Menyaksikan Imlek dari dalam Keluarga Tionghoa

Imlek-MOJOK.CO

[MOJOK.CO] “Imlek itu perayaan tahun baru, bukan hari raya agama.”

Bertahun-tahun menonton Imlek, baru dua tahun lalu wa terpikir untuk bertanya soal dekorasi. Saat itu wa sedang bertamu ke rumah teman di hari pertama Imlek. Sembari mengobrol, mata wa sampai di hiasan gantung berwarna merah dan berbentuk bundar. Lumayan sering juga lihat benda ini. Kata tuan rumah, itu replika bawang putih.

“Kalau yang itu?” Wa tunjuk hiasan gantung merah lain, bentuknya memanjang, berbuku-buku, dan ada bagian hijau di puncaknya.

“Yang itu nanas.”

Sumpah, baru hari itu wa tahu dua properti wajib Imlek itu adalah representasi umbi dan buah. Dasar cicik abal-abal!

Tapi, wa bisa membela diri karena memang abal-abal; di Imlek, wa cuma tamu, bukan tuan rumah. Sementara dua teman wa yang tiap tahun merayakan Imlek ternyata juga nggak tahu. Melihat kondisi yang menyedihkan itu, si tuan rumah yang seumur dengan kami mengikhlaskan diri membuka sesi tanya jawab.

Menurut informasinya, nanas dalam bahasa Tio Ciu disebut wanglai yang mana kalau dipecah menjadi wang dan lai, masing-masing berarti ‘uang’ dan ‘datang’. Sedangkan bawang, lihat sendiri kan, memang sudah mengandung kata wang alias uang.

Bagaimana dengan kue keranjang dan buah jeruk? Yaaa kalau ini perlambang rasa manis untuk kehidupan (((kita))) setahun ke depan.

Wa lihat, tahun baru Imlek memang penuh pengharapan yang fokus pertamanya adalah kesejahteraan. Salah satu wakil kesejahteraan di dunia ini adalah uang. Fokus selanjutnya adalah kesehatan dan umur panjang, serta kebahagiaan. Kesejahteraan datang lewat kerja keras dan keberuntungan. Wajar jika Imlek serbamerah. Merah perlambang keberuntungan, bukan yang lain.

Aspek kesejahteraan di tahun baru juga dimunculkan lewat ikon lain yang jauh lebih populer, angpau! Amplop merah berisi uang yang dibagi-bagikan orang yang sudah menikah (yang artinya sudah mandiri dan merdeka secara finansial) kepada orang yang belum menikah.

Benar-benar tahun baru yang bernuansa uang, uang, dan uang. Hahaha.

***

Tahun ini adalah kali pertama wa membuntuti satu keluarga merayakan Imlek. Mereka tinggal di daerah yang di mana-mana ada baliho Karolin Margret Natasa (halah, sok misterius).

Keluarga ini adalah kenalan keluarga wa sejak kami masih TK. Sebagai cicik abal-abal, ada banyak hal yang wa jadi tahu.

Sehari sebelum Imlek, Ibu dan Bapak membersihkan rumah dan masak banyak. Menjelang Magrib, keluarga besar berkumpul untuk makan, termasuk juga datang keluarga yang tidak merayakan Imlek. Karena Imlek adalah tahun baru berdasarkan kalender bulan, maka ketika malam datang dan bulan baru muncul, itulah tanda pergantian tahun baru.

Selain makan besar (ciak tua kai), kue-kue seperti kue keranjang, kudapan umum kayak nastar, kue sagu, kastengel, dll. juga sudah lengkap. Minumannya? Soda, bir, dan kalau di desa kayak tempat wa datang ini, ada arak bikinan rumah. Setelah makan, mereka akan mengobrol sampai larut.

Yang wa tak pernah sangka, sebelum makan besar dimulai, bapak dan ibu teman wa yang wa tumpangi ini berangkat dulu ke gereja. Mereka Katolik lo, bukan Kong Hu Cu.

“Ke gereja ada apa?” tanya wa ke teman, berharap jawabannya untuk menghadiri ibadah yang ada hubungannya dengan Paskah dan Rabu Abu kemarin.

“Misa Imlek.”

“Hah??? Ada misa Imlek?”

Teman wa ketawa. Katanya, itu ibadah biasa sih, tujuannya cuma berdoa agar tahun baru jadi lebih baik. Dia sendiri nggak ikut. Malas, katanya.

