Mengapa Sebaiknya Jangan Mudah Baper dengan yang Berbau Arab?

Mengapa Sebaiknya Jangan Mudah Baper dengan yang Berbau Arab?

Saya pikir, makin hari, sikap baper kepada hal yang berbau ke-Arab-Arab-an menyebabkan kedunguan yang kian kronis.

Sudah sejak lama, misalnya, kita merasa menemukan sebuah keajaiban dari langit ketika melihat sirip ikan atau batu kali bertuliskan lafadz Allah. Di era sosial media, gambar-gambar tersebut menjadi alat para selebriti dangdut untuk promosi fanpage dengan kepsyen “like, komen, share dan ucapkan AAMIIN”, untuk mendulang follower.

Yang mengherankan, entah mengapa lafadz Allah yang muncul itu selalu dalam huruf Arab yang standar. Enggak pernah tuh ada huruf Arab kufii atau teknik kaligrafi yang lain, atau kenapa sih tulisannya enggak muncul dalam huruf Kanji, Hangeul, Jawa Kuno, atau Hieroglyph. Selain biar lebih setil, dampak utamanya ‘kan bisa bikin para cosplayer, penggemar JAV, sampai kaum abangan lebih beriman.

Gara-gara baper berlebih sama hal-hal berbau Arab begitu, Agnez Mo jadi korban laskar pembela surga dengan tuduhan serius: penistaan agama. Gus Ulil yang sudah lama disesat-sesatkan, juga makin dicemplungkan ke kerak neraka gara-gara ngaji Qur’an langgam Jawa. Ini belum menghitung betapa mudahnya mereka dibegoin iklan jilbab halal cuma gara-gara bintangnya Laudya Chintya Bella yang baru saja mendapat “hidayah”. Naasnya, di sisi lain, laskar yang merasa suci itu malah membela mati-matian si Teuku Wisnu yang justru mengharamkan adzan ke bayi baru lahir, cuma karena jenggot artis papan tengah itu kian rimbun.

Saya tak tahu apakah mereka akan terperangah jika tahu di perkantoran Jakarta kini orang harus membayar 500 ribu per jam hanya untuk berguru membaca Al Qur’an. Mereka mungkin tak akan percaya, jika di sebuah sudut kota Jakarta ternyata ada seorang habib yang tak bekerja apapun namun berumah megah, kaya raya, dan bergaya jet set. Dan saya juga yakin, mereka pasti tak akan paham mengapa ada banyak laskar yang kerap muncul tiba-tiba, lengkap dengan ritual kekerasaannya, dalam beberapa situasi politik tertentu.

Sial memang, sikap gumunan akan budaya Arab yang diiklankan atas nama purifikasi nilai-nilai Islam membuat umat di negeri ini makin kebingungan dan takut bersikap kontra pada segala hal.

Untuk itu, para saudaraku muslimin dan muslimat yang dimuliakan Allah, mari kita simak beberapa contoh yang memperlihatkan betapa banalitas ke-Arab-Arab-an ini sejatinya adalah politik kepentingan semata.

Dimulai dari sejarah percintaan Arab Saudi dengan Amerika Serikat. Sejak tahun 1980, Arab Saudi telah menyogok CIA dengan membiayai pendanaan operasi Amerika di Angola, mengeluarkan miliaran dolar untuk menyerang para mujahidin yang melawan Soviet di Afghanistan, juga mendonasikan 32 miliar dolar untuk mendanai pasukan Contra dalam perseteruan Iran – Contra di Nicaragua.

Meski demikian, setiap tahun Amerika tetap melaporkan bahwa Pemerintah Saudi bertanggung jawab pada banyak pelanggaran HAM di negaranya sendiri seperti kasus salah tangkap, pelanggaran dalam proses penegakan hukum, kasus tahanan politik, perdagangan manusia, penganiayaan para tahanan hingga berujung pada kematian, dan sekian kasus kejahatan lainnya.

Seorang pengacara dan aktivis Hak Asasi Manusia Saudi bernama Waleed Abu Al-Khair, misalnya, dihukum 15 tahun penjara karena kritiknya pada pemerinta Saudi dan institusi Kehakiman dianggap kelewat kritis. Mukhlif Shammari yang menulis tentang ketidakadilan terhadap perempuan Saudi, juga kena hukuman 5 tahun. Sementara itu, aktivis HAM lainnya, Mikhlif bin Daham al Shammary  pernah dipaksa petugas pemerintah Saudi menenggak cairan pembersih antiseptic ketika berada di sel tahanan.

