinya. Dan inilah yang dimaksudkan dengan “takwil” (ta’wil): secara harfiah berarti “mengembalikan sesuatu kepada posisi semulanya”. Secara istilah, ta’wil berarti menguraikan sesuatu atau mengartikan mimpi.

Ungkapan: “mati dan bangun” dalam hadis itu bagi Ibn ‘Arabi secara metaforis mengacu pada tindakan takwil dalam pengertian yang dimaksud di atas. Maka, “mati” ini bukanlah kejadian biologis.

Ia adalah kejadian spiritual yang menuntut tindakan manusia membuang belenggu indra dan nalar (reason), melampaui dinding-dinding (alam) fenomenal, dan menerawang jauh ke balik benda-benda fenomenal. Maksudnya, secara singkat, merasakan pengalaman mistis “peniadaan-diri” (fana’).

Lantas, apakah Sesuatu yang tersembunyi di balik hijab (alam) fenomenal itu? Apakah Sesuatu yang telah membuat semua yang kita sebut “realitas” itu tidak lebih tinimbang jaringan simbol besar yang secara samar dan redup mengisyaratkan kepada apa yang ada di baliknya? Jawabannya tidak lain adalah Sang Mutlak, yaitu Realitas nyata dan mutlak yang disebut Ibn ‘Arabi dengan Al-Haqq.

Oleh sebab itu, apa yang disebut dengan “realitas” tidak lain adalah mimpi, tapi ia bukanlah semata-mata ilusi. Ia adalah penampakan partikular dari Realitas, bentuk partikular dari manifestasi-diri (tajalli)-Nya. Ia adalah mimpi yang memiliki landasan metafisik. “Alam yang mewujud dan menjadi (kawn) merupakan imajinasi”, ungkapnya, “tetapi ia pada hakikatnya adalah Realitas itu sendiri”.

Tajalli biasa diterjemahkan dalam bahasa Barat dengan theophany (penjelmaan atau pengejawantahan Ilahi), yaitu keadaan hadirnya Tuhan melalui salah satu Nama atau Sifat-Nya dalam sukma hamba-Nya (Yousef 2008).

Alam maujud yang telah menjadi ini, apa yang disebut sebagai “realitas” ini, terdiri atas beragam bentuk, ciri, dan keadaan yang pada dirinya sendiri adalah aneka rupa fantasi dan imajinasi.

Namun, pada saat bersamaan, ia mengisyaratkan pada Realitas itu –jika saja orang sadar untuk tidak mengambil seluruh bentuk dan ciri ini sebagai diri mereka sendiri, melainkan sebagai puspa ragam manifestasi Realitas. Yang mampu melakukannya adalah manusia yang telah mencapai misteri terdalam dari Jalan mistis (thariqah, tarekat).

Gagasan inti dari pemikiran ontologis Ibn ‘Arabi –yaitu bahwa apa yang disebut sebagai “realitas” ini tidak lain daripada mimpi–pada satu sisi meneroka bahwa alam sebagaimana yang kita alami dalam kondisi-kondisi normal pada dirinya sendiri bukanlah “Realitas”, melainkan ilusi, penampilan, dan ketidaknyataan (unreality). Pada sisi liyan, hal ini tidak berarti alam benda dan kejadian indriawi ini hanyalah murni dan proyeksi subjektif dari benak manusia belaka.

Dalam pandangan Ibn ‘Arabi, apabila “realitas” merupakan ilusi, maka ia bukanlah ilusi subjektif, melainkan ilusi objektif; yakni, ketidaknyataan yang tegak di atas pijakan ontologis nan kukuh. Dan ini sama saja dengan menyatakan bahwa ia jelas bukanlah ilusi, setidaknya ia bukan ilusi dalam makna umum yang biasa dimengerti dari lema itu (Purnama 2018).

Untuk memperjelas gagasan ini, kita mesti mengacu pada konsepsi ontologi khas Ibn ‘Arabi dan alirannya ihwal “lima medan Wujud” atau “5 kehadiran Wujud” (hadharat al-khamsat). Struktur “medan-medan” (hadharat) ini dianggit secara lugas oleh Al-Qasyani sebagai berikut.

Dalam pandangan-jagat Sufi, lima “alam” (‘awalim) atau 5 medan dasar Wujud dibedakan, masing-masingnya mewakili suatu Kehadiran atau ragam ontologis Realitas mutlak dalam pemanifestasian Allah Swt.

Kelima medan ini pada diri mereka sendiri membentuk keseluruhan organik, dan benda-benda di medan yang lebih bawah berperan sebagai simbol atau citra bagi benda-benda yang ada di medan yang lebih tinggi.

Oleh sebab itu, menurut Al-Qasyani, apa pun yang mewujud di medan realitas umum ini (yang merupakan Kehadiran Ilahi yang paling rendah) adalah simbol-perumpamaan (mitsal) bagi benda yang mewujud di medan Citra.

Dan apa pun yang mewujud di medan Citra merupakan bentuk yang memantulkan hal ihwal yang terdapat di medan Sifat-sifat dan Nama-nama Ilahi, sedangkan setiap Sifat ialah suatu aspek dari Zat Ilahi dalam tindak pemanifestasian diri-Nya (Izutsu 2015: 8-9).

Akhirnya, di mata individu yang berkapasitas spiritual tinggi, keseluruhan alam “realitas” berhenti menjadi sesuatu yang benar-benar swapada (self-sufficient) dan berubah menjadi foret de symboles (rangkaian simbol) misterius yang mendalam, sebuah sistem padanan-padanan ontologis.

Pelbagai mimpi yang timbul di medan “imajinal” Wujud ternyata sama saja dengan pelbagai hal dan kejadian di dunia pengalaman indriawi. Dalam pandangan ini, baik alam benda indriawi ataupun alam mimpi adalah sama-sama ranah simbol.

Seperti kata Al-Qasyani, “Segala sesuatu yang memanifestasikan melalui pancaindra atau imajinasi, atau juga melalui keserupaan-citra–adalah firman, pengungkapan, pengajaran, atau pembicaraan dari Allah”.

Struktur simbolis alam yang terpampang ini, bagaimanapun, hanya terjangkau oleh kesadaran sejumlah kecil manusia. Mayoritas orang hidup menempel dan tertungkus-lumus di tingkat Wujud paling rendah, yakni (alam) benda-benda indriawi. Itulah satu-satunya alam eksistensi dalam kesadaran suram mereka.

Hanya tingkat Wujud paling rendah ini –karena bisa disentuh dan digenggam–yang nyata buat mereka. Dan bahkan di tingkat ini, tidak pernah terpikir oleh mereka untuk “menakwilkan” bentuk-bentuk semua benda di sekeliling mereka. Sesungguhnya mereka memang sedang tertidur.


Sepanjang Ramadan MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus soal hikayat dan sejarah peradaban Islam dari sejarahwan Muhammad Iqbal.

Exit mobile version