Mengakhiri Kebaperan Tragedi 1965 dengan Cara Kekeluargaan - Mojok.co
  • Cara Kirim Artikel
Mojok
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
Logo Mojok
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
Home Esai

Mengakhiri Kebaperan Tragedi 1965 dengan Cara Kekeluargaan

Geger Riyanto oleh Geger Riyanto
21 Maret 2016
0
A A
Mengakhiri Kebaperan Tragedi 1965 dengan Cara Kekeluargaan

Mengakhiri Kebaperan Tragedi 1965 dengan Cara Kekeluargaan

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

Bapak Menkopolhukam kita, Luhut Binsar Panjaitan, baru-baru ini mengemukakan sebuah ide cemerlang. Peristiwa 1965, kata beliau, akan diselesaikan dengan cara non-yudisial atau, kalau tak mau lidah belibet, di luar pengadilan.

Cemerlang? Mungkin bahkan bukan lagi cemerlang, tapi brilian. Cerlang cemerlang! Semua pihak menang, senang, goyang dumang.

Pertama-tama, dengan demikian, tak ada yang perlu mendekam di bui atau bayar denda. Tak perlu buang-buang waktu di meja hijau yang sebenarnya meja cokelat. Tak ada institusi terhormat yang perlu ditidakhormatkan. Kalau sudah begitu, permintaan maaf pasti jauh lebih mudah terucap—ciailah bahasanya. Pihak yang dituduh melakukan pelanggaran pun tak mungkin lagi enggan untuk mengaku salah kecuali karena tengsin, bukan?

Dan, kalau pihak yang selama ini merasa tersakiti mau ikhlas menerima permintaan maaf sepenuh hati pihak pertama, mereka pun seharusnya tak perlu serba baper lagi. Selama ini, sedikit-sedikit mereka ingat masa lalu. Sedikit-sedikit merasa diperlakukan tidak adil. Masih bagus kalau masa lalunya baru satu-dua bulan—rasa yang pernah ada itu memang pastinya masih mengganggu produktivitas harian siapa pun.

Akan tetapi, kapan peristiwa 1965 terjadi? Oh, perlu diperjelas lagi? Hampir lima puluh tahun silam.

Baca Juga:

Semaoen: Siang di Pabrik, Malam di Masjid

D.N. Aidit dalam Semesta Literasi dan Indonesia Kini

Jerat Warisan Bahasa Orde Baru

­“Siapa yang mau dihukum?” tanya Bapak Menko dengan sangat masuk akal.

Betul, betul. Masak mau menghukum jelangkung?

Nah, mumpung Bapak Menko sudah menyampaikan pikiran visionernya, boleh dong saya kembangkan sedikit lagi demi kepentingan kehidupan berbangsa dan negara yang maslahat. Semoga Bapak Menko menyukai usulan saya: mengapa peristiwa 1965 ini tidak diselesaikan secara kekeluargaan saja?

Coba kita lihat. Di negeri ini, apa persoalan yang gagal diselesaikan secara kekeluargaan? Tidak ada.

Saya kasih contoh mulai dari yang kecil dulu, ya.

Suatu pagi, lampu motor kawan saya mati. Ia tidak menyadarinya. Anda pasti sudah bisa menebak ke mana arah cerita ini. Singkat cerita, motornya diberhentikan polantas yang sungguh kurang kerjaan melaksanakan razia hari itu. Dia digiring ke pojok remang-remang yang entah mengapa selalu tersedia di dekat tempat razia.

Dan, dibukalah peluang dialog.

“Mau diselesaikan secara kekeluargaan atau enggak?”

Situasi yang tak asing? Tentu. Tapi, pernahkah Anda membayangkan kepelikan sesungguhnya dari situasi ini?

Katakanlah, kawan saya enggan memperlakukan sang polantas sebagai abang yang pengertian dan memilih menjadi warga negara yang kaku. Yang terjadi selanjutnya adalah ia mesti menerima slip tilang. Lalu pergi ke pengadilan yang cari parkirnya setengah mati, sesak-sesakan bak antre sembako, gerah naujubillah, bayar mahal pula!

Kerugian tak berhenti di satu pihak. Lihat juga sang polantas yang malang.

Sang polantas, yang menjajakan kebebasan tak jarang semurah sebungkus rokok, tak mendapatkan rezeki yang seharusnya bisa dinikmatinya. Tak ada rokok. Tak ada uang saku untuk jajan bakso. Hanya ada jalanan bising diseliweri pengemudi tak tahu diri sampai shift kerja selesai. Ia akan ngambek, barangkali.

Keduanya pun kalah.

