Merayakan Ulang Tahun Bukan Budaya Kita

MOJOK.COAda alasan khusus kenapa orang zaman dulu kurang relate dengan tradisi merayakan ulang tahun. Hapiye? Lahir di tanggal berapa aja nggak tahu.

Kalau Anda lelaki yang menikah, lalu pernah diomeli istri karena Anda lupa hari ulang tahunnya, atau (lebih-lebih) karena lupa anniversary pernikahan Anda, tentu Anda tidak sendiri.

Ada jutaan lelaki ceroboh seperti itu. Saya pun sama dengan Anda. Bedanya, dosa Anda berlipat-lipat lebih besar ketimbang dosa saya karena Anda tak mau mengakuinya sedangkan saya mau.

Saya memang tidak pernah merasa relate dengan ulang tahun. Ulang tahun adalah salah satu mitos bentukan peradaban yang paling tidak penting dalam hidup saya. Tapi saya tak mampu menghindar ke mana-mana. Orang-orang di sekitar saya merayakannya. Negeri tempat saya hidup baru saja merayakannya. Media tempat saya menulis ini pun akan segera merayakannya.

Namun, tetap saja, saya gagal menganggap merayakan ulang tahun sebagai perkara penting dalam hidup saya.

Dulu, pada saat saya kecil, seingat saya, cuma satu kali orangtua saya merayakan ulang tahun saya. Saya ingat, malam itu Mak’e menyajikan hidangan yang tidak biasanya. Bukan kue manis berukuran jumbo dengan cherry di atasnya, bukan blackforest, bahkan sekadar tumpeng nasi kuning pun bukan. Seharian Mak’e bikin sate bebek!

Sate bebek jelas bukan menu lazim kami. Tak ada orang makan sate bebek di Jogja. Apalagi, zaman itu segala jenis daging bukan menu yang bisa diakses tiap hari. Naga-naganya, Mak’e ingin menghadirkan sesuatu yang spesial, tapi tak punya khazanah referensi tentang apa itu menu spesial untuk merayakan sebuah hari ulang tahun.

Meski demikian, saya yakin ada tuntutan di dalam diri Mak’e untuk memberikan sebuah malam perayaan tak terlupakan bagi anak lelakinya. Sebab sudah berkali-kali si anak mengeluh, kok ultahnya tidak pernah dirayakan. Tentu dia jadi ndak pede mendengar cerita dari teman-temannya.

Yang pasti, Mak’e beneran tidak punya referensi. Kenapa? Bukan cuma karena dia tak kenal kue tart, tapi ya karena dia sendiri pun tidak pernah kenal apa itu merayakan ulang tahun.

Mak’e tak punya akta lahir. Satu-satunya informasi akurat yang dia tahu tentang kapan dia lahir adalah weton: Jumat Pon. Kode Jumat Pon juga satu-satunya yang diguratkan oleh simbah kakung saya di blandar (kayu penyangga atap) rumahnya.

Tahun berapa? Bulan apa? Tak ada yang tahu pasti. Sampai kemudian muncul petunjuk, bahwa simbah wedok alias nenek saya hamil emak saya tak lama setelah melahirkan pakde saya. Artinya, selisih umur Pakde dan Mak’e cuma satu atau dua tahun.

Lalu, ada petunjuk lain. Di molo (juga bagian atap rumah, saya tidak ngerti persisnya di bagian mana) rumah kakek saya, tercatat angka 1953. Itu tahun dibangunnya rumah itu. Nah, seingat Simbah Wedok, pakde saya lahir di tahun yang sama.

Maka, ketemulah, Pakde lahir tahun 1953, emak saya kalau tidak 1954 ya 1955. Bulan apa? Hanya Tuhan yang tahu. Yang pasti: Jumat Pon.

Ketika belakangan guru SPG emak saya membubuhkan tanggal 10 Juni 1957 pada ijazah Mak’e, dan akhirnya berlanjut ke semua data resmi termasuk KTP, itu cuma kira-kira saja campur ngarang.

Kemudian, hadirlah Bapak dalam kehidupan Mak’e. Usia mereka mungkin terpaut lima tahunan. Tetapi Bapak juga bukan manusia yang lahir dari peradaban priayi.

Meski kakek saya (dari Bapak) adalah seorang tentara, Simbah Kakung tak pernah momong bapak saya. Yang momong Bapak ya ibunya (sebab kemudian simbah yang tentara itu menceraikannya), juga mbah buyut saya atau simbahnya Bapak. Mereka semua petani dusun biasa, kenalnya cuma lumpur sawah dan mata bajak, tak pernah kenal apa itu akta lahir.

Maka, hanya ada serangkai petunjuk dari Simbah Wedok tentang kelahiran Bapak: Bapak lahir waktu Simbah Wedok ngungsi nyeberang kali ke Kasongan karena serangan tentara Belanda pada Clash Kedua. Wetonnya kalau tidak salah Sabtu Kliwon.