Pemerintah Amerika juga mengungkap bahwa selama tahun 2014 lalu, Raja Saudi telah memberikan sejumlah 1,35 miliar dolar kepada Obama dan keluarganya. King Abdullah juga melaporkan telah menghabiskan lebih dari 9,8 miliar dolar untuk biaya lobi-lobi sepanjang 2012 dan 2013. Antum-antum sekalian pasti tahulah, lobi-lobi itu bentuknya apa. Itu lho, penuntasan urusan selakangan biar bisa giras lagi untuk urusan serang-menyerang selanjutnya.

Berdasar data NSA 2013 yang dibocorkan Edward Snowden, hubungan antara Badan Intelijen Amerika dan Arab Saudi sempat tegang setelah perang Teluk pertama pada tahun 1991. Namun, pada Desember 2012, Direktur Badan Intelijen Amerika, James Clapper berbaik hati menyediakan bantuan teknis demi meningkatkan sistem pertahanan dan spyware Arab untuk melawan pemberontak politik, serta meningkatkan kapasitas para blogger dan aktivis.

Untuk contoh lain, Anda bisa lihat pada 17 Februari lalu, ketika bom meledak di Ibu Kota Ankara yang menewaskan 28 orang dari sipil dan militer. Sehari kemudian,  ledakan bom terjadi kembali di kota Diyarbakir, basis etnis Kurdi. Bom kedua yang dimaksudkan untuk menyerang iring-iringan kendaraan militer Turki ini menewaskan 6 orang dan 1 tentara terluka serius.

Melihat situasi tersebut, serangan Turki ke Suriah–dengan dalih pembalasan teror–tinggal menunggu waktu adalah prediksi yang paling logis. Terlebih Erdogan, presiden yang menurut mereka ganteng dan Islami itu, juga telah menuduh bahwa kelompok Kurdi Suriah merupakan otak di balik serangan bom-bom tersebut.

Perang di Suriah adalah gambaran jelas betapa banyak kekuatan negara asing yang saling berbagi kepentingan. Arab Saudi, Amerika, ISIS, Turki, Suriah, segalanya silang sengkarut berpesta atas nama agama dalam perang tersebut.

Tentu masih banyak data-data yang bikin bulu ketek bergidik. Tetapi, jawaban abstrak (dan singkat) atas pertanyaan mengapa banyak situsweb berbungkus Islam yang berkonten kebencian, bisa dirunut benang merahnya dari beberapa contoh tadi. Bangsa ini memang telah dipilih untuk dikacaukan oleh–meminjam istilah Adam Smith–invisible hand di luar sana melalui kedok agama.

Berbagai situsweb dibikin, akun-akun media sosial yang berbau ekstremis sengaja dibuat, lalu propaganda kemudian disebar kesana kemari supaya kita ikut panas dan tergugah untuk menjadi jihadis teror. Inilah politik devide et impera gaya baru yang tengah menghantui Indonesia.

Dan untuk merealisasikan misi tersebut, akhi-ukhti, mereka yang tampak “suci” itu didukung oleh organisasi yang terstruktur serta dana yang luar biasa besar. Tak heran jika kemudian para santri pondok pesantren yang sedang belajar berliterasi untuk menyebarkan cinta sering kelimpungan mengemban misinya, sebab yang dilawan ternyata punya kuasa kapital yang begitu mapan.

Coba dinalar saja, apa sih untungnya para “so called jihadist” itu niat banget menyebar berita-berita menyeramkan dan mengadu domba jika tidak mendapatkan bayaran? Lha wong, mereka itu ‘kan juga manusia biasa yang sebenernya punya kasih sayang, minimal untuk istri dan anak-anaknya di rumah.

Pertanyaannya kini: Apakah Anda masih akan baper setelah mengetahui bahwa semua ini hanyalah pertunjukan adu kuat demi kekuasaan belaka? Atau belum paham juga?

Ya, saya maklum jika semua ini sulit dipahami. Yang begini ini memang ndak diajari di Lembaga Dakwah Kampus yang fokusnya cuma menguasai peta perpolitikan kampus lalu merasa canggih. Padahal, lawan-lawannya di kampus itu bukannya kalah. Cuma, ngapain sih ngurusin politik kampus, mending lobi-lobi langsung ke ataslah daripada kelamaan kaya mereka.

Wis to, mengaku saja, ndak usah sungkan…

Exit mobile version