Berapa banyak waktu produktif masyarakat Indonesia yang sangat sibuk terbuang karena peristiwa remeh ini? Berapa banyak kesempatan mendapatkan hiburan-hiburan kecil berarti yang juga terbuang bagi sang polantas pribadi?

Sekarang contoh yang cukup besar.

Anda ingat, ehem, usaha keluarga yang prestasinya menenggelamkan 12 desa? Ingat? Bagus. Karena ini adalah contoh yang sangat apik untuk menilai sejauh apa pendekatan kekeluargaan sebuah keluarga dapat mengurai perkara paling muskil sekalipun.

Nah, sesering apa Anda melihat satu pihak yang tetap merasa santai meski telah membuat masalah yang mengakibatkan puluhan ribu warga misuh-misuh karena terpaksa pindahan massal dan hidup tak karuan?

“Ups, nggak sengaja.”

Cukup bilang begitu dan urusan kelar seolah tak ada apa-apa. Negara menalangi ganti ruginya. Hidup pun kembali indah. Saya yakin, Anda tidak sering melihatnya. Anda pasti lebih sering melihat orang pacaran cekcok cuma sesepele gegara masih ada yang menyimpan foto si mantan.

Apa pun pemerintahannya, Bakrie, ups, kesebut deh namanya, pasti tak pernah jauh-jauh dari lingkaran pusat. Meski sekadar jadi adik yang berulah, pelobi ulung ini akan nempel-nempel SKSD (sok kekeluargaan, sok deket) dengan pemerintahan yang tengah berkuasa. Hasilnya, lumayan.

Lebih dari lumayan sih: ngemplang pajak, selow. Merusak lingkungan dan kehidupan, selow.

Sekarang kembali ke peristiwa 1965. Sebagai langkah pertama untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan, bagaimana kalau Bapak Menko menempatkan diri sebagai bapak yang bijak? Situasinya hampir mirip kok dengan anak-anak lagi ngambekan satu sama lain—yang satu merasa dijahatin dan mendramatisir penderitaannya, sementara yang lainnya tidak mau minta maaf lantaran merasa tidak bersalah.

Bedanya dengan situasi di atas cuma sedikit, kok. Peristiwa 1965 melibatkan ratusan ribu orang terbunuh, jutaan lainnya dipenjara, dan saudara-saudaranya yang jauh lebih banyak lagi kehilangan hak-hak mendasar mereka sebagai warga negara.

Pihak yang dituduh bersalah kemudian berkelit dengan memaksa semua anak murid negeri ini—Tere Liye yang beken itu salah satunya—belajar sejarah yang bercerita merekalah sang korban keadaan.

Media, penerbitan, televisi, radio, publik figur, pejabat, sekolah, tak boleh menghasut rakyat dengan menyiarkan cerita yang mencitrakan pemerintah mereka rezim pelanggar HAM yang bengis.

Beda tipis, bukan?

Langkah Bapak Menko sebenarnya sebagian sudah tepat dan mencerminkan kebijaksanaan seorang bapak yang arif. Ya, sudahlah. Apa yang bisa diselesaikan dengan pembicaraan intim dan hangat antara saudara memang semestinya tak usah dibawa-bawa sampai tuntut sini, tuntut sana.

Begitu bukan yang bapak maksudkan?

Jadi, sisanya kini, Bapak Menko tinggal perlu memarahi anak yang satu supaya legowo, insaf bahwa mereka sudah terlalu lama ngeles dari tanggung jawab, dan mau meminta maaf. Untuk anak yang lain, Bapak Menko perlu menegur supaya jangan terlalu mendramatisir dan mau menerima permintaan maaf yang lain.

Ingat, tak bisa melupakan mantan setahun saja sudah keterlaluan.

Bapak Menko tinggal menegaskan lagi dan semoga tiba-tiba langit di belakang bapak berhiaskan pelangi: kita keluarga besar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mari berjabat tangan, berpelukan.

Lalu, sembari diiringi lagu-lagu epik semacam pengalun adegan akhir film Lord of The Ring, Bapak Menko mengajak mereka menatap ke cakrawala. Kita songsong hari depan dengan belenggu yang tanggal dan langkah yang merdeka. Merdeka!

Happy ending.

Sederhana, bukan? Saya yakin, bila sudah demikian, kebaperan berlarut-larut mereka terhadap kasus 1965 itu dapat tuntas dan kita bisa melambaikan selamat tinggal persoalan bangsa yang kusut tersebut.

Bola kini ada di Bapak Menko. Kami nantikan gocekan Bapak Menko selanjutnya. Gawang terbuka lebar. Semoga tendangan Anda berbuah gol.