Maka, ketika kemudian guru Bapak menetapkan 1 Mei 1949 sebagai hari lahir di ijazah Bapak, jelas itu keputusan yang tidak mengandung pertimbangan historis apa pun. Kita bisa dengan mudah meng-gugel dan menemukan fakta bahwa Agresi Militer Belanda II terjadi pada 19-20 Desember 1948. Jadi, kemungkinan besar sebenarnya Bapak lahir pada hari-hari itu.

Meski demikian, entah kenapa, pemahaman yang berbasis data sejarah yang lebih punya nilai akurasi itu tetap saja tidak mampu sepenuhnya menggoyang otoritas ijazah dan KTP. Bapak pun tidak pernah merayakan ultah-ultahan kecuali satu kali karena iseng, itu pun memilih 1 Mei sesuai data resmi. Jelas, itu seremoni tanpa makna. Sebab yang diultahi bukan Bapak, tetapi KTP-nya.

Nah, dengan latar keluarga semacam itu, bisakah sampean bayangkan saya jadi orang yang peduli dengan ulang tahun? Bisakah juga sampeyan bayangkan seberapa peduli kedua ortu saya tentang merayakan ulang tahun anak-anaknya?

Tidak, saya tidak pernah peduli itu. Sampai kemudian datanglah manusia baru dalam kehidupan saya, yang belakangan menjadi istri saya.

Istri saya berasal dari keluarga yang sangat terdidik. Orang sekolahan. Boro-boro pegang cangkul macam kakek saya, jenjang sekolah kakek istri saya saja lebih tinggi dari sekolah saya haha. Jelas sekali, tak ada masalah apa pun dalam perkara administrasi perulangtahunan di keluarga istri saya.

Saya merasakan sekali soal itu ketika tahun pertama jadi manten baru. Berkali-kali saya diajak kumpul keluarga buat makan-makan. Ultah bapak mertua. Beberapa bulan berikutnya ultah ibu mertua. Besoknya lagi ultah adik ipar persis. Tak lama kemudian ultah adik ipar yang paling kecil. Belum lagi ultah kakak ipar. Lalu ya ultah istri saya sendiri.

Ramai sekali. Dan ulang tahun berikut segala pernak-perniknya jadi penting sekali.

Di situ kadang saya merasa seperti Kabayan masuk kota. Ada sendi kebudayaan yang benar-benar baru muncul di hadapan kesadaran kemanusiaan saya. Satu entitas imajiner yang tak pernah melekat di alam pikiran saya, namun tiba-tiba jadi tampak penting, dan harus menjadi penting.

Maka, bisa antum bayangkan, seberapa gusarnya istri saya ketika saya tidak mengucapkan hepi bedei kepadanya pada hari ulang tahunnya.

Seorang perempuan yang di sekujur umurnya berlumuran dengan kue tart dan tiupan lilin ulang tahun, malah tidak mendapatkan keistimewaan itu justru dari lelaki yang paling ia harapkan perhatiannya. Di sisi lain, itu sama sekali bukan karena si lelaki itu cuek atau tidak sayang, tentu saja. Lebih karena realitas yang baru itu belum benar-benar menubuh dalam dirinya.

Untung saja istri saya tidak pernah benar-benar tahu bahwa suatu kali, saat mengisi lembar formulir di sebuah kantor asuransi, dengan malu-malu saya meminta maaf kepada mbak petugas. Gara-garanya, saya benar-benar tidak bisa memutuskan, apakah tanggal lahir istri saya itu 6 ataukah 9 September. Kedua angka itu mirip sekali, bukan?

Untung, pelan-pelan istri saya juga melihat bahwa saya bukan cuma lupa atau tidak menganggap penting ulang tahunnya dan ulang tahun pernikahan kami berdua.

Sebab berkali-kali saya pun tidak sadar bahwa saya sendiri yang sedang ultah, sampai kemudian, pada suatu hari, anak perempuan saya tiba-tiba menyodorkan kado untuk bapaknya, merayakan ulang tahun bapaknya. Saya tertegun dan terkejut karena baru menyadarinya.

Sedetik itu juga, pandangan anak perempuan saya ke bapaknya mungkin seperti ketika saya memandang Mak’e dan Pak’e. Pandangan yang memberi penjelasan, bahwa merayakan ulang tahun itu ternyata bukan hal penting dalam hidup.

Bedanya, jika Mak’e atau Pak’e tidak merayakan ulang tahun karena alasan memori dan administrasi, saya tidak merayakan karena sadar bahwa kalau saya lupa, tidak ada satu pun manusia di planet ini yang bakal marah-marahin saya. Selayaknya kalau saya kena omelan istri karena lupa ulang tahunnya…

… atau ketika saya lupa ulang tahun pernikahannya.

Pernikahan saya, maksudnya.

Eh, sek, bentar, pernikahan kami ding maksudnya.

BACA JUGA Selamat Ulang Tahun Mojok.co dan tulisan Iqbal Aji Daryono lainnya.

Exit mobile version