Menolak Jenazah Teroris Tidak Akan Menghukum Terorisnya

MOJOK.CODampak bom Surabaya dan aksi teror lainnya belum selesai. Kini, warga di sejumlah tempat menolak jenazah teroris dimakamkan di lingkungan mereka.

Jadi Wali Kota Surabaya itu berat, kita nggak akan kuat, biar Bu Tri Rismaharini saja. Mendapat tanggung jawab untuk segera memutus mayat teroris yang meledakkan bom di tiga gereja beberapa waktu lalu, tapi seluruh warganya di sekitaran tempat pemakaman umum (TPU) sendiri menolak keras. Jelas ini jadi dilema besar bagi Bu Risma. Tidak segera diputus, kok ya jadi kayak Peggy Melati Sukma, pusiiiing. Soalnya memang harus segera dikubur. Tapi, kalau memaksa dikubur, nanti dikira pro-teroris.

Bahkan liang lahat yang tadinya disiapkan untuk enam para pelaku bom Surabaya di TPU Putat Jaya, Surabaya, sudah ditutup kembali oleh warga sekitar secara gotong royong. Warga sekitar TPU tidak mengizinkan mayat teroris tersebut dimakamkan di daerah mereka walau salah seorang korban tewas berasal dari daerah tersebut.

Tidak mudah berada di situasi seperti itu. Saya pikir, setiap umat muslim di bumi Indonesia juga tahu, status mengurus mayat sesama muslim itu fardu kifayah. Artinya, jika ada satu saja orang yang mengurus jenazah yang bersangkutan, gugur sudah kewajiban orang-orang muslim yang lain—meskipun kalau tetap mau melakukannya (meski sudah ada yang ngurus) ya tetap sunah.

Pengurusan ini jelas menyangkut ke banyak hal. Bukan cuma dalam proses penguburan ke liang lahat, melainkan juga dari tahap pemandian sampai salat jenazah. Kalau di kampung-kampung Jawa pada umumnya, proses ini juga menyangkut pengaturan pasang tenda biru, menata kursi pelayat, sampai—kadang-kadang—menutup jalan untuk memberi ruang bagi pelayat.

Secara hukum dan aturan memang seperti itu, tapi kalau melihat kondisi di lapangan, jelas tidak sesederhana yang dibayangkan. Itulah yang membuat banyak warganet terbelah di dua sisi menanggapi berita penolakan jenazah teroris ini. Ada yang mendukung warga untuk menolak dengan menariknya dari sisi bahwa apa yang dialami adalah karma. Ada juga yang kontra dan mengingatkan kembali soal hukum fardu kifayah mengurus jenazah muslim.

Salah satu yang mengkritik sikap warga adalah Novel Bamukmin. Juru Bicara Persaudaraan Alumni 212 ini menyayangkan tindakan penolakan masyarakat terhadap jenazah para terduga teroris bom bunuh diri di tiga gereja Surabaya tersebut.

Sebelum mengomentari hal tersebut, saya ingin kita melihat persoalan ini secara gamblang terlebih dahulu. Ada banyak kasus penolakan jenazah dimakamkan di beberapa daerah di Indonesia sepanjang tujuh tahun terakhir. Dengan demikian, jelas kasus penolakan jenazah oleh warga di Surabaya ini bukanlah yang pertama.

Pada 2011 silam, misalnya, satu dari tiga korban meninggal akibat bentrok Ahmadiyah di Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, sempat ditolak oleh sekelompok ormas untuk dimakamkan di kampungnya sendiri. Di Lampung pada 2014, jenazah korban mutilasi ditolak warga karena alasan transgender. Di Palembang pada 2015, terpidana mati kasus narkoba juga sempat ditolak warga. Untuk kasus terorisme, yang terdekat kita bisa menilik peristiwa di Kabupaten Kampar, Riau, ketika seorang narapidana teroris sempat ditolak oleh warga kampung halaman narapidana kasus Mako Brimob tersebut.

Dikatakan “sempat” karena pada praktiknya, pemakaman narapidana teroris ini tetap dilangsungkan. Secara hukum dan aturan agama, apa yang disampaikan oleh Novel Bamukmin memang benar adanya. Terlepas dari pembelaan bahwa pelaku tersebut fix teroris atau tidak (ya jelas sudah, lha wong videonya tersebar ke mana-mana), sudah jadi kewajiban bagi sesama muslim untuk merawat jenazah umat muslim yang lain.

Di beberapa hal, bisa jadi kita berseberangan dengan yang bersangkutan. Tapi, jika kita tidak menyetujui pendapat hanya karena pendapat itu muncul dari mulut orang yang tidak kita sukai, itu namanya benci buta. Jelas itu tidak sehat. Jika memang ada kebenaran—walau cuma seupil—ya kita harus mengakuinya, tho?

Persoalan yang mendasar jadi perdebatan tentu saja masalah status si pelaku. Ada yang menganggap pelaku terorisme bukanlah seorang muslim karena aksinya tidak mencirikan ajaran islam sehingga status fardu kifayahnya gugur. Di sisi lain, ada yang tetap mengakui bahwa pelaku memang jahat, tapi kan statusnya adalah orang Islam sehingga ketika mati, ya tetap dimakamkan secara islami

Melihat pro-kontra tersebut, saya jadi teringat pesan singkat Gus Dur, “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Jika dilihat dari sisi sebaliknya dari kutipan akan menjadi: Kalau kamu melakukan sesuatu yang jahat, orang juga tidak akan pernah tanya apa agamamu.

Jelas memang, menolak memberi ruang bagi terorisme—bagi warga sekitar TPU mungkin dipraktikkan dengan menolak jenazah pelaku aksi teror—memang sesuatu yang wajar. Tidak mudah memaafkan tindakan biadab seperti itu. Kita jelas tidak bisa begitu saja menyalahkan sikap para penduduk sekitar yang menolak. Hanya saja, jika mereka bisa memaafkan perilaku keji pelaku teror, sikap itu akan jadi pemandangan yang luar biasa.

Berangkat dari hal itu, rasa-rasanya kita bisa belajar dari cara pandang Firdaus, Kepala Desa Pandau Raya di Riau sana. Ia kepala desa yang bertanggung jawab meyakinkan warga untuk menerima jenazah narapidana terorisme di Mako Brimob beberapa waktu silam. Di saat para warganya menolak, Firdaus dengan sabar mencoba membujuk warga satu demi satu.

Firdaus percaya, bisa jadi para warga marah pada tindakan si jenazah selama hidupnya. Tapi, jika dengan begitu membuat keluarga pelaku jadi ikut mengalami dampak “balas dendam”, kok sepertinya kurang pas. Pihak keluarga pelaku jelas tidak berhak mengalami pembalasan seperti ini, dan itu yang membuat Firdaus menaruh iba pada keluarga pelaku yang tidak bersalah. Yang sudah mati biar mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada Sang Khalik. Tugas yang hidup tinggallah mengurusi yang masih hidup, termasuk urusan keluarga pelaku kejahatan.

Firdaus mengajarkan kepada kita, dosa warisan itu tidak ada. Dengan demikian, kita tidak berhak menghakimi orang karena dosa yang dilakukan kerabatnya.

Exit mobile version