Tags: 1965BapermenkopolhukamPartai Komunis IndonesiaPKI
Geger Riyanto

Geger Riyanto

Artikel Terkait

Semaoen: Siang di Pabrik, Malam di Masjid

Semaoen: Siang di Pabrik, Malam di Masjid

8 Juli 2022
D.N. Aidit dalam Semesta Literasi dan Indonesia Kini

D.N. Aidit dalam Semesta Literasi dan Indonesia Kini

16 Mei 2022
Jerat Warisan Bahasa Orde Baru

Jerat Warisan Bahasa Orde Baru

15 Oktober 2021
Dari Minggu Pagi (MP) dan Kedaulatan Rakyat (KR), Kita Jadi Ngerti PKI dan Komunis itu Asyik-Revolusioner MOJOK.CO

Dari Minggu Pagi (MP) dan Kedaulatan Rakyat (KR), Kita Jadi Ngerti PKI dan Komunis itu Asyik-Revolusioner

30 September 2021
Cerita Cinta Anak Simpatisan PKI yang Nikah dengan Polisi

Cerita Cinta Anak Simpatisan PKI yang Nikah dengan Polisi

26 September 2021
Mental Portugal, Gosok Voucher Penalti Ronaldo, dan Momen Kebangkitan Jerman

Hanya Rezim VOC yang Boleh Didemo saat Pandemi

22 Juli 2021
Pos Selanjutnya
Sumanto dan Tidur Sebagai Perlawanan

Sumanto dan Tidur Sebagai Perlawanan

Komentar post

Terpopuler Sepekan

Kereta Cepat Jakarta Bandung Sumber Petaka Masa Depan: Indonesia Dicaplok, Cina Menang Banyak MOJOK.CO

Kereta Cepat Jakarta Bandung Sumber Petaka Masa Depan: Indonesia Dicaplok, Cina Menang Banyak

8 Agustus 2022
Mengakhiri Kebaperan Tragedi 1965 dengan Cara Kekeluargaan

Mengakhiri Kebaperan Tragedi 1965 dengan Cara Kekeluargaan

21 Maret 2016
pola pengasuhan anak mojok.co

Psikolog UGM Jelaskan Tipe Pola Asuh yang Bisa Berdampak pada Hasil Akademik Anak

5 Agustus 2022
Derita Gagal SBMPTN dan (Ditolak) Perguruan Tinggi Favorit MOJOK.CO

Derita Gagal SBMPTN dan (Ditolak) Masuk Perguruan Tinggi Favorit

5 Agustus 2022
Asrama mahasiswa Sumatra Selatan, Pondok Mesudji dalam sengketa di pengadilan. Mahasiswa menilai ada campur tangan mafia tanah.

Mahasiswa Sumsel di Asrama Pondok Mesudji Jogja Terancam Pergi karena Mafia Tanah

11 Agustus 2022
Lampu merah terlama di Jogja. (Ilustrasi Ega Fansuri/Mojok.co)

Menghitung Lampu Merah Terlama di Jogja, Apakah Simpang Empat Pingit Tetap Juara?

9 Agustus 2022
Musimin, petani di lereng Gunung Merapi yang menolak ekspor kopi ke Jepang.

Mengenal Musimin, Petani Lereng Merapi yang Menolak Pesanan Kopi dari Jepang 

5 Agustus 2022

Terbaru

Buick, mobil dinas pertama Presiden Sukarno dipamerkan dalam pameran mobil kepresidenan dii Gedung Sarinah, Jakarta Pusat, Sabtu (13:8:2022) (ANTARA:Fathur Rochman)

Pameran 7 Mobil Dinas Kepala Negara, Buick yang Dipakai Sukarno Jadi Primadona

13 Agustus 2022
BANYAK YANG BILANG MINUMAN DI INDOMARET INI MERESAHKAN! | BAKUL

BANYAK YANG BILANG MINUMAN DI INDOMARET INI MERESAHKAN! | BAKUL

13 Agustus 2022
ujian praktik SIM C

Cerita dari Peserta Ujian Praktik SIM yang Gagal, tapi Terus Mencoba

13 Agustus 2022
ambulans bawa jenazah

Tak Bisa Pakai Ambulans Puskesmas, Keluarga Tandu Jenazah Sejauh 13 Kilometer

13 Agustus 2022
daya tahan tubuh mojok.co

Spesialis Anak UI: Imunitas Tubuh Dukung Tumbuh Kembang Anak 

13 Agustus 2022

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
DMCA.com Protection Status

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
  • Mau Kirim Artikel?
  • Kunjungi Terminal

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In