Wa nggak ikut nimbrung ke gereja. Bersama teman Tionghoa Katolik ini serta satu teman Tionghoa Buddha, kami bertamu dan makan kue ke rumah teman Tionghoa lain yang beragama Protestan.

Besok paginya, di rumah tamu-tamu berdatangan. Persis seperti Idulfitri atau Natal yang pernah wa saksikan di lingkungan tetangga, keluarga yang lebih muda datang ke rumah keluarga yang lebih tua atau lebih dihormati. Yang datang bukan cuma yang merayakan Imlek, ada keluarga dan tetangga yang tidak merayakan.

Di hari ini, semua pintu rumah dibuka besar-besar. SOP ketika bertamu, ketika ketemu tuan rumah, kita langsung salaman dan bilang, “Sin cia ju ie!” lalu dibalas oleh tuan rumah, “Tang tang ju ie.” Ini kebiasaan orang Tio Ciu yang wa lihat sejak kecil. Karena wa sering dikira Tionghoa totok, tiap tahun pasti ada saja teman yang bukan Tionghoa yang menyelamati lewat pesan seluler bilang, “Gong xi fa chai.” Jujur, wa roaming sama frase itu dan ngucapinnya kayak apa aja, wa nggak tahu.

Hari ini tidak ada makan besar. Beda sama Lebaran yang pasti dipersilakan makan opor, ketupat, dan makan berat lain. Orang ngobrol-ngobrol sambil makan kue. Kalau punya perlengkapan karaoke, ya sekalian karaokean lagu-lagu Kanton dan Mandarin. Anak-anak kecil diberi angpau. Wa yang masih lajang tadi pagi dapat angpau dari ieie (tante), ibu teman wa yang wa inapi. Isinya? Rahasia :p

Setelah menerima beberapa tamu, keluarga ini pergi ke rumah orang lain yang lebih tua. Sore mereka akan pulang dan istirahat. Tidak ada acara menyapu rumah, cuci baju, atau bersih-bersih lainnya selama Imlek. Bikin sial. Juga sebisa mungkin jangan sampai ada barang yang pecah atau rusak hari ini. Pertanda buruk.

***

Gara-gara obrolan misa Imlek tadi, kami berempat yang masing-masing beragama Islam, Protestan, Katolik, dan Buddha tadi jadi membicarakan apa sih Imlek itu.

“Itu kayak tahun baru aja. Seperti tahun baru 1 Januari,” kata teman wa yang Katolik.

“Iya, nggak ada hubungannya sama agama. Budaya kali ya?” balas yang Buddha.

Wa pikir, iya juga. Sejauh yang wa lihat, nggak ada yang religius dari Imlek. Kalau yang Kong Hu Cu, mungkin malam atau pagi Imlek mereka akan ke tua pek kong alias kelenteng untuk bakar dupa. Tapi, yang dominan justru acara-acara makan dan kumpul semata.

Tahu-tahu topik melompat. “Eh, aku udah hafal surat Alfatihah lo,” si teman yang Protestan lapor.

“Kok bisa?”

Jadi, si teman ini habis menemani ibunya pengobatan di Jombang selama setahun. Selama di Jombang mereka tinggal di rumah keluarga yang pindah agama ke Islam. Katanya, di rumah itu sering ada pengajian, yang datang teman-teman NU. Dari situlah dia menyimak surat Alfatihah.

“Coba macam apa doanya,” tantang wa.

Dia membacakan. Ada satu baris yang salah, buru-buru dikoreksi teman wa yang Katolik. Dengan benar. Nggak aneh sih, wa tahu dulu waktu kuliah di Universitas Sanata Dharma, mata kuliah Agama di sana diisi oleh pemuka agama dari enam agama: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu.

Si teman lanjut cerita, keluarganya yang masuk Islam tadi tahun ini juga merayakan Imlek, pulang ke Singkawang. Habis itu kami ngobrol ngalor ngidul.

Pulang dari rumah si teman, ada acara barongsai di belakang pasar. Kami berencana ke sana, tapi akan pulang dulu dan mandi. Sampai di rumah, ibu si teman menyuruh wa makan lalu ngomong sesuatu pakai bahasa Tio Ciu ke anaknya. Wa sudah tentu saja… tidak mengerti.

Memang betul-betul cicik KW.

Exit mobile version